Minggu, 11 Desember 2011
Ibnu Al-Katibiy: Tasawwuf bukanlah madzhab ataupun kelompok tersend...
Jumat, 09 Desember 2011
Ibnu Al-Katibiy: Penipuan firanda terhadap umat dan kedangkalannya ...
Sabtu, 03 Desember 2011
Benarkah Allah berada di langit berdasarkan hadits shahih ??? Bag II
Berkenaan dengan hadits Muslim ini, Imam Baihaqi berkomentar di dalam
kitabnya Al Asma` Wa Al Shifat [5]:
وهذا صحيح ، قد أخرجه مسلم مقطعا من حديث الأوزاعي وحجاج الصواف عن يحيى
بن أبي كثير دون قصة الجارية ، وأظنه إنما تركها من الحديث لاختلاف
الرواة في لفظه . وقد ذكرت في كتاب الظهار من السنن مخالفة من خالف
معاوية بن الحكم في لفظ الحديث
"Hadits ini adalah shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim secara
terpotong dari hadits yang bersumber dari Auza`ie dan Hajjaj al
Shawwaf dari Yahya bin Abi Katsir tanpa menyebutkan tentang
kisah budak wanita. Saya mengira ia meninggalkan kisah budak wanita
tersebut karena terjadinya perbedaan riwayat pada redaksinya dan
saya juga menyebutkan hadits ini pada bab zhihar di dalam kitab
sunan (al kubra).
Riwayat yang ada berbeda dengan riwayat para periwayat yang
bertentangan dengan riwayat Muawiyah Bin Hakam dari segi redaksi
hadits."
Dari pernyataan Imam Baihaqi ini dipahami secara jelas bahwa
pemaparan kisah budak wanita yang merupakan bagian dari hadits [6];
1. Tidak terdapat di dalam sahih Muslim menurut versi Imam Baihaqi.
2. Bahwa kisah ini terjadi perbedaan riwayat dari segi redaksi hadits.
Penjelasan lebih lanjut dari pernyataan Imam Baihaqi;
1. Naskah Sahih Muslim tidak sama antara satu naskah dengan naskah
yang lain tentang kisah budak wanita ini. Boleh jadi Imam Muslim
menarik kembali hadits ini dan merevisinya pada periode selanjutnya
serta menghapusnya atau redaksi hadits yang ada tidak ditemui pada
naskah Sahih Muslim yang dimiliki oleh Imam Baihaqi [7].
Sebagaimana juga dilakukan oleh imam Malik di dalam kitab Muwatha`
riwayat Laits, yang tidak menyebutkan redaksi "sesungguh nya ia
adalah seorang yang beriman".
Samahalnya dengan Imam Bukhari yang menyebutkan potongan hadits ini
pada bab af`al al `ibad, dan hanya mengambil potongan yang
berhubungan dengan masalah mendo`akan orang yang bersin, tanpa
mengisyaratkan sedikit pun tentang masalah "Allah berada di langit".
Imam Bukhari meringkas hadits tanpa menyebutkan sebab beliau meringkasn ya.
Namun beliau tidak berpegang kepada kesahihan hadits tentang budak
wanita ini, karena melihat perbedaan riwayat tentang kisah ini yang
menunjukkan bahwa periwayat hadits tidak kuat hafalan (dhabit) dalam
periwayatan.
2. Terjadinya perbedaan riwayat antara riwayat yang bersumber dari
Mu`awiyah Bin Hakam dengan riwayat yang lain.
Bahkan menurut DR. Umar Abdullah Kamil terjadi perbedaan riwayat yang
bersumber dari Mu`awiyah bin Hakam sendiri. Sebagaimana penjelasan
berikut:
DUA RIWAYAT YANG BERSUMBER DARI MU`AWIYAH BIN HAKAM:
RIWAYAT PERTAMA [8] Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Muslim
diatas dengan menggunakan redaksi:
فقال لها: أين الله ؟ قالت: في السماء. قال: من أنا ؟ قالت: أنت رسول
الله. قال: أعتقها فإنها مؤمنة
Beliau (Rasul Saw.) kemudian bertanya: "Dimanakah Allah?", maka ia
menjawab: " Di langit", beliau bertanya lagi: "Siapa aku?", maka ia
menjawab: "Anda Rasul Allah". Lalu beliau bersabda: "Bebaskanlah ia,
karena ia seorang yang beriman" (HR. Muslim)
RIWAYAT KEDUA
أوردها الذهبى وذكر سندها الحافظ المزى من طريق سعيد بن زيد عن توبة
العنبرى عن عطاء بن يسار قال حدثنى صاحب الجارية نفسه -يشير إلى معاوية
بن الحكم- وذكر الحديث وفيه: ( فمد النبى صلى الله عليه وسلم يده إليها
وأشار إليها مستفهما: (من فى السماء؟) قالت: الله
Diriwayatkan oleh Imam Al Dzahaby dan ia menyebutkan bahwa pada sanad
riwayat ini terdapat al Hafiz Al Mizziy dari jalur Sa`id bin Zaid
dari Taubah al `Anbarry dari Atha` bin Yassar, ia berkata:
disampaikan kepadaku oleh pemilik budak -mengisyar atkan kepada
Mu`awiyah Bin Hakam- dan menyebutkan hadits, dan di dalam hadits
terdapat redaksi: kemudian Nabi Saw. menjulurkan tangannya kepadanya
(budak) seraya mengisyaratkan pertanyaan, "siapa di langit?" ia
menjawab: "Allah"
Untuk mengkaji lebih jauh tentang jalur-jalur hadits secara
komprehensif, silahkan rujuk kitab al `Uluww, Imam Dzahaby, Kitab
Tauhid, Ibnu Khuzaimah dan syarah-syarah dari kitab Al Muwatha`, Imam
Malik. [9]
Sebagaimana diketahui pada riwayat ini, Rasul Saw. tidak mengatakan
"dimana Allah?" dan juga tidak mengatakan "siapa yang ada di
langit?", namun Rasul Saw. hanya menggunakan bahasa isyarat! Perkataan
Rasul Saw dan budak wanita pada kedua riwayat merupakan pengungkapan
dan redaksi dari periwayat hadits dan pemahamannya, bukan dari Rasul
Saw.! [10]
Sanad hadits ini insya Allah berderajat hasan. Sa`id Bin Zaid
merupakan periwayat hadits yang tsiqah dan beliau merupakan salah
seorang rijal Imam Muslim.
Beliau juga dinyatakan tsiqah oleh: Ibnu Ma`in, Ibnu Sa`ad, Al `Ajaly
dan Sulaiman Bin Harb. Imam Bukhari dan Al Darimy berkomentar
tentangnya : "Ia adalah seorang yang sangat bisa dipercaya dan ia
adalah seorang yang hafiz".
Meskipun Yahya Bin Sa`id dan yang lainnya menyatakan nya sebagai
seorang periwayat yang dha`if. Oleh karena itu hadits yang
diriwayatkannya tidak akan turun, kecuali kepada derajat hasan.
Pada riwayat pertama yang diriatkannya tidak akan turun, kecuali
kepada derajat hasan.
Pada riwayat pertama yang diriwayatkan oleh Imam Muslim terdapat Hilal
Bin Ali Bin Usamah (Hilal Bin Abi Maimunah).
Abu Hatim berkomentar tentangnya "Beliau merupakan seorang syaikh yang
ditulis hadits-haditsnya".
Imam Nasa`i juga mengomentari: " tidak apa-apa dengannya, artinya
sanad darinya adalah berderajat hasan".
Sebagaimana juga diisyaratkan oleh Al Hafiz Ya`cub Bin Sofyan Al
Qasawy. Al Hafiz Ibnu `Abdil Barr pun berkomentar senada dengan itu.
[11]
Dari dua riwayat ini tidak bisa dielakkan bahwa terjadi idlthirab
(keraguan karena banyak versi) di dalam riwayat dan tentang kepastian
adanya lafaz " dimana Allah?"
Begitu juga dengan pernyataan : " berada di langit". Keduanya
merupakan redaksi yang bersumber dari periwayat hadits.
Sangat perlu dipahami bahwa periwayat hadits, Mu`awiyah Bin Hakam
bukanlah seorang ulama, bukan seorang fuqaha di kalangan sahabat
serta jarang menyertai Rasul Saw.
sehingga tidak mempelajari banyak ilmu secara lebih mendalam.
Bahkan sebagaimana disebutkan di dalam riwayat hadits pada sahih
Muslim di awal, "saya baru saja terlepas dari kaum jahiliyah dan masuk
islam".
