by Mbah Pesbuk's
Orang yang shalat dianjurkan untuk meletakkan tangan kanan di awal duduk untuk tahiyyat dengan jari-jari dihimpun, kecuali jari telunjuk dan ibu jari. Dengan diletakkan di atas ibu jari, jari telunjuk menunjuk (berisyarat) dengan cara diangkat saat membaca "asyhadu allaa ilaaha illallaah" dan tidak meggerak-gerakkannya, bahkan hal itu dimakruhkan. Dan tidak melakukan isyarat lain kecuali dengan jari tangan kanan. Jari telunjuk tersebut terus menerus diangkat hingga salam.
Dari Ibnu 'Umar r.a. "Ketika duduk dalam tahiyyat, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meletakkan tangan kiri di atas lutut kiri dan menaruh tangan kanan di atas lutut kanan seraya membentuk bilangan 53 dan berisyarat dengan jari telunjuk." (HR. Muslim [1:408])
Dalam riwayat Muslim dari Ali bin Abdurrahman al-Mu'awi bahwa ia bercerita, "Abdullah bin 'Umar memperhatikan saya karena saya mempermainkan batu kerikil sewaktu shalat. Lalu ia menegur setelah saya beranjak, 'Lakukanlah seperti yang dilakukan oleh Rasulullah!' 'Apa yang diperbuat oleh Rasul?' tanya saya. Ia bertutur:
كان اذاجلس فى اصّلاة وضع كفّه اليمنى على فخذه اليمنى وقبض أصابعه كلّها وأشاربأصبعه الّتى تلى الإبهام إلىى القبلة ووضع كفّه البسرى على فخذه ابسرى
"Jika duduk dalam shalat, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meletakkan telapak kanannya di atas paha kanan sambil menggenggamkan seluruh jarinya, kecuali jari telunjuk yang mengikuti ibu jari. Beliau berisyarat dengannya menghadap kiblat. Dan beliau meletakkan telapak tangan kiri di atas paha kiri."
Isyarat ini menunjukkan, "menggerak-gerakkan" (harraka-yuharriku) justru menafikannya. Dan yang lebih terang lagi hadits dari Abdullah bin Zubair r.a, ujarnya:
أنّ رسول الله كان يشير بأصبعه إذا دعا ولا يحرّكها
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berisyarat dengan jarinya saat mengucap doa dan tidak menggerak-gerakkannya." (HR. Abu Uwanah dalam Shahihnya [2:226], An-Nasa'i [93:8], Al-Baihaqi [2:132], dan Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah [3178] dengan isnad shahih).
Adapun hadits yang menyebutkan "yuharrikuha" (menggerakkannya) tidaklah shahih. Lafadz ini syadz (menyalahi riwayat orang yang lebih tsiqah) karena 11 orang perawi tsiqah telah meriwayatkan tanpa kata "yuharrikuha", dan hanya satu orang yang meriwayatkan dengan tambahan "yuharrikuha". Selain itu, hadits-hadits lain tidak menyebutkannya.
Siapa saja yang mengatakan bahwa yang mutsbat (yang menyebutkannya) lebih didahulukan atas yang menafikannya, maka ia tidak faham ushul fiqh. Karena kaidah ini memiliki aturan sehingga kaidah itu tidak berlaku di sini. Sekiranya orang yang mengklaim hal ini mau duduk di hadapan ahli ilmu, tentu ia tidak terjebak dengan klaimnya karena adanya riwayat yang tegas menafikan "tahrik" (penggerakkan), maka riwayat yang menyebutkannya adalah syadz. Para 'ulama, hatta 'ulama madzhab Maliki yang terdahulu pun tidak mengamalkan riwayat syadz ini. Bahkan madzhab selain madzhab Maliki sama, yang berbeda hanya si pengklaim saja.
Al-Hafidz Ibnul 'Arabi Al-Maliki dalam kitabnya "Aridhatul Ahwadzi" Syarah At-Tarmidzi [2:85] menegaskan, "Hati-hati, jangan menggerak-gerakkan jarimu saat tahiyyat. Jangan pedulikan riwayat Utbiyah karena ia adalah bencana. Sungguh aneh ada yang mengatakan bahwa menggerak-gerakkannya dalam rangka mengusir syetan. Ketahuilah, jika kamu menggerakkan satu jari untuk mengusirnya, maka ia akan menggerakkan untuk kamu sepuluh. Syetan akan terusir dengan keikhlasan, khusyuk, dzikir dan isti'aadzah, bukan dengan menggerakkan jari."
Ibnu Hajib Al-Maliki dalam Mukhtasar Al-Fiqhi menyatakan, bahwa tidak menggerakkan jari adalah pendapat yang mahsyur di madzhab Maliki.
An-Nawawi dalam fatwanya [halaman 154] dan dalam Syarah Al-Muhadzdzab [3:45] menyatakan kemakruhannya, karena perbuatan itu main-main dalam shalat dan menghilangkan kekhusyukan.
Numair Al-Khuza'i r.a. mengungkapkan, "Saya telah menyaksikan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meletakkan lengan bawah dari tangan kanannya di atas paha kanan dengan mengangkat jari telunjuk yang beliau bengkokkan sedikit." (HR. Ahmad [3:471], Abu Dawud [1:260], An-Nasa'i [3:39], Ibnu Khuzaimah [1:54]. Penshahihannya diakui oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Al-Isabah No.8807. Juga HR. Ibnu Hiban [5:273], Al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra [2:1310], dan merupakan hadits shahih).
(Sifat Shalat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang Shahih. Dari Takbir Sampai Salam, Syeikh Hasan Ali as-Saqqaf al-Qurasyi al-Hasyimi, halaman 120-121)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar