Minggu, 11 Desember 2011

Jumat, 09 Desember 2011

Sabtu, 03 Desember 2011

Benarkah Allah berada di langit berdasarkan hadits shahih ??? Bag II

BAG II
Berkenaan dengan hadits Muslim ini, Imam Baihaqi berkomentar di dalam
kitabnya Al Asma` Wa Al Shifat [5]:
وهذا صحيح ، قد أخرجه مسلم مقطعا من حديث الأوزاعي وحجاج الصواف عن يحيى
بن أبي كثير دون قصة الجارية ، وأظنه إنما تركها من الحديث لاختلاف
الرواة في لفظه . وقد ذكرت في كتاب الظهار من السنن مخالفة من خالف
معاوية بن الحكم في لفظ الحديث
"Hadits ini adalah shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim secara
terpotong dari hadits yang bersumber dari Auza`ie dan Hajjaj al
Shawwaf dari Yahya bin Abi Katsir tanpa menyebutkan tentang
kisah budak wanita. Saya mengira ia meninggalkan kisah budak wanita
tersebut karena terjadinya perbedaan riwayat pada redaksinya dan
saya juga menyebutkan hadits ini pada bab zhihar di dalam kitab
sunan (al kubra).
Riwayat yang ada berbeda dengan riwayat para periwayat yang
bertentangan dengan riwayat Muawiyah Bin Hakam dari segi redaksi
hadits."
Dari pernyataan Imam Baihaqi ini dipahami secara jelas bahwa
pemaparan kisah budak wanita yang merupakan bagian dari hadits [6];
1. Tidak terdapat di dalam sahih Muslim menurut versi Imam Baihaqi.
2. Bahwa kisah ini terjadi perbedaan riwayat dari segi redaksi hadits.
Penjelasan lebih lanjut dari pernyataan Imam Baihaqi;
1. Naskah Sahih Muslim tidak sama antara satu naskah dengan naskah
yang lain tentang kisah budak wanita ini. Boleh jadi Imam Muslim
menarik kembali hadits ini dan merevisinya pada periode selanjutnya
serta menghapusnya atau redaksi hadits yang ada tidak ditemui pada
naskah Sahih Muslim yang dimiliki oleh Imam Baihaqi [7].
Sebagaimana juga dilakukan oleh imam Malik di dalam kitab Muwatha`
riwayat Laits, yang tidak menyebutkan redaksi "sesungguh nya ia
adalah seorang yang beriman".
Samahalnya dengan Imam Bukhari yang menyebutkan potongan hadits ini
pada bab af`al al `ibad, dan hanya mengambil potongan yang
berhubungan dengan masalah mendo`akan orang yang bersin, tanpa
mengisyaratkan sedikit pun tentang masalah "Allah berada di langit".
Imam Bukhari meringkas hadits tanpa menyebutkan sebab beliau meringkasn ya.
Namun beliau tidak berpegang kepada kesahihan hadits tentang budak
wanita ini, karena melihat perbedaan riwayat tentang kisah ini yang
menunjukkan bahwa periwayat hadits tidak kuat hafalan (dhabit) dalam
periwayatan.
2. Terjadinya perbedaan riwayat antara riwayat yang bersumber dari
Mu`awiyah Bin Hakam dengan riwayat yang lain.
Bahkan menurut DR. Umar Abdullah Kamil terjadi perbedaan riwayat yang
bersumber dari Mu`awiyah bin Hakam sendiri. Sebagaimana penjelasan
berikut:
DUA RIWAYAT YANG BERSUMBER DARI MU`AWIYAH BIN HAKAM:
RIWAYAT PERTAMA [8] Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Muslim
diatas dengan menggunakan redaksi:
فقال لها: أين الله ؟ قالت: في السماء. قال: من أنا ؟ قالت: أنت رسول
الله. قال: أعتقها فإنها مؤمنة
Beliau (Rasul Saw.) kemudian bertanya: "Dimanakah Allah?", maka ia
menjawab: " Di langit", beliau bertanya lagi: "Siapa aku?", maka ia
menjawab: "Anda Rasul Allah". Lalu beliau bersabda: "Bebaskanlah ia,
karena ia seorang yang beriman" (HR. Muslim)
RIWAYAT KEDUA
أوردها الذهبى وذكر سندها الحافظ المزى من طريق سعيد بن زيد عن توبة
العنبرى عن عطاء بن يسار قال حدثنى صاحب الجارية نفسه -يشير إلى معاوية
بن الحكم- وذكر الحديث وفيه: ( فمد النبى صلى الله عليه وسلم يده إليها
وأشار إليها مستفهما: (من فى السماء؟) قالت: الله
Diriwayatkan oleh Imam Al Dzahaby dan ia menyebutkan bahwa pada sanad
riwayat ini terdapat al Hafiz Al Mizziy dari jalur Sa`id bin Zaid
dari Taubah al `Anbarry dari Atha` bin Yassar, ia berkata:
disampaikan kepadaku oleh pemilik budak -mengisyar atkan kepada
Mu`awiyah Bin Hakam- dan menyebutkan hadits, dan di dalam hadits
terdapat redaksi: kemudian Nabi Saw. menjulurkan tangannya kepadanya
(budak) seraya mengisyaratkan pertanyaan, "siapa di langit?" ia
menjawab: "Allah"
Untuk mengkaji lebih jauh tentang jalur-jalur hadits secara
komprehensif, silahkan rujuk kitab al `Uluww, Imam Dzahaby, Kitab
Tauhid, Ibnu Khuzaimah dan syarah-syarah dari kitab Al Muwatha`, Imam
Malik. [9]
Sebagaimana diketahui pada riwayat ini, Rasul Saw. tidak mengatakan
"dimana Allah?" dan juga tidak mengatakan "siapa yang ada di
langit?", namun Rasul Saw. hanya menggunakan bahasa isyarat! Perkataan
Rasul Saw dan budak wanita pada kedua riwayat merupakan pengungkapan
dan redaksi dari periwayat hadits dan pemahamannya, bukan dari Rasul
Saw.! [10]
Sanad hadits ini insya Allah berderajat hasan. Sa`id Bin Zaid
merupakan periwayat hadits yang tsiqah dan beliau merupakan salah
seorang rijal Imam Muslim.
Beliau juga dinyatakan tsiqah oleh: Ibnu Ma`in, Ibnu Sa`ad, Al `Ajaly
dan Sulaiman Bin Harb. Imam Bukhari dan Al Darimy berkomentar
tentangnya : "Ia adalah seorang yang sangat bisa dipercaya dan ia
adalah seorang yang hafiz".
Meskipun Yahya Bin Sa`id dan yang lainnya menyatakan nya sebagai
seorang periwayat yang dha`if. Oleh karena itu hadits yang
diriwayatkannya tidak akan turun, kecuali kepada derajat hasan.
Pada riwayat pertama yang diriatkannya tidak akan turun, kecuali
kepada derajat hasan.
Pada riwayat pertama yang diriwayatkan oleh Imam Muslim terdapat Hilal
Bin Ali Bin Usamah (Hilal Bin Abi Maimunah).
Abu Hatim berkomentar tentangnya "Beliau merupakan seorang syaikh yang
ditulis hadits-haditsnya".
Imam Nasa`i juga mengomentari: " tidak apa-apa dengannya, artinya
sanad darinya adalah berderajat hasan".
Sebagaimana juga diisyaratkan oleh Al Hafiz Ya`cub Bin Sofyan Al
Qasawy. Al Hafiz Ibnu `Abdil Barr pun berkomentar senada dengan itu.
[11]
Dari dua riwayat ini tidak bisa dielakkan bahwa terjadi idlthirab
(keraguan karena banyak versi) di dalam riwayat dan tentang kepastian
adanya lafaz " dimana Allah?"
Begitu juga dengan pernyataan : " berada di langit". Keduanya
merupakan redaksi yang bersumber dari periwayat hadits.
Sangat perlu dipahami bahwa periwayat hadits, Mu`awiyah Bin Hakam
bukanlah seorang ulama, bukan seorang fuqaha di kalangan sahabat
serta jarang menyertai Rasul Saw.
sehingga tidak mempelajari banyak ilmu secara lebih mendalam.
Bahkan sebagaimana disebutkan di dalam riwayat hadits pada sahih
Muslim di awal, "saya baru saja terlepas dari kaum jahiliyah dan masuk
islam".
Ketika itu beliau tidak tahu bahwa menjawab (mendo`akan) orang yang
bersin dapat menyebabkan batal shalat dan berbicara dengan orang lain
juga membatalkan shalat. Oleh karena itu beliau belum memahami
syariat -yang di dalamnya termasuk masalah tauhid- secara lebih
matang.
Tentang keadaan periwayat hadits, Muawiyah Bin Hakam ini, akan semakin
jelas ketika kita melakukan komparasi dengan riwayat hadits lain, yang
diriwayatkan bukan melalui jalur beliau. [12]
Selanjutnya mari kita perhatikan pemaparan Imam Baihaqi: Ada riwayat
lain yang disebutkan oleh Imam Baihaqi di dalam kitab sunan kubra di
dalam Bab zhihar pada sub bab "membebaskan budak yang bisu ketika
mengisyaratkan bahwa dirinya telah beriman".
Riwayat ini dari jalur `Aun bin Abdullah dari Abdullah bin Uthbah dari
Abu Hurairah;
عَنْ عَوْنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ : أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه
وسلم- بِجَارِيَة ٍ سَوْدَاءَ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ
عَلَىَّ عِتْقَ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَقَالَ لَهَا :« أَيْنَ اللَّهُ؟ ».
فَأَشَارَت ْ إِلَى السَّمَاءِ بِإِصْبَعِ هَا فَقَالَ لَهَا :« فَمَنْ
أَنَا؟ ». فَأَشَارَت ْ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَإِلَى
السَّمَاءِ تَعْنِى : أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- :« أَعْتِقْهَ ا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ ».
Dari Abi Hurairah Ra. bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi
Saw dengan seorang budak wanita yang berkulit hitam dan ia berkata
kepada Nabi Saw: Wahai Rasulullah Saw., sesungguhnya saya memiliki
kewajiban untuk membebaskan seorang budak beriman. Kemudian Rasul Saw.
berkata kepadanya (budak wanita): "dimana Allah?" kemudian ia (budak
wanita) memberi isyarat ke arah langit dengan jarinya. Rasul Saw.
kemudian bertanya lagi kepadanya "dan saya siapa?" Ia kembali
mengisyaratkan kepada Nabi Saw. dan selanjutnya menunjuk ke arah
langit, maksudnya "engkau adalah seorang utusan Allah".
Kemudian Rasulullah Saw. berkata kepada laki-laki tadi: "Bebaskanlah
ia, karena ia adalah seorang yang beriman". [13]
Jika melihat kepada keumuman riwayat, ini sama dengan riwayat yang
sebelumnya , menceritakan tentang kisah yang sama dan di dalam
riwayat juga disebutkan bahwa ada redaksi:
فمد النبى صلى الله عليه وسلم يده اليها وأشار اليها مستفهما وقال (من فى
السماء) قالت: الله
Berarti dialog terjadi dengan bahasa isyarat dari kedua sisi dan
redaksi yang didakwakan sebenarnya tidak ada. Hujjatul Islam, Abu
Hamid Al Ghazali menambahkan bahwa budak wanita ini adalah seorang
yang bisu dan ia tidak memiliki cara lain untuk menunjukkan
ketinggian Allah Yang Maha Kamal kecuali dengan menggunakan bahasa
isyarat menunjuk langit. Dialog ini dilakukan oleh Rasul Saw. karena
para sahabat menyangka budak wanita sebagai seorang penyembah berhala
di rumah-rumah penyembahan berhala. Rasul Saw. ingin mengetahui
kebenaran prasangka mereka terhadap keyakinan sang budak, maka sang
budak memberitahukan kepada mereka keyakinannya bahwa sembahannya
bukanlah berhala-berhala yang ada di rumah-rumah penyembahan berhala,
sebagaimana yang disangkaka terhadapnya [14].
Isyarat ini selain menujukkan bahwa budak adalah seorang yang bisu
juga mengisyaratkan bahwa si budak adalah seorang non arab
sebagaimana disebutkan oleh sebagian riwayat.
Isyarat ke langit ini juga adalah suatu hal yang biasa dilakukan oleh
orang awam dan mereka tidak memiliki cara lain untuk menunjukkan Tuhan
mereka.
Jikalaupun dialog ini benar terjadi sesuai dengan redaksi pada Sahih
Muslim, maka Rasul Saw.
menyetujui dialog ini sebagai perwujudan metode dakwah yang
menempatkan seseorang sesuai dengan kemampuan akal mereka [15]
Bagaimana mungkin kita berpegang kepada riwayat yang menjadi
perbincangan sepanjang sejarah ini dan realitanya menyatakan tidak
adanyg kepada riwayat yang menjadi perbincangan sepanjang sejarah ini
dan realitanya menyatakan tidak adanya redaksi dari Rasul Saw. dan
budak secara tegas dan pasti, seperti yang didakwakan?! [16]
bersambung
sumber: http://www.facebook.com/home.php?sk=group_196355227053960&view=doc&id=203195406369942&refid=7

Kamis, 01 Desember 2011

Benarkah Allah berada di langit berdasarkan hadits shahih???

BAB I

Sebagian kawan kita yang menyatakan Allah berada di langit atau
bersemayam di atas `arsy berdalil dengan sebuah hadits yang menceritakan
tentang kisah seorang budak wanita yang berdialog dengan Rasul Saw.. Dalam
hadits tersebut Rasul Saw. melakukan dialog untuk mengetahui keimanan atau
indikasi yang menunjukkan bahwa budak wanita yang dimaksud sudah beriman
atau belum? Budak dimaksud apakah telah memenuhi persyaratan untuk bisa
menjadi kafarah, berupa pembebasan seorang budak beriman bagi muslim yang
melanggar perbuatan tertentu di dalam syariat atau tidak?!


Pada penghujung sebuah hadits riwayat Imam Muslim dengan sanad Mu`awiyah
bin Hakam direkamkan dialog antara Rasul Saw. dengan budak seperti redaksi
berikut: Rasulullah Saw. berkata: "datangkanlah ia kesini". Kemudian akupun
mendatangkan budak wanita tersebut ke hadapaan beliau. Beliau kemudian
bertanya: " Dimanakah Allah?", maka ia menjawab: " Di langit", beliau
bertanya lagi: "Siapa aku?", maka ia menjawab: " Anda Rasul Allah" Lalu
beliau bersabda: "Bebaskanlah ia, karena ia seorang yang beriman" (HR.
Muslim)


Secara umum jumhur umat menolak hadits ini, disebabkan karena faktor: 1.
Hadits ini bertentangan dengan dalil-dalil yang lebih kuat secara naqli dan
`aqli[1 ]. 1. Diantara dalil naqli: a. QS: An Nahl: 17 Maka apakah (Allah)
yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)?


b. QS: Al Syura: 11 : Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia c.
Banyak hadits yang menyatakan bahwa Rasul Saw. ketika menanyakan atau
menguji keimanan seseorang selalu dengan menggunakan syahadat bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah dan syahadat Muhammad adalah utusan Allah. Hadits
seperti ini mencapai kapasitas mutawatir!


2. Dalil `aqly a. Allah mahasuci dari tempat dan bertempat pada sesuatu
apapun dari makhluqNya. Allah mahasuci dari waktu dan pengaruh ruang waktu.
Karena keduanya adalah milik Allah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam
al Razi di dalam menafsirkan firman Allah QS: Al An`am: 12 : "Katakanlah:
"Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi?" Katakanlah:
"Kepunyaan Allah"." Ayat ini menjelaskan bahwa tempat dan semua yang berada
pada tempat adalah milik Allah. Dan firman Allah QS: Al An`am: 13 "Dan
kepunyaan Allah-lah segala yang ada pada malam dan siang hari." Ayat ini
menjelaskan bahwa waktu yang bergulir dan semua yang masuk ke dalam ruang
waktu adalah kepunyaan Allah, bukan sifatNya


b. Akal manusia secara pasti dan tegas menyatakan bahwa Allah, al Khaliq
pasti beda dengan makhluqNya. Bila makhluq bertempat/tidak terlepas dari
tempat tertentu, maka Allah tidak bertempat tertentu. Karena Allah beda
dengan makhluqNya. Bila makhluq berada atau dipengaruhi oleh dimensi waktu,
sedangkan Allah tidak!


c. Allah bersifat qadim, oleh karena itu Allah tidak berada pada ruang
tempat tertentu, baik sebelum diciptakan `arsy dan langit ataupun
setelahnya. Apabila Allah berada di atas langit atau di atas `arsy setelah
Allah menciptakan keduanya, berarti Allah memiliki sifat hadits, karena
keberadaan Allah di atas langit dan `arsy telah didahului oleh ketiadaan
langit dan `arsy dan Allah tidak berada di atas langit dan `arsy sebelum
diciptakan keduanya. Setelah ada, baru kemudian bersemayam diatasnya. Ini
artinya kita menyifati Allah dengan sifat hadits. Sedangkan secara kaidah
dinyatakan: bahwa semua yang bisa dihinggapi oleh sifat hadits adalah
hadits.


2. Hadits ini merupakan hadits yang menjadi perbincangan para ulama sejak
dahulu dan sampai kini, yang tidak diterima oleh sebagian orang karena
bid`ah yang mereka lakonkan[2 ]. Para hafiz di bidang hadits dan para pakar
hadits yang mu`tabar sepanjang sejarah sepakat menyatakan bahwa hadits ini
adalah hadits mudltharib, yang disebabkan oleh banyaknya versi dari hadits
ini, baik secara redaksional maupun secara sanad hadits. Oleh karena itu
sebagian ulama mengatakan hadits ini adalah sahih tapi syadz dan tidak bisa
dijadikan landasan menyangkut masalah akidah! .


Mari kita kaji lebih lanjut hadits yang menceritakan tentang kisah budak
wanita ini secara komprehensif, komparatif dan kritis.

Perhatikanlah redaksi hadits di dalam Sahih Muslim secara lengkap:


روى عن معاوية بن الحكم السلمي قال: بينا أنا أصلي مع رسول الله صلى الله
عليه و سلم إذ عطس رجل من القوم فقلت يرحمك الله فرماني القوم بأبصارهم فقلت
واثكل أمياه ما شأنكم ؟ تنظرون إلي فجعلوا يضربون بأيديهم على أفخاذهم فلما
رأيتهم يصمتونني لكني سكت فلما صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فبأبي هو
وأمي ما رأيت معلما قبله ولا بعده أحسن تعليما منه فوالله ما كهرني ولا ضربني
ولا شتمني قال إن هذه الصلاة لا يصلح فيها شيء من كلام الناس إنما هو التسبيح
والتكبير وقراءة القرآن أو كما قال رسول الله صلى الله عليه و سلم قلت يا رسول
الله إني حديث عهد بجاهلية وقد جاء الله بالإسلام وإن منا رجالا يأتون الكهان
قال فلا تأتهم قال ومنا رجال يتطيرون قال ذاك شيء يجدونه في صدورهم فلا يصدنهم
(قال ابن المصباح فلا يصدنكم ) قال قلت ومنا رجال يخطون قال كان نبي من
الأنبياء يخط فمن وافق خطه فذاك قال وكانت لي جارية ترعى غنما لي قبل أحد
والجوانية فاطلعت ذات يوم فإذا الذيب [ الذئب ؟ ؟ ] قد ذهب بشاة من غنمها وأنا
رجل من بني آدم آسف كما يأسفون لكني صككتها صكة فأتيت رسول الله صلى الله عليه
و سلم فعظم ذلك علي قلت يا رسول الله أفلا أعتقها ؟ قال ائتني بها فأتيته بها
فقال لها أين الله ؟ قالت في السماء قال من أنا ؟ قالت أنت رسول الله قال
أعتقها فإنها مؤمنة


Diriwayatkan dari Mu`awiyah Bin Hakam Al Sulamiy: Ketika saya shalat
bersama Rasulullah Saw. ada seorang laki-laki yang bersin, lantas saya
mendo`akannya dengan mengucapkan yarhamukaLlah. Semua orang yang shalat
lantas melihat kepadaku dan aku menjawab: "Celaka kedua orangtua kalian
beranak kalian, ada apa kalian melihatku seperti itu?!" Kemudian mereka
memukulkan tangan mereka ke paha-paha mereka. Aku tahu mereka memintaku
untuk diam, maka akupun diam. Ketika telah selesai Rasul Saw. menunaikan
shalat, demi ayah dan ibuku, aku tidak pernah melihat sebelum dan
sesudahnya seorang guru yang lebih baik cara mendidiknya daripada Rasul
saw.. Demi Allah, beliau tidak menjatuhkanku, tidak memukulku, dan juga
tidak mencelaku. Beliau hanya berkata: "Sesungguhnya shalat ini tidak boleh
ada perkataan manusia di dalamnya. Di dalam shalat hanyalah terdiri dari
tasbih, takbir dan bacaan al Qur`an." Atau sebagaimana yang dikatakan oleh
Rasul saw.. Aku kemudian menjawab: "Wahai Rasul Saw. sesungguhnya aku
adalah seorang yang baru saja berada di dalam kejahiliyahan kemudian datang
islam. Dan sesungguhnya diantara kami masih ada yang mendatangi para dukun.
Beliau berkata: "Jangan datangi mereka!" Aku kemudian menjelaskan bahwa
diantara kami masih ada yang melakukan tathayyur (percaya terhadap kesialan
dan bersikap pesimistis). Beliau mengatakan: "Itu hanyalah sesuatu yang
mereka rasakan di dalam diri mereka, maka janganlah sampai membuat mereka
berpaling (Kata Ibnu Shabbah: maka janganlah membuat kalian berpaling).
Kemudian ia melanjutkan penjelasan: Aku berkata: dan sesungguhnya diantara
kami ada yang menulis dengan tangan mereka. Rasul Saw. berkata: dari
kalangan Nabi juga ada yang menulis ( khat) dengan tangan, barangsiapa yang
sesuai apa yang mereka tulis, maka beruntunglah ia. Dia kemudian berkata:
saya memiliki seorang budak perempuan yang mengembalakan kambing di sekitar
bukit Uhud dan Jawwaniyyah. Pada suatu hari aku memperhatikan ia
mengembala, ketika itu seekor srigala telah memangsa seekor kambing. Aku
adalah seorang anak manusia juga. Aku bersalah sebagaimana yang lain.
Kemudian aku menamparnya (budak wanita) dengan sekali tamparan. Maka
kemudian aku mendatangi Rasul Saw.. Rasul Saw. menganggap itu adalah suatu
hal yang besar bagiku. Akupun berkata: "Apakah aku mesti membebaskannya?"
Rasul Saw. menjawab: "Datangkanlah ia kesini!". Kemudian akupun
mendatangkan budak wanita tersebut ke hadapan Rasul Saw.. Rasul Saw.
kemudian bertanya: " Dimanakah Allah?", maka ia (budak wanita) menjawab: "
Di langit", Rasul Saw. bertanya lagi: "Siapa aku?", maka ia menjawab: "Anda
Rasul Allah". Lalu Rasul Saw. bersabda: "Bebaskanlah ia karena ia adalah
seorang yang beriman" (HR. Muslim)

Hadits ini menjelaskan beberapa hal penting kepada kita, diantaranya
1. Sekelumit pelajaran yang bisa dipetik dari hadits, diantaranya;
a. Rasul Saw. mencontohkan metode mengajar yang tauladan.
b. Hadits ini menceritakan tentang masalah membayar kafarah berupa
pembebasan seorang budak yang disyaratkan mesti beriman. Rasul Saw.
memastikan apakah budak yang akan dibebaskan sudah beriman?!
c. Di dalam hadits menceritakan tentang status periwayat hadits yang baru
masuk islam.
d. Di dalam hadits menceritakan keadaan kaum si periwayat hadits.
e. Di dalam hadits diceritakan cara Rasul Saw. mengetahui bahwa si budak
seorang beriman atau bukan? Berdasarkan indikasi yang nampak oleh Rasul
Saw..[3)


2. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim pada bab " Haram berbicara di
dalam shalat". Beliau tidak meriwayatkan pada bab "iman", bab "kafarah
dengan pembebasan budak beriman", dan juga bukan pada bab " pembebasan
budak". Artinya hadits ini beliau kelompokkan ke dalam masalah-masalah
`amaliyah, bukan bersifat masalah akidah. Karena hadits ini tidak cukup
kuat untuk berdalil di dalam masalah akidah.

3. Imam Nawawi dalam menjelaskan penghujung hadits yang merupakan dialog
antara Rasul Saw. dengan budak wanita, mengatakan bahwa ulama memiliki
banyak persepsi dalam memahaminya, secara ringkas ulama memahaminya dengan

2 metode;
a. Mengimani hadits sebagaimana yang disampaikan oleh Rasul Saw. tanpa
mengkaji lebih jauh makna yang dimaksud dan meyakini bahwa tidak ada yang
semisal dengan Allah sesuatupun serta mensucikan Allah dari segala sifat
makhluq.
b. Takwil dengan makna sesuai dengan sifat yang layak bagi Allah.[4

bersambung...

Sumber lengkap:
http://www.facebook.com/home.php?sk=group_196355227053960&view=doc&id=203195406369942&refid=7

Rabu, 30 November 2011

```BIOGRAFI AL-IMAM AL-BUKHARI```


Oleh : Prabu Kian Santang.212

Buta di masa kecilnya. Keliling dunia mencari ilmu. Menghafal ratusan
ribu hadits. Karyanya menjadi rujukan utama setelah Al Qur'an. Lahir
di Bukhara pada bulan Syawal tahun 194 H. Dipanggil dengan Abu
Abdillah. Nama lengkap
beliau Muhammmad bin Ismail bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari Al
Ju'fi.

Beliau digelari Al Imam Al Hafizh, dan lebih dikenal dengan sebutan Al Imam
Al Bukhari. Buyut beliau, Al Mughirah, semula beragama Majusi (Zoroaster ),
kemudian masuk Islam lewat perantaraan gabenor Bukhara yang bernama Al
Yaman Al Ju'fi. Sedang ayah beliau, Ismail bin Al Mughirah, seorang tokoh
yang tekun dan ulet dalam menuntut ilmu, sempat mendengar ketenaran Al Imam
Malik bin Anas dalam bidang keilmuan, pernah berjumpa dengan Hammad bin
Zaid, dan pernah berjabatan tangan dengan Abdullah bin Al Mubarak.

Sewaktu kecil Al Imam Al Bukhari buta kedua matanya. Pada suatu malam ibu
beliau bermimpi melihat Nabi Ibrahim Al Khalil 'Alaihissa laam yang
mengatakan , "Hai Fulanah (yang beliau maksud adalah ibu Al Imam Al
Bukhari, pent), sesungguhnya Allah telah mengembali kan penglihatan kedua
mata putramu karena seringnya engkau berdoa". Ternyata pada pagi harinya
sang ibu menyaksikan bahwa Allah telah mengembalikan penglihatan kedua
mata putranya.

Ketika berusia sepuluh tahun, Al Imam Al Bukhari mulai menuntut ilmu,
beliau melakukan pengembaraan ke Balkh, Naisabur, Rayy, Baghdad, Bashrah,
Kufah, Makkah, Mesir, dan Syam. Guru- guru beliau banyak sekali jumlahnya.
Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Abu 'Ashim An- Nabiil, Al
Anshari, Makki bin Ibrahim, Ubaidaillah bin Musa, Abu Al Mughirah, 'Abdan
bin 'Utsman, 'Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, Shadaqah bin Al Fadhl,
Abdurrahman bin Hammad Asy-Syu'ai si, Muhammad bin 'Ar'arah, Hajjaj bin
Minhaal, Badal bin Al Muhabbir, 'Abdullah bin Raja', Khalid bin Makhlad,
Thalq bin Ghannaam, Abdurrahma n Al Muqri', Khallad bin Yahya, Abdul 'Azizi
Al Uwaisi, Abu Al Yaman, 'Ali bin Al Madini, Ishaq bin Rahawaih, Nu' aim
bin Hammad, Al Imam Ahmad bin Hanbal, dan sederet imam dan ulama ahlul
hadits lainnya. Murid-murid beliau tak terhitung jumlahnya. Di antara
mereka yang paling terkenal adalah Al Imam Muslim bin Al Hajjaj An
Naisaburi, penyusun kitab Shahih Muslim.


Al Imam Al Bukhari sangat terkenal kecerdasan nya dan kekuatan hafalannya .
Beliau pernah berkata, " Saya hafal seratus ribu hadits shahih, dan saya
juga hafal dua ratus ribu hadits yang tidak shahih". Pada kesempatan yang
lain belau berkata, "Setiap hadits yang saya hafal, pasti dapat saya
sebutkan sanad (rangkaian perawi-per awi)-nya". Beliau juga pernah ditanya
oleh Muhamad bin Abu Hatim Al Warraaq, " Apakah engkau hafal sanad dan
matan setiap hadits yang engkau masukkan ke dalam kitab yang engkau susun
(maksudnya : kitab Shahih Bukhari -red)?" Beliau menjawab, "Semua hadits
yang saya masukkan ke dalam kitab yang saya susun itu sedikit pun tidak ada
yang samar bagi saya".


Anugerah Allah kepada Al Imam Al Bukhari berupa reputasi di bidang hadits
telah mencapai puncaknya. Tidak mengherankan jika para ulama dan para imam
yang sezaman dengannya memberikan pujian (rekomendasi) kepada beliau.
Berikut ini adalah sederet pujian (rekomendasi) termaksud: Muhammad bin
Abi Hatim berkata, " Saya mendengar Abu Abdillah (Al Imam Al Bukhari)
berkata, "Para sahabat 'Amr bin 'Ali Al Fallaas pernah meminta penjelasan
kepada saya tentang status (kedudukan ) sebuah hadits. Saya katakan kepada
mereka, "Saya tidak mengetahui status ( kedudukan ) hadits tersebut".
Mereka jadi gembira dengan sebab mendengar ucapanku, dan mereka segera
bergerak menuju 'Amr. Lalu mereka menceriter akan peristiwa itu kepada
'Amr. 'Amr berkata kepada mereka, "Hadits yang status ( kedudukan nya)
tidak diketahui oleh Muhammad bin Ismail bukanlah hadits".


Al Imam Al Bukhari mempunyai karya besar di bidang hadits yaitu kitab
beliau yang diberi judul Al Jami' atau disebut juga Ash-Shahih atau Shahih
Al Bukhari. Para ulama menilai bahwa kitab Shahih Al Bukhari ini merupakan
kitab yang paling shahih setelah kitab suci Al Quran. Ketakwaan dan
keshalihan Al Imam Al Bukhari merupakan sisi lain yang tak pantas
dilupakan. Berikut ini diketengah kan beberapa pernyataan para ulama
tentang ketakwaan dan keshalihan beliau agar dapat dijadikan teladan.

Abu Bakar bin Munir berkata, "Saya mendengar Abu Abdillah Al Bukhari
berkata, "Saya berharap bahwa ketika saya berjumpa Allah, saya tidak
dihisab dalam keadaan menanggung dosa ghibah (menggunjing orang lain)".


Abdullah bin Sa'id bin Ja'far berkata, "Saya mendengar para ulama di
Bashrah mengatakan , " Tidak pernah kami jumpai di dunia ini orang seperti
Muhammad bin Ismail dalam hal ma'rifah ( keilmuan) dan keshalihan ".


Sulaim berkata, "Saya tidak pernah melihat dengan mata kepala saya sendiri
semenjak enam puluh tahun orang yang lebih dalam pemahamannya tentang
ajaran Islam, lebih wara' (takwa), dan lebih zuhud terhadap dunia daripada
Muhammad bin Ismail."

Al Firabri berkata, "Saya bermimpi melihat Nabi Shallallaahu 'Alaihi
Wasallam di dalam tidur saya". Beliau Shallallaa hu 'Alaihi Wasallam
bertanya kepada saya, "Engkau hendak menuju ke mana?" Saya menjawab,
"Hendak menuju ke tempat Muhammad bin Ismail Al Bukhari". Beliau Shallallaa
hu 'Alaihi Wasallam berkata, "Sampaikan salamku kepadanya! "


Al Imam Al Bukhari wafat pada malam Idul Fithri tahun 256 H. ketika beliau
mencapai usia enam puluh dua tahun. Jenazah beliau dikuburkan di Khartank,
nama sebuah desa di Samarkand. Semoga Allah Ta'ala mencurahkan rahmat-Nya
kepada Al Imam Al Bukhari.

(Prabu Kian Santang.212)

Sumber iLuvislam

Senin, 28 November 2011

Perpisahan syeikh abu hasan al-asy’ary dari syekh abu hasyim al-jabbaiy

بسم الله الرحمن الرحيم

Ini adalah sebuah kisah yang tertulis dalam kitab tuhfatul muriid halaman 64 baris ke 14 akhir

هذه مسألة كانت سببا لافتراق الشيخ أبى الحسن الأشعرى من شيخه أبى هاشم الجبائى

ini adalah permasalahan yang merupakan sebab musabab memisahkan dirinya syekh abi al-hasan al-asy'ary dari akidah ayahandanya abi hasyim al-jabaaiy

فإن أبا الحسن سأل الجبائى فى درسه وقال ما تقول فى ثلاثة اخوة اى مثلا مات أحدهم كبيرا مطيعا والآخر كبيرا عاصيا والثالث صغيرا

maka sesungguhnya abu al-hasan telah bertannya pada al-jabaaiy dalam pengajian nya, maka berkata lah abu al-hasan apa pendapatmu mengenai tiga orang ikhwan seumpama salah satu dari ketiganya meninggal dalam usia tua dan tho'at, sementara yang kedua nya meninggal dalam usia tua dan ma'shiyat, dan yang ketiga meninggal dalam keadaan masih kecil (belum baligh)?

فقال الجبائى الأول يثاب بالجنة والثانى يعاقب بالنار والثالث لايثاب ولا يعاقب

maka menjawab al-jabaaiy yang pertama diganjar dengan surga, yang kedua disiksa dengan neraka, yang ketiga tidak diganjar dan tidak pula disiksa

فقال له الأشعرى فإن قال الثالث يارب لم أمتنى صغيرا وما أبقيتني فأطيعك فأدخل‎ ‎ الجنة, ماذا يقول الرب؟

lalu sontak bertanya syekh al-asy'ary pada al-jabaaiy jika seandainya yang ketiga bertanya: wahai rob ku mengapa engkau mematikan aku ketika masih kecil dan tidak membiarkan ku hidup sehingga akan tho'at lah aku padamu dan masuklah aku ledakan syurga? Bagaimanakah rob kan menjawab?

فقال الجبائى يقول الرب إنى اعلم أنك لو كبرت عصيت فتدخل النار فكان الأصلح لك أن تموت صغيرا

maka menjawab al-jabaaiy maka rob akan menjawab sesungguhnya aku lebih mengetahui bahwasanya jika kamu hidup sampai baligh maka bermaksiat lah kamu sehingga masuklah kamu ke neraka maka nyatalah yang lebih pantas bagimu yaitu kamu mati ketika masih kecil

فقال الأشعرى فإن قال الثانى يارب لم لم تمتنى صغيرا فلا أدخل النار؟ فبحت الجبائى

terus jika yang kedua bertanya wahai rob ku kenapa engkau tidak mematikan ku ketika aku masih kecil sehingga akupun tidak akan masuk neraka? Maka terdiam lah al-jabaaiy
فترك الأشعرى مذهبه

Selasa, 15 November 2011

ADABUL ISLAM TA'LIM MUTA'ALLIM

By : Pendekar Pedang Setiawan

Profil Facebook :
http://www.facebook.com/pendekar.pedang.ibnu.sahlan?refid=17

http://m.facebook.com/pendekar.pedang.ibnu.sahlan?refid=17


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Dalam ayat alqur'an surat al-mu'minun ayat 33, termaktub :

ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻤﻸ ﻣﻦ ﻓﻮﻣﻪ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻛﻔﺮﻭﺍ ﻭﻛﺬﺑﻮﺍ ﺑﻠﻘﺎﺀ ﺍﻷﺧﺮﺓ ﻭﺃﺗﺮﻓﻨﻯﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻴﻮﺓ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻣﺎ ﻫﺬﺍ ﺇﻻ ﺑﺸﺮﻣﺜﻠﻜﻢ ﻳﺄﻛﻞ ﻣﻤﺎ ﺗﺄﻛﻠﻮﻥ ﻣﻨﻪ ﻭﻳﺸﺮﺏ ﻣﻤﺎ ﻧﺸﺮﺑﻮﻥ [ المعمنون ٣٣ ]

Terjemah : "Dan berkatalah pemuka- pemuka orang yang tertutup (mata hatinya) di antara kaumnya dan yang mendustakan, akan menemui hari akhirat (kelak) dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan di dunia, (mereka berkata) :
"(Orang) ini { nabi muhammad shallallahu alaihi wasallam, dan orang-orang yang beriman} tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, dia makan dari apa yang kamu makan, dan meminum dari apa yang kamu minum".
[Al- Mu'minun 33]

Dalam salah satu tafsir di jelaskan bhw "Al-Mala" berdasarkan Penjelasan Al Roghib adalah :

ﺍﻟﻤﻸ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﻳﺠﺘﻤﻌﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺭﺃﻯ ﻓﻴﻤﻸﻭﻥ ﺍﻟﻌﻴﻮﻥ ﺭﻭﻋﺎﺀﻭ ﺍﻟﻨﻔﻮﺱ ﺩﻻﻟﺔ ﻭﺑﻬﺎﺀ ﺍﻯ ﺍﺷﺎﺭﻑ ﻗﻮﻣﻪ ﺍﻟﻜﺎﻓﺮﻳﻦ

"Al-Mala', adalah Sekumpulan orang-orang yg berkumpul atas sebuah pendapat (Akal), pandangan mereka di penuhi dg rasa was-was / kekhawatiran dan nafsu untuk mencapai sebuah bukti dan kelayakan, maksudnya untuk membela / mempertahankan kemulyaan Kaumnya yg kafir. -------------------
---------------------------------------------------------------------
Seringkali kita membaca sebuah statement dengan nada merendahkan, bahwa para nabi adalah manusia biasa, tidak bisa memberi syafa'at, manfaat, dan mudhorot,

Para Imam Madzhab itu manusia biasa, tidak Ma'shum pendapatnya bisa salah,

para shufi adalah manusia biasa, bukan orang suci seperti halnya malaikat,

para wali itu manusia biasa, bukan orang sakti,

dan semua itu di ucapkan dengan nada ejekan, meremehkan, dan merendahkan.

Artinya mereka hanya melihat dan menilai pada sisi kemanusiaan (basyariah) saja dan menyama ratakan kemampuan Basyariyahnya dengan mereka, sehingga mereka tidak punya rasa rendah diri atau tawadhu' sedikitpun di hati dan jiwa, padahal derajat mereka jauh berada dibawah.
Ada sebuah Hikmah mengatakan: "Apa bila Allah berkehendak memperlihatkanmu pada seorang WaliNya (kekasihNya, HambaNya, para Anbiya', Shiddiqin, Syahidin, Sholikhin) maka Dia membuatmu tidak melihat sisi kemanusiaannya, namun melihat keistimewaannya".
Orang-orang as-Sabiqunal awwalun meraih Iman kepada Rosulullah itu ketika mereka tidak memandang Beliau sebagai manusia biasa yang hanya makan, minum, tidur, merasakan sakit, enak, dll. seperti hal nya yang mereka alami juga, tapi Hati mereka tunduk sebab Fakta bahwa Rasulullah seorang yang istimewa, lain dari yang lain, atau dengan kata lain Kesempurnaan prilaku, Akhlaq, sikap, ilmu, mu'jizat, yang di milikinya, tidak di miliki oleh yang lain..

Begitu juga sikap umat islam para alim yang hidup semasa imam madzhab, semasa para A'immah mutashawwif, semasa para wali, mereka menilai tidak hanya sekedar basyariyah, tapi berdasarkan kesaksian akan keistimewaan yang di berikan Tuhan kepada Hamba Yang Di KasihiNya.

Wa bilahi taufiq wal hidayah wa ridho wal inayah,

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Rabu, 09 November 2011

MELURUSKAN SEJARAH SYEIKH SITI JENAR

TARIKH (SEJARAH) :

BENARKAH SYEKH SITI JENAR SUFI SESAT BERFAHAM MANUNGGALING KAWULO GUSTI. . .??

MELURUSKAN SEJARAH SYEH SITI JENAR

Oleh: KH.Shohibul Faroji Al- Robbani

Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan 'Ali Al- Husaini, dilahirkan di Persia, Iran.

Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit. Syaikh Siti Jenar adalah seorang sayyid atau habib keturunan dari Rasulullah Saw.

Nasab lengkapnya adalah

> Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan 'Ali]

> bin Sayyid Shalih

> bin Sayyid 'Isa 'Alawi

> bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin

> bin Sayyid 'Abdullah Khan

> bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan

> bin Sayyid 'Alwi 'Ammil Faqih

> bin Sayyid Muhammad Shohib Mirbath

> bin Sayyid 'Ali Khali Qasam

> bin Sayyid 'Alwi Shohib Baiti Jubair

> bin Sayyid Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah

> bin Sayyid 'Alwi al-Mubtakir

> bin Sayyid 'Ubaidillah

> bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir

> bin Sayyid 'Isa An-Naqib

> bin Sayyid Muhammad An- Naqib

> bin Sayyid 'Ali Al-'Uraidhi

> bin Imam Ja'far Ash-Shadiq

> bin Imam Muhammad al-Baqir

> bin Imam 'Ali Zainal 'Abidin

> bin Imam Husain Asy-Syahid

> bin Sayyidah Fathimah Az- Zahra

> binti Nabi Muhammad Rasulullah Saw. Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran.

Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur'an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur'an usia 12 tahun.

Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu. Kesultanan Malaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1 (satu), Kekhalifahan Turki Utsmani. Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.

Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad. Pada akhir tahun 1425 M.

Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad. Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al- Mu'tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin 'Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma'rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun.


Pada saat itu Mursyid Al-Thariqah Al-Mu'tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu :

1. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu'tabarah al- Ahadiyyah, dari sanad sayyidina Abu Bakar ash- Shiddiq, untuk wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya

2. Sayyid Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina 'Umar bin Khattab, untuk wilayah Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya,

3. Sayyid Kahfi, dari sanad Sayyidina Utsman bin 'Affan, untuk wilayah Jawa Barat, Banten, Sumatera, Champa, dan Asia tenggara

4. Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja'far al-Bilali, dari sanad Imam 'Ali bin Abi Thalib, untuk wilayah Makkah, Madinah, Persia, Iraq, Pakistan, India, Yaman. Kitab-Kitab yang dipelajari oleh Siti Jenar muda kepada Sayyid Kahfi adalah :

> Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu 'Arabi,

> Kitab Insan Kamil karya Abdul Karim al- Jilli,

> kitab Ihya' Ulumuddin karya Al-Ghazali,

> kitab Ar-Risalah Qushairiyah karya Imam al- Qushairi,

> Tafsir Ma'rifatullah karya Ruzbihan Baqli,

> Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj,

> Kitab At-Tajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy.

> Kitab Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy.

Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun.

Dan beliau belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun.

Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah Al- Mu'tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin 'Affan.

Di antara murid- murid Syaikh Siti Jenar adalah :

Syeh Muhammad Abdullah Burhanpuri,

Syeh Ali Fansuri,

Syeh Hamzah Fansuri,

Syeh Syamsuddin Pasai,

Syeh Abdul Ra'uf Sinkiliy,

dan lain-lain.

KESALAHAN SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI JENAR YANG MENJADI FITNAH adalah :

1. Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari'at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm.1, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, "Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang." [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]

2. "Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti" yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah tidak benar. Istilah itu berasal dari Kitab- kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat "Fana' wal Baqa'. Fana' Wal Baqa' sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana' Wal Baqa' merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah: "Kullu syai'in Haalikun Illa Wajhahu", artinya "Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah". Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana' wal Baqa', Tauhid Qur'ani dan Tauhid Syar'iy.

3. Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum'at, Haji dsb. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata, "Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari'at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir "Allah..Allah..Allah" dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum'at".

4. Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah menjadi anjing.

Bantahan : "Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. Sungguh aneh, seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun. Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka kita harus meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama', kyai dan ajengan yang terpercaya kewara'annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.

5. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron.

Bantahan : Wali Songo adalah penegak Syari'at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii'ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin 9 waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama." Tidak bisa diterima akal sehat.

Manipulasi sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar antara Ulama' Syari'at dengan Ulama' Hakikat


Posting by :
Pendekar Pedang Setiawan

Profil facebook
http://www.facebook.com/pendekar.pedang.ibnu.sahlan?refid=17

Jumat, 04 November 2011

Sebuah pengkhianatan yang keji

By Ibnu Abdillah Al-Katibiy

Mungkin takkan mudah untuk segelintir orang menerima hal tulisan ini
namun ini adalah bukti scan yang nyata, kitab diatas adalah bukti
tindak pengkhianatan seorang murid terhadap ilmu dan
gurunya sendiri dan betapa sungguh disayangkan ternyata tindakan
penghianatan yang tercela ini berdampak sangat fatal bagi sebagian
ummat muslim.
Na'uudzubillah

Utsaimin memanipulasi ucapan guru besarnya Ibnu Taimiyyah, perhatikan
yang berikut ini.

Ibnu Taimiyyah di dalam kitabnya Iqtidhoush shirotil Mustaqim juz 1
halaman : 619 mengatakan tentang Maulid Nabi Saw :

ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻣﺎ ﻳﺤﺪﺛﻪ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻨﺎﺱ،ﺇﻣﺎ ﻣﻀﺎﻫﺎﺓ
ﻟﻠﻨﺼﺎﺭﻯ ﻓﻲ ﻣﻴﻼﺩ ﻋﻴﺴﻰ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻡ،ﻭﺇﻣﺎ ﻣﺤﺒﺔ
ﻟﻠﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ،ﻭﺗﻌﻈﻴﻤًﺎ.ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻗﺪ
ﻳﺜﻴﺒﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻤﺤﺒﺔ ﻭﺍﻻﺟﺘﻬﺎﺩ،ﻻ ﻋﻠﻰ
ﺍﻟﺒﺪﻉ-ﻣﻦ ﺍﺗﺨﺎﺫ ﻣﻮﻟﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻴﺪًﺍ.ﻣﻊ ﺍﺧﺘﻼﻑ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻲ ﻣﻮﻟﺪﻩ.ﻓﺈﻥ ﻫﺬﺍ
ﻟﻢ ﻳﻔﻌﻠﻪ ﺍﻟﺴﻠﻒ،ﻣﻊ ﻗﻴﺎﻡ ﺍﻟﻤﻘﺘﻀﻲ ﻟﻪ ﻭﻋﺪﻡ
ﺍﻟﻤﺎﻧﻊ ﻣﻨﻪ ﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﺧﻴﺮًﺍ.
(ﺍﻗﺘﻀﺎﺀ ﺍﻟﺼﺮﺍﻁ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﻴﻢ ﻣﺨﺎﻟﻔﺔ ﺃﺻﺤﺎﺏ
ﺍﻟﺠﺤﻴﻢ،ﺝ، 1ﺹ619 (


" Demikian pula apa yang diperbuat orang-orang, terkadang bisa saja
menyerupai orang-orang Nashroni di dalam memperingati hari lahirnya
isa As, dan juga terkadang bisa juga karena rasa cinta dan pengagungan
Kepada Nabi Saw dan Allah memberi pahala mereka atas kecintaan dan
ijtihad ini bukan karena bid'ah berupa menjdikan mauled Nabi Saw
sbagai hari raya padahal para ulama berbeda pendapat tentang hari
kelahiran Nabi Saw"


Sekarang perhatikan fatwa Utsaimin dan pengkaburannya terhadap ucapan
Ibnu Taimiyah dengan membuang sebagian ucapan ibnu Taimiyyah dalam
kitab Majmu' Fatawanya jilid 6 halaman 200 berikut ini :

ﻭﻗﺎﻝ ﺷﻴﺦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺍﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ-ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ" :ﻭﻛﺬﻟﻚ
ﻣﺎ ﻳﺤﺪﺛﻪ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻨﺎﺱ؛ ﺇﻣﺎ ﻣﻀﺎﻫﺎﺓ ﻟﻠﻨﺼﺎﺭﻯ ﻓﻲ
ﻣﻴﻼﺩ ﻋﻴﺴﻰ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻡ،ﻭﺇﻣﺎ ﻣﺤﺒﺔ ﻟﻠﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ
ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺗﻌﻈﻴﻤﺎ ﻟﻪ...ﻣﻦ ﺍﺗﺨﺎﺫ ﻣﻮﻟﺪ
ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻴﺪًﺍ-ﻣﻊ ﺍﺧﺘﻼﻑ
ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻲ ﻣﻮﻟﺪﻩ؛ ﻓﺈﻥ ﻫﺬﺍ ﻟﻢ ﻳﻔﻌﻠﻪ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻣﻊ
ﺍﻟﻘﻴﺎﻡ ﺍﻟﻤﻘﺘﻀﻰ ﻟﻪ ﻭﻋﺪﻡ ﺍﻟﻤﺎﻧﻊ ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻫﺬﺍ
ﺧﻴﺮًﺍ ﻣﺤﻀﺎ ﺃﻭ ﺭﺍﺟﺤﺎ؛ ﻟﻜﺎﻥ ﺍﻟﺴﻠﻒ-ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ
ﻋﻨﻬﻢ-ﺃﺣﻖ ﺑﻪ ﻣﻨﺎ؛


" Demikian pula apa yang diperbuat orang-orang, terkadang bisa saja
menyerupai orang-orang Nashroni di dalam memperingati hari lahirnya
isa As, dan juga terkadang bisa juga karena rasa cinta dan pengagungan
Kepada Nabi Saw (sampai di sini Utsaimin memotong ucapan Ibnu
Taimiyah), dari menjadikan hari kelahiran Nabi Saw sebagai hari raya…"


Catatan :
Lihatlah, bagaimana Utsaimin berani membuang dan memotong ucapan guru
besarnya sendiri Ibnu Taimiyah bukan Cuma memotong tetapi ia juga
menambahi ucapannya sendiri ke dalam ucapan Ibnu Taimiyyah seperti
tertera di atas…

Sungguh ia telah melakukan talbis (penipuan terhadap umat) dan khianat
terhadap ilmu dan
gurunya sendiri…!!!

Aqsaamul kalaam


بسم الله الرحمن الرحيم

‎وَأَقْسَامُهُ ثَلَاثَةٌ : إسم وَفِعْلٌ وَحَرْفٌ جَاءَ لِمَعْنًى

berkata pengarang kitab jurumiah
kalam terbagi tiga

1. Kalimah isim
2. Kalimah fi'il
3. Kalimah haraf


يعنى أن أجزاء الكلام التى يتألف منها ثلاثة‎ ‎أقسام

meyakinkan ulama pengarang kitab bahwa sesungguhnya juz-juz kalam itu
yakni perkara yang akan menuliskan/menjelaskan ulama pengarang
daripadanya pada tiga bagian

الأول الإسم وهو
كلمة دلت على معنى في نفسها ولم تقترن بزمن وضعا كزيد وأنا وهذا

yang pertama adalah kalimah isim, kalimah isim adalah kalimah yang
menunjukan pada makna didalam dzatiah kalimah tersebut yang tidak
dibarengi dengan zaman pada penerapan nya
contoh: زيد zaidun hanya bermakna nama "zaid" saja tanpa dibarengi
dengan makna waktu seperti telah, sedang atau akan, begitu juga
lafadz انا (anaa) artinya saya, dan lafadz هذا (Hadza) artinya ini,

الثان الفعل وهو كلمة دلت على معنى في نفسها واقترنت بزمن‎ ‎وضعا


Bagian kalam yang kedua adalah kalimah fi'il yaitu kalimah yang
menunjukan makna dalam zat kalimah tersebut dan juga dibarengi dengan
makna waktu, (entah itu makna "telah, sedang, dan akan") didalam
penerapan nya

فأن دلت تلك الكلمة على زمن ماض فهو الفعل الماضى نحو‎ ‎قام

maka jika fi'il tersebut menunjukan makna zaman yang telah
lewat/terjadi maka fi'il tersebut adalah fi'il madli contoh lafadz قام
artinya telah berdiri seorang lelaki

وإن دلت على زمن يحتمل الحال والإستقبال فهو فعل مضارع نحو يقوم
dan jika fi'il tersebut menunjukan pada makna zaman yang pantas pada
zaman hal (sedang/sekarang) dan zaman yang akan datang maka fi'il
tersebut adalah fi'il mudlori contoh lafadz: يقوم artinya sedan atau
akan berdiri


وإن دلت على طلب شيئ فى المستقبل فهو فعل الأمر نحو قم
dan jika fi'il tersebut menunjukan pada mencari sesuatu di zaman yang
akan datang maka fi'il tersebut adalah fi'il amar contoh lafadz: قم
artinya berdirilah kamu

الثلث الحرف وهو كلمة دلت على معنى فى غيرها نحو الى وهل ولم

Dan bagian kalam yang ketiga adalah kalimah haraf/huruf yaitu kalimah
yang menunjukan pada makna dari selain dzat kalimah tersebut contoh:
الى lafadz ilaa, وهل dan lafadz hal, ولم dan lam.


dan penjelasan untuk perkataan ulama pengarang tentang جاء لمعنى
adalah sesungguhnya yang dimaksud dengan haraf/huruf disini ialah
huruf yang memili makna contoh seperti: هل (hal=apakah) dan لم
(lam=tidak) dan bukan huruf seperti ز zay nya dari lafadz زيد atau ي
iya nya dan د dal nya karna huruf zay, iya, dan dal tersebut adalah
huruf mabni bukan huruf makna.

Wallahu a'lam

Rabu, 02 November 2011

METODE ITSBAT NAMA TOKOH SUATU GOLONGAN

By : Pendekar Pedang Setiawan

Profil fb :

http://www.facebook.com/pendekar.pedang.ibnu.sahlan?refid=17

http://m.facebook.com/pendekar.pedang.ibnu.sahlan?refid=17


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Sering kita dengar tentang sebuah sebutan nama kelompok atau golongan yang berdasarkan nama tokoh yang di ikuti faham dan pemikirannya..

AItsbat (penetapan) dalam menyandarkan sebutan nama terhadap pengikut seorang tokoh atau golongan, dalam kaedah tradisi arabiyah..
Ada berbagai macam subyek,

(1) nama asli, yaitu menyandarkan pada nama asli seorang tokoh..

Contoh : malikiyah, qodiriyah, alawiyah, dll.

(2) nama pendahulu, spt ayah, kakek, dst.. yaitu menyandarkan pada nama pendahulunya dari seorang tokoh.
Contoh : hanabilah, syafi'iyah, asy'ariyah, dll

(3) nama gelar sifat, yaitu menyandarkan pada gelar sifat yang dinisbatkan pada seorang tokoh.
Contoh : mu'tazilah, qodariyah, syi'ah,

(4) nama gelar tempat (yang di singgahi) yaitu menyandarkan pada gelar tempat yang jadi persinggahan seorang tokoh.
Contoh : syadziliyah, tijaniyah, naqhshabandiyah, dll

Mungkin masih ada berbagai sisi lagi yang telah di sepakati, dan semua itu tidak terlepas dari tradisi arabiyah..

Wallahu'alam

Selasa, 01 November 2011

BOLEHKAH ISTRI CARI NAFKAH?


By Alhajj Hariri Nur Ileh

tugas pokok wanita (Istri) adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga serta terhadap (pendidikan/dan pembentukan akhlaq) bagi anak-anaknya serta menjaga kehormatan nya.

Dan ini yang dihukumi WAJIB karena ada konsekwensi pertanggung jawaban kepada Allah swt.

(Nuzhatul Muttaqien Syarah Riyadhus Shalihin Bab 35)

Wanita (Istri) tidak dibebani (wajib) untuk mencari nafkah (bekerja) baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, justru berhak mendapatkan nafkah dari suaminya (kalau perempuan tersebut telah menikah) atau walinya (kalau belum menikah), atau dengan kata lain seandainya dia bekerja , maka mubah hukumnya selama bisa tetap menjalankan fungsinya sebagai pemelihara terhadap anak- anaknya dan dapat menjaga diri dan kehormatan nya.

Akan tetapi, bila sudah tercukupi nafkahnya dari suami maka seharusnya wanita/Istri harus mendahulukan yang Wajib dan mengabaikan yang mubah. Karena yang wajib itu lebih berat konsekwensinya (pertanggung jawabannya) kepada Allah swt.

Dalam Kaidah Ushul Fiqh :

الواجب لا يترك الا لواجب

Sesuatu yang wajib itu TIDAK BOLEH ditinggalkan kecuali karena sesuatu yang Wajib.

Maka tidak boleh seorang muslim/muslimah mendahulukan perbuatan yang mubah dan mengabaikan perbuatan wajib.

Tidak boleh mendahulukan pekerjaan/ karier, mengabaikan Rumah Tangga, mengabaikan pendidikan akhlak anak-anak.

والله اعلم

Minggu, 30 Oktober 2011

Pembahasan lebih lanjut tentang makna Hadits menjadikan kuburan sebagai masjid / tempat sujud


Sebelumnya saya sudah membahas persoalan hadits tersebut dan juga
maknanya, namun karena kawan-kawan salafi wahhabi belum juga bisa
memaknai hadits tersbut dengan makna yang shahih dan benar, maka Kali
ini saya akan membahas lebih lanjut makna Hadits tersebut ditinjau
dengan beberapa disiplin ilmu, dengan keterbatasn ilmu al-Faqir.


Hadits Pertama :

Nabi Saw bersabda :

لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد

" Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashoro yang
menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujudnya


" Hadits Kedua :

لاتجلسوا على القبور ولا تصلوا إليها

" Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan janganlah sholat
menghadapnya ".

PENJELASAN HADITS PERTAMA :


Segi Ilmu Nahwu :

لعن : فعل ماض مبني على الفحة

الله : فاعل مرفوع بالضمة

اليهود : مفعول لعن منصوب بالفتحة

و : حرف عطف

النصارى : معطوف باليهود منصوب بالفتحة

اتخذوا : فعل ماض والواو للجماعة ضمير متصل في محل رفع فاعل

والاتخاذ من افعال التحويل تنصب مفعولين.

قبور : مفعول اول وهو مضاف

انبياء : مضاف اليه مجرور بالكسرة

هم : ضمير متصل مبني على السكون

مساجد : مفعول ثان منصوب بالفتحة لانه من الاسماء غير منصرفة

وجملة الفعل والفعل وما بعدها في محل نصب نعت لليهود والنصارى

Keterangan :

• Lafadz ittakhadza termasuk fi'il tahwil yaitu predikat yang
menunjukkan arti merubah dan memiliki dua maf'ul karena ia juga
termasuk akhowat dzonna (saudaranya dzonna) yang menashobkan dua
maf'ulnya.

• Maf'ul pertamanya adalah kalimat QUBURA ANBIYAIHIM ( Kuburan para
nabi mereka).

Dan maf'ul keduanya adalah MASAJID (masjid-masjid).

• Dan jumlah susunan kalimat ITTAKHODZA dan setelahnya menjadi NA'AT
(Sifat) bagi Yahudi dan Nashoro.

Maka arti dari sisi nahwunya " Allah melaknat kepada Yahudi dan
Nashoro yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai
masjid-masjid ".

Segi Ilmu Balaghah dan Bayan :


لعن الله

• : Adalah jumlah du'aiyyah (susunan doa) yang mengandung makna
tholabiyyah (permohonan).


اتخذوا


• : Adalah jumlah musta'nifah 'ala sabilil bayan limuujibil la'an
(Susunan permulaan kalimat untuk menjelaskan sebab pelaknatan)


قبور انبيائهم مساجد


• : Kalimat ini merupakan Majaz tasybih.


- Majaz : Penggunaan suatu kata dengan makna yang lain daripada
maknanya yang lazim. Kebalikan dari majaz ialah haqiqah.


- Tasybih : Uslub yang menunjukkan perserikatan sesuatu dengan
sesuatu yang lain dalam sifatnya.


Secara umum tasybih ini tujuannya untuk menjadikan suatu sifat lebih
mudah diindera.


Maka arti dari sisi ilmu balaghah dan bayan ini adalah :


" Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashoro, sebab mereka
telah menjadikan kuburan para nabi seperti tempat sujud ".


Syarah alfadz atau mufradat :


Sekarang kita akan kupas satu persatu dari kalimat hadits tersebut
dengan melihat dan menyesuaikan hadits-hadits shahih lainnya, merujuk
pada asbab wurudnya dan ilmu sejarahnya, sehingga
kita akan dapatkan makna yang shohih, kuat dan sesuai dengan
hadits-hadits lainnya yang saling berkaitan.


Setelah itu kita akan timbang dengan komentar-komentar atau
pendapat-pendapat para ulama besar yang sangat berkompeten dan
menguasai segala disiplin ilmu baik dhahir maupun bathin.


PEMBAHASAN : Mufradat :


• Lafadz qubur jama' dari mufrad qobrun yang berarti madfanul insane
al-mayyit (tempat pendaman mayat).


• Sedangkan lafadz maqbarah adalah isim makan lilqobri yaitu maudhi'u
dafnil mauta (tempat pendaman orang-orang yang mati atau istilah
lainnya pekuburan / pemakaman).


Yang berarti juga tempat dimana terdapat tiga atau lebih dari orang
yang dipendam.


• Dan lafadz Masajid adalah jama' dari kata Masjid berasal dari kata
sajada yasjudu (bersujud).


Masjid adalah isim makan 'ala wazni maf'ilun.


Maka masjidun artinya makanun lis sujud ( tempat untuk sujud).


Maka dari ini makna hadits yang shahih adalah :

لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد

Adalah : " Semoga Allah melaknat orang-orang yahudi dan Nashoro,
sebab mereka telah menjadikan tempat pendaman para nabi mereka
sebagai tempat untuk sujud ".

Yakni, orang-orang yahudi menjadikan kuburan nabi mereka sebagai
tempat sujud dan ibadah mereka.

Mereka buat patung seorang nabi atau orang sholeh di atas kuburan
nabi atau orang sholeh tersebut.

Kemudian patung itu mereka sembah dan mereka jadikan arah sembahyang mereka.

Inilah makna yang shahih dan sebenarnya, kenapa bias demikian ?
simak penjabarannya berikut ini..

Pertama : Fi'il ittakhodza ( اتخذ ) adalah dari fi'il khumasi
muta'addi dan salah satu fi'il tahwil atau shoirurah yang memiliki
makna merubah dan berhukum menashobkan dua maf'ul (objek)-nya.
Maf'ul yang pertama menjadi dzat maf'ul yang kedua seluruhnya.

Contoh :

اتخذت الحقل مرعى

" Aku jadikan ladang itu sebagai tempat penggembalaan ". Artinya ;

" Aku merubah semua
ladang itu menjadi tempat penggembalaan ".

Kalau untuk sebagian maka kalimatnya sebagai berikut :

اتخذت من الحقل مرعى

" Aku rubah sebagian ladang itu sebagai tempat penggembalaan ".

Kalau untuk di artikan membangun , maka tidak boleh kita katakan :

اتخذت الارض بيتا

" Aku bangun tanah itu sebagai rumah ",


kalimat ini tidak sah dan rusak karena tidak sesuai dengan fungsi
fi'il ittakhodza sebagai fi'iI tahwil bukan bina'.

Maka seharusnya yang lebih tepat kalimatnya adalah sebagai berikut :

بنيت على الارض بيتا

" Aku membangun rumah di atas tanah itu ".

Maka hadits di atas tidak tepat jika diartikan membangun tempat sujud
di kuburan, makna shahihnya adalah merubah kuburan sebagai tempat
sujud.

Karena ini sesuai fungsi dan kaedah fi'il tersebut.

Dan hadits membangun masjid / tempat sujud dikuburan, ada matan dan
riwayatnya tersendiri tidak ada kaitannya dengan hadits di atas.

Nanti saya akan jelaskan.

Kedua :

Dari sisi sejarah dan sebab wurudnya hadits di atas dapat diketahui
makna hadits di atas yang sebenarnya :

فقد قالت السيدة أم سلمة رضى الله تعالى عنها لرسول الله صلى الله عليه
وسلم حين كانت فى بلاد الحبشة تقصد
الهجرة إنها رأت أناسا يضعون صور صلحائهم وأنبيائهم ثم يصلون لها، عند
إذن قال الرسول صلى الله عليه وسلم (لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا
قبور انبيائهم مساجد .

Ummu Salamah Ra bercerita kepada Rasulullah Saw ketika dulu ia berada
di Habasyah saat hendak Hijrah, bahwa dia pernah melihat beberapa
orang yang meletakkan patung-patung orang sholih dan para Nabi
mereka, kemudian mereka sholat kepada patung-patung tersebut.

Maka bersabdalah Rasulullah Saw " Allah melaknat orang Yahudi dan
Nashoro yang telah menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid
".

Dan sejarah ini telah dijelaskan pula oleh Allah Saw dalam al- Quran berikut :

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ
اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ
مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا إِلَهاً وَاحِداً لاَّ
إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

" Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi) dan rahib- rahibnya
(Nashoro) sebagai tuhan selain Allah.

Dan orang-orang Nashoro berkata " dan juga Al-Masih putra maryam ".
Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Mah Esa.

Tidakada Tuhan selain Dia. Maha Dia dari apa yang mereka persekutukan ".

(At-Taubah : 31)

Jelas dari sisi ini, bahwa sebab Rasul Saw melaknat orang yahudi dan
nashoro adalah karena mereka menyembah patung para nabi dan patung
orang sholeh (dalam istilah mereka disebut rahib) di antara mereka.

Bukan membangun masjid di atas kuburan apalagi sholat di dalam masjid
yang ada kuburannya.

Ketiga :

Makna ini sesuai dengan hadits shohih Nabi Saw lainnya berikut
diriwayatkan dari Atho''bin Yasar bahwa Nabi Saw bersabda :

اللهم لا تجعل قبري وثناً يعبد، اشتد غضب الله على قوم، اتخذوا قبور
أنبيائهم مساجد

" Ya Allah, jangan jadikan kuburanku sesembahan yang disembah, Allah
sangat murka pada kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka
sebagai tempat sujud ".

Illat / alasan Allah murka kepada kaum yang menjadikan kuburan para
nabi sebagai tempat sujud adalah karena mereka memang menyembah
kuburan tersebut, sujud pada kuburan tersebut dengan anggota
tubuh dan juga hati mereka.

Oleh karenanya Nabi Saw mengucapkan kata-kata " watsanan yu'bad " (
sesembahan yang disembah).

Bahkan jika dikaitkan hadits ummu Salamah Nampak jelas mereka
menyembah patung nabinya atau patung orang sholeh mereka.

Keempat :

Kalimat masajid dalam hadits di atas maknanya adalah tempat sujud
bukan berupa bangunan masjid.

Karena orang-orang yahudi beribadah bukan di dalam masjid, demikian
juga orang-orang Nashoro beribadah bukan di dalam masjid, melainkan
mereka beribadah di ma'bad dan kanisah (kuil dan gereja).

Maka hadits di atas sangat tidak tepat diarahkan pada bangunan masjid
kaum muslimin.

Maka makna hadits tersebut yang shahih adalah " Semoga Allah
melaknat orang Yahudi dan Nashoro tersebut, sebab menjadikan kuburan
para nabi sebagai tempat sujud ".

Makna tempat sujud ini juga sesuai dengan hadits Nabi Saw sebagai berikut :

" الأرض كلها مسجد إلا المقبرة
والحمام

" Bumi ini seluruhnya adalah layak untuk dijadikan tempat sujud
(tempat untuk sholat), kecuali pekuburan dan tempat pemandian ".

Jika kita artikan masjid dalam hadits ini adalah bangunan masjid,
maka logikanya kita boleh melakukan I'tikaf dan sholat tahiyyatul
masjid di kebun, lapangan atau di tanah pasar.

Sungguh hal ini bertentangan dengan hukum fiqihnya.

Dan juga semakin jelas dan nyata bahwa makna masjid di situ adalah
bukan bangunan masjid melainkan tempat yang layak untuk sujud, dengan
penyebutan mustatsna (yang dikecualikan) setelah menyebutkan mutatsna
minhunya dengan huruf illanya yaitu kalimat al-Maqbarah (pekuburan)
dan al-Hammam (tempat pemandian).

Karena tidak mungkin pekuburan dan kamar mandi disebut juga bangunan masjid.

Maka arti hadits tersebut bermakna :

" Bumi ini seluruhnya layak dijadikan tempat sujud, kecuali tempat
pekuburan dan tempat pemandian ".

Jika kita artikan masjid disitu
dengan bangunan masjid " Bumi ini seleuruhnya adalah masjid kecuali
pekuburan dan tempat pemandian ", maka pengertian seperti ini jelas
salah dan batal, karena sama juga menyamakan pekuburan dan tempat
pemandian itu dengan masjid yang boleh I'tikaf dan sholat tahiyyatul
masjid lalu diisttisnakan dengan illat yang tidak diketahui.

Kelima :

Melihat sejarah pemakaman Nabi Saw .

Rasulullah Saw dimakamkan di tempat meninggalnya, yakni di tempat
yang dahulunya adalah kamar Ummul Mukminin Aisyah ra., isteri Nabi
saw.

Kemudian berturut-turut dimakamkan pula dua shahabat terdekatnya di
tempat yang sama, yakni Abu Bakar Al-Shiddiq dan Umar bin Khatthab.

Di masa Nabi Saw Awalnya, masjid ini berukuran sekitar 50 m × 50
m, dengan tinggi atap sekitar 3,5 m.

Karena umat muslim yang berkunjung semakin pesat dan tempatnya
semakin sempit, maka oleh Utsman bin Affan direnovasi dan diperluas
lagi walaupun yang pertama merovasinya
adalah Umar bin Khoththob.

Kemudian diperluas lagi di zaman modern oleh raja Abdul Aziz sehingga
bangunannya menjadi 6.024 m² di tahun 1372 H.

Selanjutnya diperluas lagi oleh raja Raja Fahd di tahun 1414 H,
sehingga luas bangunan masjidnya hampir mencapai 100 . 000 m²,
ditambah dengan lantai atas yang mencapai luas 67.000 m² dan
pelataran masjid yang dapat digunakan untuk salat seluas 135.000
m². Sehingga mau tidak mau, makam Nabi Saw berada dalam masjd
tersebut.

Bahkan setelah itu turut dimakamkan di dalamnya yaitu Abu Bakar
Ash-Shdiddiq dan Umar bin Khoththob.

Di zaman Utsman bin Affan saat perluasan masjid yang disaksikan lebih
dari 15 sahabat Nabi Saw, tidak ada satu pun dari mereka yang
mengingkarinya atau mengatakannya haram.

Bahkan sholat di masjid Nabawi yang memang terdapat makam Nabi saw di
dalamnya, memiliki keutamaan tersendiri dari masjid lainnya.

Nabi Saw bersabda :

صلاة في مسجدي هذا أفضل
من ألف صلاة فيما سواه إلا المسجد الحرام

" Sholat di masjidku ini lebih utama dari sholat seribu kali
diselainnya kecuali di masjdil haram "

Beliau juga bersabda :

من زار قبري وجبت له شفاعتي


" Barangsiapa yang ziarah ke makamku, maka ia berhak mendapat syafa'atku ".

Bahkan siti Aisyah pun sering sholat di kamar tersebut sebagaimana
telah dikisahkan dalam shahih Bukhari.


Seandainya hal itu suatu kemungkaran dan keharaman karena beralasan
dengan alasan yang tidak nyambung yaitu dengan hadits menjadikan
kubur para nabi sebgai tempat sujud di atas, seperti yang telah
difatwakan oleh guru besar wahhabi salafi yaitu syaikh Muqbil yang
merupakan guru Bin Bazz, Utsaimin dan Fauzan, maka sudah pasti para
sahabat saat itu melarangnya dan mengatakan itu haram.

Umat muslim sejak zaman sahabat hingga sekarang ini terus berziarah
ke masjid Nabawi tersebut, melakukan sholat di
dalamnya dan ziarah kubur Nabi Saw, dan tak ada satu pun ulama di
seluruh penjuru dunia mulai dari kalangan sahabat, tabi'in dan ulama
madzhab yang melarang mereka sholat di dalam masjid tersebut yang
terdapat makam Nabi Saw dan makam dua sahabat Nabi yaitu Abu Bakar
ash-Shiddiq dan Umar bin Khoththob.

Ke enam :

Allah Swt berfirman :

وَكَذَلِكَ أعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أنَّ وَعْدَ اللّهِ
حَقٌّ وَأنَّ السّاعَةَ لاَ رَيبَ فيها إذْ يَتنازَعُونَ بَيْنَهُم
أمْرَهُم فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِم بُنْيَاناً رَبُّهُم أعْلَمُ بِهِم
قَالَ الّذينَ غَلَبُوا عَلَى أمْرِهِم لَنَتَّخِذَنّ عَلَيْهِم
مَسْجداً

" Dan demikianlah Kami perlihatkan (manusia) dengan mereka agar
mereka tahu bahwa janji Allah benar dan bahwa hari kiamat tidak ada
keraguan padanya.

Ketika mereka berselisih tentang urusan mereka, maka mereka berkata "
Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka ".

Orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata " Kami pasti akan
mendirikan masjid di atas kuburan mereka ".
(Al-Kahfi : 21)

Ayat ini jelas menceritakan dua kaum yang sedang berselisih mengenai
makam ashabul kahfi.

Kaum pertama berpendapat agar menjadikan sebuah rumah di atas kuburan mereka.


Sedangkan kaum kedua berpendapat agar menjadikan masjid di atas
kuburan mereka.


Kedua kaum tersebut bermaksud menghormati sejarah dan jejak mereka
menurut manhajnya masing-masing.


Para ulama Ahli Tafsir mengatakan bahwa kaum yang pertama adalah
orang- orang msuyrik dan kaum yang kedua adalah orang-orang muslim
yang mengesakan Allah Swt.


Sebagaimana dikatakan juga oleh imam asy-Syaukani berikut :


يقول الإمام الشوكانى «ذِكر اتخاذ المسجد يُشعر بأنّ هؤلاء الذين
غلبوا على أمرهم هم المسلمون، وقيل: هم أهل السلطان والملوك من القوم
المذكورين، فإنهم الذين يغلبون على أمر من عداهم، والأوّل أولى». انتهى.
ومعنى
كلامه أن الأولى أن من قال ابنوا عليهم مسجدا هم المسلمون.


Imam Syaukani berkata " Penyebutan menjadikan masjid dalam ayat tsb
menunjukkan bahwa mereka yang menguasai urusan adalah orang-orang
muslim.


Ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah para penguasa dan raja
dari kaum muslimin..".


Makna ucapan beliau adalah pendapat yang lebih utama adalah bahwa
yang berkata bangunlah masjid di atas kuburan mereka adalah kaum
muslimin ".


وقال الإمام الرازى فى تفسير ﴿لنتّخذنّ عليه مسجداً﴾ «نعبد الله فيه،
ونستبقى آثار أصحاب الكهف بسبب ذلك المسجد». تفسير الرازى


Imam Ar-Razi di dalam tafisrnya berkata " Kami akan menjadikan
masjid di atasnya " maknanya adalah " Kami akan beribadah kepada
Allah di dalam masjid tersebut dan kami akan memelihara bekas-bekas
para pemuda ashabul kahfi dengan
sebab masjid tersebut ".


Ketujuh :


عن عائشة أنه: قال النبي صلى الله عليه وآله وسلم في مرضه الذي مات فيه:
لعن الله اليهود والنصارى، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد. قالت: ولولا ذلك
لأبرز قبره غير أنه خشي أن يتخذ مسجداً


Dari siti Aisyah bahwasanya Nabi Saw bersabda saat sakit menjelang
wafatnya " Semoga Allah melaknat orang yahudi dan nashoro, sebab
mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid ".


Siti Aisyah berkata " Jika bukan karena itu, maka aku akan tampakkan
makam Nabi namun dikhawatirkan dijadikan tempat sujud ".


Siti Aisyah ingin menampakkan makam Nabi Saw yaitu tanpa dinding dan
pagar, namun beliau khawatir makam Nabi Saw dibuat sujud oleh kaum
muslimin yang awam sehingga masuk kategori hadits larangan menjadikan
kuburan para Nabi sebgai tempat sujud.


Maka ucapan siti
Aisyah tersebut menjelaskan makna hadits :


لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد


Adalah masjid dalam hadits tersebut ialah tempat sujud bukan bangunan masjid.


Dan inilah rahasia doa Nabi Saw :


اللهم لا تجعل قبري وثناً يعبد


" Ya Allah, jangan jadikan makamku sesembahan yang disembah " Nabi
tidak mengatakan :


اللهم لا تجعل قبري مسجدا


" Ya Allah, jangan jadikan makamku sebagai masjid ". Doa Nabi Saw
terkabuli dan terbukti, bahwa makam beliau Saw tidak menjadi
sesembahan kaum muslimin yang berziarah di sana.


Dalam riwayat lainnya Nabi Saw bersabda :


اللهم لا تجعل قبري وثناً يصلى له


" Ya Allah, jangan jadikan makamku sesembahan yang dijadikan untuk sholat ".


Maka dengan penejelasan ilmiyyah ini, berdasarkan kaidah-kaidah
ilmunya menjadi jelas dan terang bahwa yang dimaksud masjid dalam
hadits di awal adalah tempat sujud bukan bangunan masjid.


Maka makna hadits Nabi Saw :


لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد


Adalah : " Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashoro,
sebab mereka telah menjadikan kuburan para nabi seperti tempat sujud
".


Inilah makna yang shahih dan yang sebenarnya berdasarkan ilmu bukan
hawa nafsu atau kedangkalan cara berpikir.


Selanjutnya saya akan memaparkan makna hadits ini dan juga hadits
yang kedua dari segi ilmu Ushul Fiqihnya.


Dan setelahnya saya cantumkan pendapat mayoritas ulama yang memaknai
hadits tersebut seperti penjelasan di atas.


Sehingga kemusykilan menjadi musnah dan kebenaran semakin jelas dan nyata.


(Ibnu Abdillah Al-Katibiy) 30-10-2011

Sabtu, 29 Oktober 2011

SALAH KAPRAH PENISBATAN WAHABIYAH KEPADA ABDUL WAHAAB BIN ABDURAHMAN BIN RUSTUM


By Pendekar Pedang Setiawan

Profil facebook :
http://www.facebook.com/pendekar.pedang.ibnu.sahlan?refid=7


Kaum wahabi pengikut muhammad bin abdul wahab selalu mengelak, jika di sebut wahhabiyah..

Mereka berdalih Penisbatan wahabiyah itu yang tepat kepada Abdul
Wahhaab bin Abdurrahman
bin Rustum (wafat tahun
824 M / 209 H)

MARI KITA KUPAS,

TERNYATA penisbatan pada Abdul wahhaab bin abdurahman bin rustum itu BUKAN WAHHABIYAH ( الوهابيه ) melainkan WAHBIYYAH ( الوهبية )

PERHATIKAN

Pertama :

Tarikh Ibnu Khaldun juz II halaman 98, beliau berkata :

ﻭﻛﺎﻥ ﻳﺰﻳﺪ ﻗﺪ ﺃﺫﻝ ﺍﻟﺨﻮﺍﺭﺝ ﻭﻣﻬﺪ
ﺍﻟﺒﻼﺩ ﻓﻜﺎﻧﺖ ﺳﺎﻛﻨﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﺭﻭﺡ
ﻭﺭﻏﺐ ﻓﻲ ﻣﻮﺍﺩﻋﺔ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻮﻫﺎﺏ ﺑﻦ
ﺭﺳﺘﻢ ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻫﺒﻴﺔ

Coba perhatikan :

ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻫﺒﻴﺔ

dan adalah Abdul Wahhab bin Rustum termasuk "Wahbiyyah"
---
Kedua :

Al Mi'yaar al Mu'rib wa al Jaami' al Mughrib 'an Fataawaa Ifriiqiyyah wa al Andalus wa al Maghrib juz 11 halaman 168

" ﻭﺳﺌﻞ ﺍﻟﻠﺨﻤﻲ ﻋﻦ ﻗﻮﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻫﺒﻴﺔ
ﺳﻜﻨﻮﺍ ﺑﻴﻦ ﺃﻇﻬﺮ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺯﻣﺎﻧﺎ
ﻭﺃﻇﻬﺮﻭﺍ ﺍﻵﻥ ﻣﺬﻫﺒﻬﻢ ﻭﺑﻨﻮﺍ ﻣﺴﺠﺪﺍ
ﻭﻳﺠﺘﻤﻌﻮﻥ ﻓﻴﻪ ﻭﻳﻈﻬﺮﻭﻥ ﻣﺬﻫﺒﻬﻢ ﻓﻲ
ﺑﻠﺪ ﻓﻴﻪ ﻣﺴﺠﺪ ﻣﺒﻨﻲ ﻷﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ
ﺯﻣﺎﻧﺎ .... ﺇﻟﺦ

Al-lakhmi ditanya tentang satu qaum dari Wahbiyyah yang berdiam ditengah - tengah Ahlussunnah......

Coba perhatikan :

ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻫﺒﻴﺔ

dari Wahbiyyah

=========

Adapun Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab (wafat tahun 1792 M / 1206 H) , dalam al Munjid fii al A'laam halaman 454 dikatakan :

ﻣﺼﻠﺢ ﺩﻳﻨﻲ ﻭﺯﻋﻴﻢ ﺍﻟﻮﻫﺎﺑﻴﺔ

pembaharu agama dan pemimpin Wahhabiyyah.

Demikianlah.

Semoga bermanfaat

KESALAHAN TERJEMAH HADIST YANG TELAH TERSEBAR


By : Pendekar Pedang Setiawan

ADA YANG BILANG . . .
---
tidak perlu repot- repot mengadakan kenduri, yasinan dan perbuatan lainnya yang tidak ada tuntunannya dari Rosululloh shollallohu'alaihi wa sallam. Bahkan apabila dikaitkan dengan waktu malam Jum'at, maka ada larangan khusus dari Rosululloh shollalohu'alaihi wa sallam yakni seperti yang termaktub dalam sabdanya, "Dari Abu Hurairah, dari Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam: Janganlah kamu khususkan malam Jum'at untuk melakukan ibadah yang tidak dilakukan pada malam-malam yang lain." (HR. Muslim).
--
Terjemah hadist di atas adalah rujukan yang di gunakan untuk melarang amalan yasinan khusus malam jum'at,,
Bisa di lihat di beberapa situs berikut
--

http://muslim.or.id/manhaj/yasinan-bidah-yang-dianggap-sunnah.html

Juga di sini

http://aqidahislam.wordpress.com/2007/01/07/yasinan-adakah-dalam-islam/

Juga di sini

http://mediasalafi.com/tag/yasinan/

Juga disini

http://abunamira.wordpress.com/2011/06/29/kupas-tuntas-tentang-yasinan-بِ-kupas-tuntas-tentang-yasinan-jawaban-bantahan-terhadap-pendapat-yang-menyesatkan-dari-orang-orang-tasawufsufijahmiyyahpengekor-habib-munzir-dari-majelis-r/

Juga disini

http://myquran.org/forum/index.php?topic=60108.0

--

Setelah di lakukan penyelidikan dengan bukti hipotesa sementara,

TERNYATA ADA PENYELEWENGAN MATAN TERJEMAH REDAKSI HADIST

Ini Penting di tindak lanjuti..

Karena tidak ada terjemah matan hadist seperti di atas,

Yang ada adalah hadis dengan kandungan matan berikut :

لا تخصوا ليلة الجمعة بقيام من بين الليالي و لا تخصوا يوم الجمعة بصيام من بين الايام إلا أن يكون في صوم يصومه أحدكم

Hadist Riwayat muslim (1144)

Artinya : "jangan kamu khususkan pada malam jum'at itu dengan shalat malam yang tidak (di kerjakan) pada malam lainnya, dan jangan kamu khususkan pada hari jum'at itu dengan puasa, yang tidak (di kerjakan) pada hari lain nya, kecuali jika bertepatan puasa yang telah di kerjakannya".

JIKA KITA TELITI..

Sepertinya, hadist itu ada KESAMAAN / KEMIRIPAN, padahal itu sangat BEDA JAUH kandungan matannya..
Entah situs di atas, itu memang sengaja menyelewengkan terjemah hadist, atau memang ada latar belakang lain...

--
TERJEMAH HADIST PADA LINK SITUS DI ATAS Sangat berbahaya, jika di publikasikan, apalagi di situs situs internet yang bersangkutan, tidak menyertakan redaksi arabic dan nomer hadist, apalagi syarah nya,
Jika yang dimaksud terjemah hadist di atas adalah HR. Muslim No. 1144

MAKA MERUPAKAN TERJEMAH ILEGAL, karena terjemahan indonesia itu kontradiksi dengan redaksi arabnya.
--