Ketika itu beliau tidak tahu bahwa menjawab (mendo`akan) orang yang
bersin dapat menyebabkan batal shalat dan berbicara dengan orang lain
juga membatalkan shalat. Oleh karena itu beliau belum memahami
syariat -yang di dalamnya termasuk masalah tauhid- secara lebih
matang.
Tentang keadaan periwayat hadits, Muawiyah Bin Hakam ini, akan semakin
jelas ketika kita melakukan komparasi dengan riwayat hadits lain, yang
diriwayatkan bukan melalui jalur beliau. [12]
Selanjutnya mari kita perhatikan pemaparan Imam Baihaqi: Ada riwayat
lain yang disebutkan oleh Imam Baihaqi di dalam kitab sunan kubra di
dalam Bab zhihar pada sub bab "membebaskan budak yang bisu ketika
mengisyaratkan bahwa dirinya telah beriman".
Riwayat ini dari jalur `Aun bin Abdullah dari Abdullah bin Uthbah dari
Abu Hurairah;
عَنْ عَوْنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ : أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه
وسلم- بِجَارِيَة ٍ سَوْدَاءَ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ
عَلَىَّ عِتْقَ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَقَالَ لَهَا :« أَيْنَ اللَّهُ؟ ».
فَأَشَارَت ْ إِلَى السَّمَاءِ بِإِصْبَعِ هَا فَقَالَ لَهَا :« فَمَنْ
أَنَا؟ ». فَأَشَارَت ْ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَإِلَى
السَّمَاءِ تَعْنِى : أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- :« أَعْتِقْهَ ا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ ».
Dari Abi Hurairah Ra. bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi
Saw dengan seorang budak wanita yang berkulit hitam dan ia berkata
kepada Nabi Saw: Wahai Rasulullah Saw., sesungguhnya saya memiliki
kewajiban untuk membebaskan seorang budak beriman. Kemudian Rasul Saw.
berkata kepadanya (budak wanita): "dimana Allah?" kemudian ia (budak
wanita) memberi isyarat ke arah langit dengan jarinya. Rasul Saw.
kemudian bertanya lagi kepadanya "dan saya siapa?" Ia kembali
mengisyaratkan kepada Nabi Saw. dan selanjutnya menunjuk ke arah
langit, maksudnya "engkau adalah seorang utusan Allah".
Kemudian Rasulullah Saw. berkata kepada laki-laki tadi: "Bebaskanlah
ia, karena ia adalah seorang yang beriman". [13]
Jika melihat kepada keumuman riwayat, ini sama dengan riwayat yang
sebelumnya , menceritakan tentang kisah yang sama dan di dalam
riwayat juga disebutkan bahwa ada redaksi:
فمد النبى صلى الله عليه وسلم يده اليها وأشار اليها مستفهما وقال (من فى
السماء) قالت: الله
Berarti dialog terjadi dengan bahasa isyarat dari kedua sisi dan
redaksi yang didakwakan sebenarnya tidak ada. Hujjatul Islam, Abu
Hamid Al Ghazali menambahkan bahwa budak wanita ini adalah seorang
yang bisu dan ia tidak memiliki cara lain untuk menunjukkan
ketinggian Allah Yang Maha Kamal kecuali dengan menggunakan bahasa
isyarat menunjuk langit. Dialog ini dilakukan oleh Rasul Saw. karena
para sahabat menyangka budak wanita sebagai seorang penyembah berhala
di rumah-rumah penyembahan berhala. Rasul Saw. ingin mengetahui
kebenaran prasangka mereka terhadap keyakinan sang budak, maka sang
budak memberitahukan kepada mereka keyakinannya bahwa sembahannya
bukanlah berhala-berhala yang ada di rumah-rumah penyembahan berhala,
sebagaimana yang disangkaka terhadapnya [14].
Isyarat ini selain menujukkan bahwa budak adalah seorang yang bisu
juga mengisyaratkan bahwa si budak adalah seorang non arab
sebagaimana disebutkan oleh sebagian riwayat.
Isyarat ke langit ini juga adalah suatu hal yang biasa dilakukan oleh
orang awam dan mereka tidak memiliki cara lain untuk menunjukkan Tuhan
mereka.
Jikalaupun dialog ini benar terjadi sesuai dengan redaksi pada Sahih
Muslim, maka Rasul Saw.
menyetujui dialog ini sebagai perwujudan metode dakwah yang
menempatkan seseorang sesuai dengan kemampuan akal mereka [15]
Bagaimana mungkin kita berpegang kepada riwayat yang menjadi
perbincangan sepanjang sejarah ini dan realitanya menyatakan tidak
adanyg kepada riwayat yang menjadi perbincangan sepanjang sejarah ini
dan realitanya menyatakan tidak adanya redaksi dari Rasul Saw. dan
budak secara tegas dan pasti, seperti yang didakwakan?! [16]
bersambung
sumber: http://www.facebook.com/home.php?sk=group_196355227053960&view=doc&id=203195406369942&refid=7
Kamis, 01 Desember 2011
Benarkah Allah berada di langit berdasarkan hadits shahih???
Sebagian kawan kita yang menyatakan Allah berada di langit atau
bersemayam di atas `arsy berdalil dengan sebuah hadits yang menceritakan
tentang kisah seorang budak wanita yang berdialog dengan Rasul Saw.. Dalam
hadits tersebut Rasul Saw. melakukan dialog untuk mengetahui keimanan atau
indikasi yang menunjukkan bahwa budak wanita yang dimaksud sudah beriman
atau belum? Budak dimaksud apakah telah memenuhi persyaratan untuk bisa
menjadi kafarah, berupa pembebasan seorang budak beriman bagi muslim yang
melanggar perbuatan tertentu di dalam syariat atau tidak?!
Pada penghujung sebuah hadits riwayat Imam Muslim dengan sanad Mu`awiyah
bin Hakam direkamkan dialog antara Rasul Saw. dengan budak seperti redaksi
berikut: Rasulullah Saw. berkata: "datangkanlah ia kesini". Kemudian akupun
mendatangkan budak wanita tersebut ke hadapaan beliau. Beliau kemudian
bertanya: " Dimanakah Allah?", maka ia menjawab: " Di langit", beliau
bertanya lagi: "Siapa aku?", maka ia menjawab: " Anda Rasul Allah" Lalu
beliau bersabda: "Bebaskanlah ia, karena ia seorang yang beriman" (HR.
Muslim)
Secara umum jumhur umat menolak hadits ini, disebabkan karena faktor: 1.
Hadits ini bertentangan dengan dalil-dalil yang lebih kuat secara naqli dan
`aqli[1 ]. 1. Diantara dalil naqli: a. QS: An Nahl: 17 Maka apakah (Allah)
yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)?
b. QS: Al Syura: 11 : Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia c.
Banyak hadits yang menyatakan bahwa Rasul Saw. ketika menanyakan atau
menguji keimanan seseorang selalu dengan menggunakan syahadat bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah dan syahadat Muhammad adalah utusan Allah. Hadits
seperti ini mencapai kapasitas mutawatir!
2. Dalil `aqly a. Allah mahasuci dari tempat dan bertempat pada sesuatu
apapun dari makhluqNya. Allah mahasuci dari waktu dan pengaruh ruang waktu.
Karena keduanya adalah milik Allah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam
al Razi di dalam menafsirkan firman Allah QS: Al An`am: 12 : "Katakanlah:
"Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi?" Katakanlah:
"Kepunyaan Allah"." Ayat ini menjelaskan bahwa tempat dan semua yang berada
pada tempat adalah milik Allah. Dan firman Allah QS: Al An`am: 13 "Dan
kepunyaan Allah-lah segala yang ada pada malam dan siang hari." Ayat ini
menjelaskan bahwa waktu yang bergulir dan semua yang masuk ke dalam ruang
waktu adalah kepunyaan Allah, bukan sifatNya
b. Akal manusia secara pasti dan tegas menyatakan bahwa Allah, al Khaliq
pasti beda dengan makhluqNya. Bila makhluq bertempat/tidak terlepas dari
tempat tertentu, maka Allah tidak bertempat tertentu. Karena Allah beda
dengan makhluqNya. Bila makhluq berada atau dipengaruhi oleh dimensi waktu,
sedangkan Allah tidak!
c. Allah bersifat qadim, oleh karena itu Allah tidak berada pada ruang
tempat tertentu, baik sebelum diciptakan `arsy dan langit ataupun
setelahnya. Apabila Allah berada di atas langit atau di atas `arsy setelah
Allah menciptakan keduanya, berarti Allah memiliki sifat hadits, karena
keberadaan Allah di atas langit dan `arsy telah didahului oleh ketiadaan
langit dan `arsy dan Allah tidak berada di atas langit dan `arsy sebelum
diciptakan keduanya. Setelah ada, baru kemudian bersemayam diatasnya. Ini
artinya kita menyifati Allah dengan sifat hadits. Sedangkan secara kaidah
dinyatakan: bahwa semua yang bisa dihinggapi oleh sifat hadits adalah
hadits.