SALAH SEDIKIT SAJA dalam menterjemahkan hadist, maka hukumnya akan BERUBAH..

SEBAB ALASAN NYA : terjemah hadist pertama di atas yang ilegal, mengandung HUKUM MATAN bahwa semua amal ibadah, itu DI LARANG.

Sehingga natijah / kesimpulan nya semua macam ibadah, itu HARAM jika di khususkan hari jum'at, karena merupakan DALIL A'AM.

Sedangkan

terjemah hadist kedua yang benar,

KANDUNGAN HUKUM MATAN nya itu ternyata, yang dilarang HANYA sholat lail khusus malam jum'at, dan puasa khusus hari jum'at, dimana merupakan DALIL KHOS.
--

Jadi SALAH TERJEMAH sedikit saja, sudah merubah KANDUNGAN MATAN yang seharusnya DALIL KHOS di selewengkan menjadi DALIL A'AM.
--
Ini merupakan MANIPULASI TERJEMAH HADIST DI DEPAN PUBLIK.

--
Jadi perlu di ketahui, TIDAK ADA LARANGAN AMALAN IBADAH KHUSUS HARI / MALAM JUM'AT, KECUALI, SHOLAT LAIL, DAN PUASA.

Sedangkan yasinan, barzanji, diba', maulid, simtudh duhror, khusus malam jum'at ITU DI PERBOLEHKAN..

Memahami ayat alquran dan hadist dengan ilmu alat, wajibkah???


bag 1

By Ibnu Abdillah Al-Katibiy

Sebelum saya memberikan kesimpulan tuntas atas permasalahan furu' yang masih dipersoalkan oleh kawan-kawan salafi wahhabi yaitu tentang hukum sholat di dalam masjid yang ada makamnya, maka sangatah penting saya menjelaskan tentang urgenitasi memahami nash ayat atau hadits dengan tuntunannya yaitu ilmu kaidahnya.

    Di dalam memahami redaksi ayat dari ayat-ayat al-Quran sangat dibutuhkan beberapa fan ilmu yang berkaitan dengannya.

Terutama ilmu Nahwu, shorof, balaghah dan ilmu lughatil arabiyyah.

Karena Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab :

    إِنَّا أَنزَلْنَا هُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُ مْ تَعْقِلُون َ    

" Sesungguhn ya kami menurunkan
nya dengan berupa al-Quran berbahasa arab agar kalian menegrti " (QS; Yusuf : 2)    

Imam Ibnu Katsir mengomentari ayat tersebut sebagai berikut :

    وذلك لأن لغة العرب أفصح اللغات وأبينها وأوسعها ، وأكثرها تأدية للمعاني التي تقوم بالنفوس; فلهذا أنزل أشرف الكتب بأشرف اللغات ،    

" Demikian itu karena bahasa arab adalah paling fasehnya dari seluruh bahasa, paling jelas dan luasnya.  

Dan paling banyak membawa makna-makn a yang sesuai kalimatnya .

Oleh karena itu Allah menurunkan paling mulianya kitab dengan paling mulianya bahasa ".    

Para ulama salaf kita telah memberikan pemahaman isi kandungan Al-Quran yang penuh makna hikmah dan mu'jizat dengan jalan tuntunanny a yaitu tafsirannya, dengan proses melalui berbagai macam fan ilmu yang berkaitan dengannya seperti :

1.Ilmu alat (nahwu, shorof, balaghah dan lughah)

2.Ilmu qiraat

3.Ilmu naskhil utsmani

4.Ilmu tafsir

5.Ilmu nasikh wal mansukh

6.Ilmu ghoribil quran

7.Ilmu i'jazil quran

8.Ilmu i'rabil quran

9.Dan selainnya yang berkaitan


Demi menjaga al-Quran dan telah masuk dalam realisasi firman Allah Swt :


انا نحن نزلنا الذكر وانا له لحافظون


" Sesungguhnya Kami menurunkan al-Quran dan Kamilah yang menjaganya ".


Maka bermuncula n lah kitab-kitab tafsir para ulama untuk memberikan sumbangsih bagi umat muslim di dalam memahami makna ayat-ayat al-Quran yang sesuai maksud Allah dan Rasul- Nya.

Sehingga memahami al-Quran tidak cukup dengan hanya mengandalkan terjemah tanpa mau merujuk tafsiran para ulama salaf yang berkompeten dibidang tafsir, agar kita tidak jauh memahami makna ayatnya dari pemahaman yang sebenarnya .

Sehingga sebuah keharusan mengikuti / taqlid pada pemahaman ulama salaf.

Bagaimana kita bisa memahami al-Quran yang berbahasa arab tanpa memepelaja ri bahasa arab ??

Terjemahan al-Quran yang ada merupakan hasil dari pemahaman bahasa arab pada al-Quran itu sendiri.

Namun tidak cukup memahami terjemahan lafadz per lafadznya saja tanpa menjelaska n maksudnya.

Nah maksud dar ayat al-Quran dibutuhkan penafsiran sedangkan penafsiran butuh pada ilmu yang berkaitan dengannya.

Dan para ulama tafsirlah yang mampu melakukan ini semua, kita hanya tinggal menikmati hasilnya.

Dan kitab-kita b tafisr merupakan hasil dari penafsiran para ulama yang berkompete n di bidangnya.

Untuk kita yang berbangsa ajami (non arab), membutuhka n penerjemah annya ke dalam bahasa masing-mas ing penduduk. Atau mempelajar i ilmu bahasa arab untuk mempelajar i kitab-kita b tafsir tersebut.

Namun masih dibutuhkan seorang guru yang benar-bena r menguasai ilmu bahasa arab agar kita tidak salah paham dalam memaknainya.

Dan seorang guru yang memiliki sanad (mata rantai) keilmuan yang bersambung sampai pada ulama pengarang kitab tafsir tersebut, agar tidak menyimpang dari pemahaman yang dimaksud oleh para ulama tsb.

Sungguh amat keliru dan ceroboh orang yang beranggapan bahwa ilmu alat adalah tidak penting, hanya memperlambat umat muslim untuk memahami al-Quran.

Jawabanya :
Rasul Saw bersabda :


تعلموا العربيية وعلموها الناﺱ

" Pelajarilah bahasa arab dan
ajarkanlah ia pada orang-orang "


Tidak semua kaum muslimin berkecimpung dalam ilmu bahasa arab atau ilmu alat dan ilmu tafsir.

Mereka memiliki
tahapannya masing-masing.

Semisal, anak kecil yang baru baligh, maka kita tidak ajarkan ilmu alat melainkan kita ajarkan ilmu fiqih yang berkaitan pada kewajibannya semisal sholat dan puasa ramadhan di samping ia juga membaca al-Qurannya.


Dan itu pun sama dengan dia mempelajari al-Quran,

sebab ilmu fiqih merupakan ilmu yang dihasilkan dari al-quran dan al-Hadits yang telah di racik oleh para ulama.


Bisa juga melalui pengajian - pengajian, majlis-maj lis ilmu atau majlis mauidzhah, atau lainnya.


Ini merupakan salah satu media untuk memahami ilmu al-Quran dan hadits Nabi Saw.


Karena materi yang disampaikan sipenceramah merupakan suguhan matengnya yang telah diracik dari al-Quran dan hadits.


Ibaratnya pergi ke warung untuk makan, maka dia tidak perlu membuat hidangan makanan sendiri yang butuh bahan-bahan dan meraciknya sendiri.


Namun juga harus hari-hati, karen


Bisa juga melalui pengajian - pengajian, majlis-maj lis ilmu atau majlis mauidzhah, atau lainnya.


Ini merupakan salah satu media untuk memahami ilmu al-Quran dan hadits Nabi Saw.


Karena materi yang disampaikan sipenceramah merupakan suguhan matengnya yang telah diracik dari al-Quran dan hadits.


Ibaratnya pergi ke warung untuk makan, maka dia tidak perlu membuat hidangan makanan sendiri yang butuh bahan-bahan dan meraciknya sendiri.


Namun juga harus hari-hati, karena bisa jadi hidangan di warung terdapat racun atau unsure kesengajaan untuk mencelakakan orang lain.


Setelah lebih dewasa dan memahami tentang ilmu fardhu 'ainnya, maka ia menginjak tahapan selanjutnya, yaitu berusaha memahami ilmu fardhu ainnya dengan dalil-dalilnya.


Kemudian tahap selanjutnya memahami wasilah atau perantara dalam memahami dalil-dalil ilmu tersebut yaitu ilmu alat.


Apalgi yang berhubungan langsung dengan ayat al-Qurannya atau nash haditsnya.


Seandainya umat muslim tanpa tahapan-tahapan ini, maka bisa dibayangkan bagaimana jadinya agama Islam ini.


Karena akan banyak timbul pemahaman- pemahaman yang keliru, salah bahkan mennyimpang dari maksud yang sebenarnya , maka rusaklah Islam dan hal ini telah banyak kasusnya dalam aliran-aliran sempalan Islam.



Ibnu Taimiyyah berkata :



ولو سقط علم النحو لسقط فهم القرآن، وفهم حديث النبي ولو سقط لسقط الإسلام



" Seanadainya ilmu nahwunya jatuh (apalagi tidak mau mempelajarinya), maka akan jatuh juga pemahaman al-Quran dan pemahaman hadits, dan seandainya pemhaman alquran dan hadits jatuh, maka jatuhlah Islam "


Bahkan Ibnu Taimiyyah sendiri pun lebih mengetatkannya dalam hal ini, sampai-sampai ia melarang umat muslim membawakan ayat al-Quran tanpa bahasa arab, misalnya dengan huruf latinnnya.


Berikut pendapatnya :


واما الاتيان بلفظ يبين المعنى كبيان لفظ القرأن فهذا غير ممكن وعلى هذا كان ائمة الدين على انه لا يجوز ان يقرأ بغير العربية لا مع القدرة و لا مع العجز لان ذالك يخرجه عن ان يكون هو القرأن المنزل


" Membawakan Al-Quran dengan lafadz yang menjelaskan makna Al-Quran, ini tidaklah mungkin bisa dilakukan.

Oleh karena itu para imam Agama berpendapat tidak boleh membaca Al-Quran tanpa bahasa arab, walaupun dia mampu atau pun tidak mampu membaca arabnya.

karena yang demikian itu akan mengeluarkan al-Quran dari Al-Quran yang diturunkan sebenarnya "

Umar bin Khoththob Ra berkata :

    تعلموا اللحن والفرائض والسنن كما تعلموا القران    

" Belajarlah ilmu nahwu, faraidh dan sunnah sebagaiman kamu belajar al-Quran ".    

Yahya bin Atiq berkata kepada Hasan

" Wahai Abu Sa'id, seseorang belajar bahasa arab yang dengannya ia memperbagus manthiqnya / cara bicaranya dan bacaan qurannya?

Maka Hasan menjawab :

    حسن يا ابن اخي فتعلمها فان الرجل يقرأ الاية فيعيى بوجهها فيهلك فيها    

" Itu bagus wahai putra saudaraku, maka pelajarila h bahasa arab, karena seseorang membaca ayat lalu ia tidak cakap dalam cara membacanya maka dia celaka di dalamnya ".    

Dari Ibnu Mas'ud beliau berkata :

    من اراد العلم فعليه بالقران فان فيه هلم الاولين والاخرين    

" Brangsiapa yang ingin ilmu,maka hendaknya ia mempelajar i al- Quran

" Imam Baihaqi mengomentari hadits ini sebgai berikut :

يعني اصول العلم     

" Maksudnya adalah mempelajari ushul-ushul ilmi / pokok-pokok ilmu (yaitu kaidah-kaidah ushul tafsir) ".
(Zubdatul itqan; 143)      

Saya akan berikan contoh memahami ayat al-Quran tanpa ilmunya :

    Contoh pertama;

      لَا تَحْسَبَنّ َ الَّذِينَ يَفْرَحُون َ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّو نَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنّ َهُمْ بِمَفَازَة ٍ مِنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ       

" Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira  dengan apa yang telah mereka kerjakan  dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari adzab, mereka akan medapat adzab yang
pedih ".

(Al-Imran : 188)     Jika kita artikan sesuai dhahirnya saja maka kita pahami bahwa kita semua akan kena adzab Allah yang pedih, kenapa, karena kita semua pasti merasa senang dengan apa yg kita perbuat dan selalu ingin dipuji atas karya kita.     

Namun sangat berbeda jika kita pahami ayat tersebut dengan sesuai ilmunya yaitu sebagaimana tafisran Ibnu Abbas Ra dalam shohih Bukhari dan Muslim berikut :

    " Ayat tersebut turun kepada Ahlul kitab ketika Nabi Saw bertanya pada mereka tentang sesuatu, lalu mereka menyembuny ikannya dan member tahukannya dengan selainnya dan mereka berkata bahwa mereka telah memberitah ukan pada nabi dan mereka minta dipuji atas demikian itu ".

(HR. bukhari dan Muslim)


  Contoh kedua :


      لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا    


" Tidak berdos  Contoh kedua :


      لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا    


" Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentang apa yang mereka makan "


(Al-Maidah : 93)    


Dengan ayat ini Utsman bin Madh'un dan Amr bin Ma'ad berkata


" Khomr itu mubah bagi kita "    


Padahal pemahaman yang benar bukanlah demikian jika mengetahui sebab nuzulnya yaitu


" Bahwa orang-orang berkata saat khomr itu diharamkan "


Bagaimana dengan orang-orang yang wafat di jalan Allah dan mereka minum khomr ?"


Maka turunlah ayat tsb.


Artinya Allah memaafkan perbuatan yang dilakukan pada masa dahulu yang belom diturunkan nya pelarangan khomr.    

Contoh ketiga :


    افرايت من اتخذ الهه هواه    


" Sudahkah engkau melihat orang yang menjadikan Tuhannya sebagai hawa nafsunya /
keinginann ya ?


" (Al-Furqan : 43)    


Ayat tersebut jika kita lihat secara dhahirnya, maka akan menimbulkan bahwa tidak boleh menjadikan Tuhan sebagai keinginannya dan ini sungguh bertentangan dengan perintah-perintah ayat lainnya.


Artinya tidaklah mengapa menjadikan Tuhan sebagai keinginannya dan ini hal terpuji.    


Namun maksud ayat tersebut bukanlah demikian,


maka ayat tersebut mengandung Taqdimul kalam wa takhirihi, makna yang sebenarnya adalah :


    افرايت من اتخذ هواه الهه    


" Apakah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya ? "


Inilah maksud yang sebenarnya .


Lafadz ilahahu merupakan taqdim dan lafadz hawahu merupakan takhir.    


Dan tak akan habis jika saya beberkan contohnya, karena setiap contoh akan terikat dengan fan ilmu yang berkaitan dengannya.


Demikian pula dalam memahami hadits-hadits Nabi Saw, sangat dibutuhkan ilmu alat karena ucapan Nabi Saw merupakan syarah
dari ayat-ayat al-Quran yang memiliki kesempurnaan bahasa.    


(Ibnu Abdillah Al-Katibiy ) 29-10-2011

Rabu, 26 Oktober 2011

Diharamkan Mengikuti Rukhshah Ulama Dan Berfatwa Dengan Yang Paling Ringan

Oleh Syeikh Hasan Ali As-Saqqaf Al-Qurasyi Al-Hasyimi

Ketahuilah wahai saudaraku, bahwasanya haram bagi seorang muslim untuk mengambil sebagian dari berbagai ucapan dan mengikuti rukhshah para ulama serta mencari yang paling ringan untuk memenuhi seleranya tanpa didukung oleh dalil syar'i. Ia mentarjih atau menshahihkan suatu masalah semata-mata karena hawa nafsu yang dikemasnya dengan dalih bahwa pada masalah tersebut terdapat selisih pendapat.

Orang yang mengikuti ucapan para ulama dengan pindah dari satu madzhab ke madzhab lain dengan tujuan memenuhi keinginan hawa nafsunya sekalipun ia sembunyikan melalui syari'ah dan mengikuti ulama, sejatinya orang ini telah mengikuti hawa nafsu. Allah telah mengingatkan:

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلا أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلا كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلا
 
"Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)." (al-Furqaan:43-44)

أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لا تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ
 
"Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu angkuh;" (al-Baqarah:87)

كُلَّمَا جَاءَهُمْ رَسُولٌ بِمَا لا تَهْوَى أَنْفُسُهُمْ فَرِيقًا كَذَّبُوا وَفَرِيقًا يَقْتُلُونَ
 
"Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa apa yang tidak diingini oleh hawa nafsu mereka, (maka) sebagian dari rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh." (al-Maa'idah:70)

فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
 
"Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan." (an-Nisaa':135)

وَلا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
 
"dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah." (Shaad:26)

Allah Azza wa Jalla dalam kitab suciNya telah mencela seseorang yang berilmu di lingkungan masyarakatnya, "tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah" (al-A'Raaf:176)

وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
 
"dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." (al-Kahfi:28)

فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ
 
"ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka)." (al-Qashash:50)

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
 
"Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui." (al-Jaatsiyah:18)

وَلا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
 
"Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus." (al-Maa'idah:77)

Dari Sahabat Anas bin Malik RA., bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah menegaskan:

حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِلْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُبِالشَّهَوَاتِ
 
"Surga diliputi oleh hal-hal yang dibenci, sedang neraka dilingkupi oleh hal-hal yang disukai." (HR. Muslim [4:2174])

Orang yang mencari-cari kelonggaran para ulama dan ucapan orang-orang berarti mengikuti hawa nafsu. Para ulama yang telah dipandang keulamaannya telah berijma' atas haramnya melonggarkan fatwa dan keluar dari ucapan yang shahih dan rajih. Maka seorang mujtahid wajib untuk mengikuti dalil, sedang yang taklid wajib mengikuti pendapat yang shahih lagi rajih dalam madzhab imamnya.

Berikut kami kemukakan sejumlah pernyataan ulama berkenaan dengan hal ini:
  1. Dalam kitab Jami' Bayan al-'Ilmi wa Fadhlihi [2:112] setelah mengutip ucapan Sulaiman At-Taimiy, "Jika engkau mengambil kelonggaran setiap ulama, maka akan berkumpul padamu seluruh keburukan", al-Hafizh Ibnu Abdil Barr berkata, "Ini adalah ijma' yang tidak ada khilafiyah di antara ulama tentangnya".
  2. Imam An-Nawawi dalam Syarah Al-Muhadzdzab [1:55] menuturkan, "Jika mengikuti setiap madzhab sesukanya boleh hukumnya, maka akan menjadikan seseorang mengambil setiap kelonggaran atau rukhshah madzhab-madzhab itu di atas dasar hawa nafsu dan akan memilih antara yang dihalalkan dan yang diharamkan, antara yang wajib dan yang dibolehkan. Hal itu mengakibatkan terurainya taklif syar'i". Al-Hafizh Ibnus Shalah juga telah menegaskan hal itu dalam karyanya Al-Mufti wal Mustafti [1:46].
  3. Imam An-Nawawi kembali mengatakan dalam Syarah Al-Muhadzdzab [1:46], "Haram bersikap longgar dalam berfatwa. Dan jika ia dikenal sebagai orang yang seperti itu, maka haram dimintai fatwa".
  4. Al-Allamah Asy-Sathibi dalam Al-Muwafaqaat [4134] berkata, "... Hal itu akan menjadikan seseorang mencari-cari kelonggaran berbagai madzhab tanpa bersandar kepada dalil syar'i. Ibnu Hazm telah meriwayatkan ijma' ulama atas fasiknya hal itu dan tidak boleh". Ucapan Asy-Sathibi "tanpa bersandar kepada dalil syar'i" ini maksudnya adalah dalil yang dianggap. Jika tidak demikian maksudnya, maka orang yang meninggalkan akan berdalil dengan ayat, "Maka sungguhlah celaka orang-orang yang shalat". (QS. Al-Maa'uun:4).
  5. Dalam kitab Siyar A'lam An-Nubala [8:90] Al-Hafizh Adz-Dzahabi mengemukakan sebagai berikut, "Orang yang mencari-cari rukhshah kelonggaran madzhab-madzhab dan kekeliruan mujtahid, agamanya tipis sebagaimana ditegaskan oleh Al-Auza'i dan lainnya, kata mereka, 'Orang yang megambil ucapan orang-orang Makkah tentang mut'ah (harta dari suami untuk istri yang dicerai), mengambil pendapat orang-orang Kufah tentang nabidz (perasan anggur), mengambil pandangan orang-orang Madinah tentang nyanyian, dan mengambil pendapat orang-orang tentang ma'shumnya para khalifah, berarti ia telah mengumpulkan keburukan'. Begitu juga orang yang mengambil pendapat orang yang mencoba menta'wil berkenaan dengan transaksi riba atau mengambil pendapat orang yang longgar dalam masalah thalak dan nikah agar istri bisa halal dinikahi kembali, ia berarti mengarah kepada keterlepasan dari syari'ah. Kami memohon keselamatan dan taufiq kepada Allah".
  6. Al-Hafizh Taqiyuddin As-Subki dalam fatwanya [1:1147] mengungkapkan tentang orang yang mencari-cari kelonggaran berbagai madzhab, "Hal itu dilarang, karena dengannya berarti ia mengikuti hawa nafsu, bukan mengikuti dien".

Peringatan
 
Ada sementara orang dewasa ini yang berargumentasi dengan hadits Aisyah RA. dalam membolehkan mencari yang longgar dan mengambil yang lebih ringan. Aisyah mengatakan dalam hadits tersebut, "Tidaklah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam diberi pilihan di antara dua perkara melainkan mengambil yang lebih ringannya". Dijadikannya hadits ini sebagai dalil atas bolehnya mengambil yang lebih ringan adalah tidak benar.
 
Dalam Fathul Bari [9:575] ketika mengulas hadits ini, Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, "Kata-kata 'di antara dua perkara' maksudnya adalah perkara dunia. Makna ini ditunjukan oleh ucapan beliau selanjutnya, yaitu 'selama bukan dosa', karena tidak ada dosa dalam perkara dien". Renungkanlah penjelasan Ibnu Hajar ini.
 
Hal itu lantaran di hadapan Nabi tidak ada pendapat atau pandangan untuk diambil. Hanya wahyu yang ada pada beliau. Wahyu itu menyuruh beliau melakukan sesuatu atau mencegah beliau dari sesuatu. Sama sekali ia tidak mengatakan kepada Nabi, "Masalah ini ada dua pendapat atau ada tiga madzhab", atau misalnya, "Ia diperselisihkan, maka ambilah yang paling ringannya".
 
Yang pernah terjadi pada diri beliau tidak lain ialah jika beliau bertamu ke rumah seseorang misalnya, maka orang itu berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau mau cuka atau daging?" Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam memilih yang lebih ringan, jawab beliau, "Bawakanlah kepadaku yang lebih ringan menurutmu". Dengan demikian maka jelaslah bahwa orang yang berdalil dengan riwayat Aisyah di atas tidak mengenal cara berdalil dan berargumentasi, atau ia ingin memberi pemahaman kepada orang awam bahwa apa yang disampaikannya itu layak menjadi dalil untuk keinginannya.
 
Masuk ke dalam katagori ini ialah dijadikannya kemurahan syari'at islam oleh sebagian orang dewasa ini sebagai dalil. Kami katakan, "Orang yang berakal tentu tidak mengingkari kemurahan syari'at islam. Yang kami ingkari sebagaimana yang diingkari oleh para ulama ialah dijadikannya hal ini sebagai dalil untuk menghalalkan yang diharamkan atau mencari-cari kelonggaran dan ta'wil tidak benar.
 
Adapun makna syari'at islam adalah murah dan mudah, karena ia telah diringankan oleh Allah bagi orang yang sakit sehingga boleh shalat sambil duduk atau berbaring, juga telah diringankan oleh Allah untuk orang yang tidak menemukan air sehingga ia berwudhu atau mandi dengan tayamum, begitu seterusnya. Seperti itulah maksudnya, bukan mengandung makna boleh berpindah-pindah atau mencari dispensasi, kelonggaran atau pendapat lemah atau bathil.
 
Dalam Siyar A'lam Nubala [13:465], Al-Hafizh Adz-Dzahabi menukil dari Imam Al-Hafizh Isma'il Al-Qadhi bahwa ia telah bercerita bahwa suatu hari ia mendatangi khalifah Al-Mu'tadhid, tuturnya, "Sekali waktu saya mendatanginya. Lalu ia memberi sebuah kitab kepada saya. Setelah saya baca, saya dapati kumpulan rukhshah dan dispensasi serta kelonggaran-kelonggaran akibat kekeliruan sejumlah ulama. 'Pengarang ini zindiq', kata saya. 'Bukankah hadits-haditsnya shahih?', tanyanya. Saya menjawab, 'Benar. Tetapi orang yang membolehkan minuman yang memabukkan, tidak menghalalkan mut'ah dan yang membolehkan mut'ah, ia mengharamkan nyanyian. Tidak seorang ulama pun yang keliru. Barang siapa yang mengambil setiap kekeliruan ulama, maka lenyaplah agamanya'. Lalu ia menyuruh kitab itu untuk dibakar".
 
Penulis juga punya risalah khusus tentang larangan mencari kelonggaran para ulama dan mengambil pendapat sesuai selera. Maka tolong pikirkanlah.
 
Yang patut anda ketahui, tentang hadits ini:

إخْتِلافُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
 
"Perselisihan ummatku adalah rahmat".[1]
 
Juga hadits:

إنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَاءِمُهُ
 
"Sesungguhnya Allah suka kalau rukhshah (keringanan) Nya dijalankan sebagaimana Dia senang jika azimahNya dikerjakan" (HR. Ahmad [2:108], Ibnu Hiban dalam Shahihnya [6:451], Al-Baihaqy [3:140] dan yang lainnya dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud).[2]

Hadits ini tidak menunjukkan atas bolehnya mencari-cari kelonggaran para ulama. Jikapun hadits ini shahih -dan menurutku tidak shahih- maksudnya ialah mengambil rukhshah yang telah diberikan oleh Allah kepada hambaNya seperti tayamum saat tidak ada air, buka puasa bagi musafir dan orang sakit, dan sejenisnya yang hal itu cukup masyhur. Ada perbedaan antara orang yang mengambil atau menjalankan rukhshah-rukhshah seperti ini dengan orang yang pindah-pindah dalam mengambil pendapat dan kelonggaran ulama yang benar dalam sebagian masalah dan salah dalam sebagian yang lain.
 
Setelah jelas bahwa mencari atau mengikuti kelonggaran-kelonggaran ulama dan ta'wil yang tidak benar serta berfatwa dengan yang lebih ringan adalah suatu kefasikan menurut ijma' dan tidak boleh menurut al-Qur'an dan Sunnah, maka pendapat yang membolehkan hal itu hendaknya tidak perlu dipedulikan, dan tidak perlu diambil.
 
Adapun orang yang berijtihad bukan pada tempatnya, seperti seseorang berijtihad pada masalah yang nashnya jelas atau ia menyalahi ijma' kaum muslimin, nash al-Qur'an dan Sunnah, dengan menyangka bahwa dirinya seorang mujtahid yang mendapat dua pahala kalau benar dan satu pahala jika salah, dan tampil sebagai ulama besar layaknya, serta mengaku sebagai mujaddid dan pemilik pandangan yang matang, padahal sebenarnya ia bukan ahlinya, maka pendapat orang seperti ini tidak ada harganya. Ia juga berdosa atas kelancangannya menyesatkan orang. Ucapannya harus diabaikan bahkan memperihatinkan.
 
Footnote
 
[1] Disebutkan oleh Al-Hafizh Sayyid Ahmad bin Shiddieq Al-Ghammari dalam kitabnya Al-Mughir 'alaa Al-Ahaadits Al-Maudhuu'ah fi al-Jamii' As-Shaghiir, halaman 16-17. Ia menyatakan sebagai hadits maudhu'.
 
[2] Yang shahih menurut kami adalah mawquuf. Orang yang membenarkan pendapat yang me-marfu'-kannya adalah salah. Juga riwayat Abdur-Razzaq dalam Al-Mushannaf [11:291] sebagai ucapan Sya'bi rahimahullah.
 

(Shahiih Shifat Shalaat An-Nabiy min At-Takbiir ilaa At-Tasliim Ka'annaka Tanzhur Ilaihaa, Muqaddimah)