2. Hadits ini merupakan hadits yang menjadi perbincangan para ulama sejak
dahulu dan sampai kini, yang tidak diterima oleh sebagian orang karena
bid`ah yang mereka lakonkan[2 ]. Para hafiz di bidang hadits dan para pakar
hadits yang mu`tabar sepanjang sejarah sepakat menyatakan bahwa hadits ini
adalah hadits mudltharib, yang disebabkan oleh banyaknya versi dari hadits
ini, baik secara redaksional maupun secara sanad hadits. Oleh karena itu
sebagian ulama mengatakan hadits ini adalah sahih tapi syadz dan tidak bisa
dijadikan landasan menyangkut masalah akidah! .
Mari kita kaji lebih lanjut hadits yang menceritakan tentang kisah budak
wanita ini secara komprehensif, komparatif dan kritis.
Perhatikanlah redaksi hadits di dalam Sahih Muslim secara lengkap:
روى عن معاوية بن الحكم السلمي قال: بينا أنا أصلي مع رسول الله صلى الله
عليه و سلم إذ عطس رجل من القوم فقلت يرحمك الله فرماني القوم بأبصارهم فقلت
واثكل أمياه ما شأنكم ؟ تنظرون إلي فجعلوا يضربون بأيديهم على أفخاذهم فلما
رأيتهم يصمتونني لكني سكت فلما صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فبأبي هو
وأمي ما رأيت معلما قبله ولا بعده أحسن تعليما منه فوالله ما كهرني ولا ضربني
ولا شتمني قال إن هذه الصلاة لا يصلح فيها شيء من كلام الناس إنما هو التسبيح
والتكبير وقراءة القرآن أو كما قال رسول الله صلى الله عليه و سلم قلت يا رسول
الله إني حديث عهد بجاهلية وقد جاء الله بالإسلام وإن منا رجالا يأتون الكهان
قال فلا تأتهم قال ومنا رجال يتطيرون قال ذاك شيء يجدونه في صدورهم فلا يصدنهم
(قال ابن المصباح فلا يصدنكم ) قال قلت ومنا رجال يخطون قال كان نبي من
الأنبياء يخط فمن وافق خطه فذاك قال وكانت لي جارية ترعى غنما لي قبل أحد
والجوانية فاطلعت ذات يوم فإذا الذيب [ الذئب ؟ ؟ ] قد ذهب بشاة من غنمها وأنا
رجل من بني آدم آسف كما يأسفون لكني صككتها صكة فأتيت رسول الله صلى الله عليه
و سلم فعظم ذلك علي قلت يا رسول الله أفلا أعتقها ؟ قال ائتني بها فأتيته بها
فقال لها أين الله ؟ قالت في السماء قال من أنا ؟ قالت أنت رسول الله قال
أعتقها فإنها مؤمنة
Diriwayatkan dari Mu`awiyah Bin Hakam Al Sulamiy: Ketika saya shalat
bersama Rasulullah Saw. ada seorang laki-laki yang bersin, lantas saya
mendo`akannya dengan mengucapkan yarhamukaLlah. Semua orang yang shalat
lantas melihat kepadaku dan aku menjawab: "Celaka kedua orangtua kalian
beranak kalian, ada apa kalian melihatku seperti itu?!" Kemudian mereka
memukulkan tangan mereka ke paha-paha mereka. Aku tahu mereka memintaku
untuk diam, maka akupun diam. Ketika telah selesai Rasul Saw. menunaikan
shalat, demi ayah dan ibuku, aku tidak pernah melihat sebelum dan
sesudahnya seorang guru yang lebih baik cara mendidiknya daripada Rasul
saw.. Demi Allah, beliau tidak menjatuhkanku, tidak memukulku, dan juga
tidak mencelaku. Beliau hanya berkata: "Sesungguhnya shalat ini tidak boleh
ada perkataan manusia di dalamnya. Di dalam shalat hanyalah terdiri dari
tasbih, takbir dan bacaan al Qur`an." Atau sebagaimana yang dikatakan oleh
Rasul saw.. Aku kemudian menjawab: "Wahai Rasul Saw. sesungguhnya aku
adalah seorang yang baru saja berada di dalam kejahiliyahan kemudian datang
islam. Dan sesungguhnya diantara kami masih ada yang mendatangi para dukun.
Beliau berkata: "Jangan datangi mereka!" Aku kemudian menjelaskan bahwa
diantara kami masih ada yang melakukan tathayyur (percaya terhadap kesialan
dan bersikap pesimistis). Beliau mengatakan: "Itu hanyalah sesuatu yang
mereka rasakan di dalam diri mereka, maka janganlah sampai membuat mereka
berpaling (Kata Ibnu Shabbah: maka janganlah membuat kalian berpaling).
Kemudian ia melanjutkan penjelasan: Aku berkata: dan sesungguhnya diantara
kami ada yang menulis dengan tangan mereka. Rasul Saw. berkata: dari
kalangan Nabi juga ada yang menulis ( khat) dengan tangan, barangsiapa yang
sesuai apa yang mereka tulis, maka beruntunglah ia. Dia kemudian berkata:
saya memiliki seorang budak perempuan yang mengembalakan kambing di sekitar
bukit Uhud dan Jawwaniyyah. Pada suatu hari aku memperhatikan ia
mengembala, ketika itu seekor srigala telah memangsa seekor kambing. Aku
adalah seorang anak manusia juga. Aku bersalah sebagaimana yang lain.
Kemudian aku menamparnya (budak wanita) dengan sekali tamparan. Maka
kemudian aku mendatangi Rasul Saw.. Rasul Saw. menganggap itu adalah suatu
hal yang besar bagiku. Akupun berkata: "Apakah aku mesti membebaskannya?"
Rasul Saw. menjawab: "Datangkanlah ia kesini!". Kemudian akupun
mendatangkan budak wanita tersebut ke hadapan Rasul Saw.. Rasul Saw.
kemudian bertanya: " Dimanakah Allah?", maka ia (budak wanita) menjawab: "
Di langit", Rasul Saw. bertanya lagi: "Siapa aku?", maka ia menjawab: "Anda
Rasul Allah". Lalu Rasul Saw. bersabda: "Bebaskanlah ia karena ia adalah
seorang yang beriman" (HR. Muslim)
Hadits ini menjelaskan beberapa hal penting kepada kita, diantaranya
1. Sekelumit pelajaran yang bisa dipetik dari hadits, diantaranya;
a. Rasul Saw. mencontohkan metode mengajar yang tauladan.
b. Hadits ini menceritakan tentang masalah membayar kafarah berupa
pembebasan seorang budak yang disyaratkan mesti beriman. Rasul Saw.
memastikan apakah budak yang akan dibebaskan sudah beriman?!
c. Di dalam hadits menceritakan tentang status periwayat hadits yang baru
masuk islam.
d. Di dalam hadits menceritakan keadaan kaum si periwayat hadits.
e. Di dalam hadits diceritakan cara Rasul Saw. mengetahui bahwa si budak
seorang beriman atau bukan? Berdasarkan indikasi yang nampak oleh Rasul
Saw..[3)
2. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim pada bab " Haram berbicara di
dalam shalat". Beliau tidak meriwayatkan pada bab "iman", bab "kafarah
dengan pembebasan budak beriman", dan juga bukan pada bab " pembebasan
budak". Artinya hadits ini beliau kelompokkan ke dalam masalah-masalah
`amaliyah, bukan bersifat masalah akidah. Karena hadits ini tidak cukup
kuat untuk berdalil di dalam masalah akidah.
3. Imam Nawawi dalam menjelaskan penghujung hadits yang merupakan dialog
antara Rasul Saw. dengan budak wanita, mengatakan bahwa ulama memiliki
banyak persepsi dalam memahaminya, secara ringkas ulama memahaminya dengan
2 metode;
a. Mengimani hadits sebagaimana yang disampaikan oleh Rasul Saw. tanpa
mengkaji lebih jauh makna yang dimaksud dan meyakini bahwa tidak ada yang
semisal dengan Allah sesuatupun serta mensucikan Allah dari segala sifat
makhluq.
b. Takwil dengan makna sesuai dengan sifat yang layak bagi Allah.[4
bersambung...
Sumber lengkap:
http://www.facebook.com/home.php?sk=group_196355227053960&view=doc&id=203195406369942&refid=7