by Ibnu Abdillah Al-Katiby
ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺪَﺙَ ﻓِﻲْ ﺃَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻫﺬَﺍ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
Benarkah hadits ini bermakna, "barang siapa yang berbuat hal baru yang tidak ada perintahnya, maka ia tertolak."? Mari kita simak pembahasannya dengan ilmu dan bukan dengan hawa nafsu.
Ditinjau dari sisi ilmu lughoh, i'rab nahwunya ﻣﻦ adalaha isim syart wa jazm mabniyyun 'alas sukun fi mahalli rof'in mubtada' wa khobaruhu aljumlatus syartiyyah ba'dahu. ﺍﺣﺪﺙ fi'il madhi mabniyyun 'alal fathah fii mahalli jazmin fi'lu syarth wal fa'il mustatir jawazan taqdiruhu huwa. ﻓﻲ harfu jar. ﺍﻣﺮﻧﺎ majrurun bi fii wa lamatu jarrihi alkasrah, wa naa dhomirun muttashil mabnyyyun 'alas sukun fii mahlli jarring mudhoofun ilaihi. ﻫﺬﺍ isim isyarah mabniyyun alas sukun fi mahalli jarrin sifatun liamrin. ﻣﺎ isim mabniy fii mahhli nashbin maf'ul bih. ﻟﻴﺲ fi'il madhi naqish yarfa'ul isma wa yanshbul khobar, wa ismuha dhomir mustatir jawazan taqdiruhu huwa. ﻣﻨﻪ min harfu jarrin wa hu dhomir muttashil mabniyyun alad dhommi wahuwa littab'iidh. ﻓﻬﻮ al-faa jawab syart. Huwa dhomir muttashil mabniyyun alal fathah fi mahalli rof'in mubtada. ﺭﺩ khobar mubtada marfuu'un wa alamatu rof'ihi dhommatun dzhoohirotun fi aakhirihi. Wa umlatul mubtada wa khobaruhu fi mahalli jazmin jawabus syarth.
Dari uraian sisi nahwunya maka bermakna,"barang siapa yang melakukan perkara baru dalam urusan kami yaitu urusan syari'at kami yang bukan termasuk darinya, tidak sesuai dengan al-Qur'an dan hadits, maka perkara baru itu ditolak."
Makna tersebut sesuai dengan perkataan Imam Syafi'i yang sudah masyhur:
ﻣﺎ ﺃُﺣﺪِﺙَ ﻭﺧﺎﻟﻒ ﻛﺘﺎﺑﺎً ﺃﻭ ﺳﻨﺔ ﺃﻭ ﺇﺟﻤﺎﻋﺎً ﺃﻭ ﺃﺛﺮﺍً ﻓﻬﻮ ﺍﻟﺒﺪﻋﺔ ﺍﻟﻀﺎﻟﺔ،ﻭﻣﺎ ﺃُﺣْﺪِﺙَ ﻣﻦ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻭﻟﻢ ﻳﺨﺎﻟﻒ ﺷﻴﺌﺎَ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﻓﻬﻮ ﺍﻟﺒﺪﻋﺔ ﺍﻟﻤﺤﻤﻮﺩﺓ
"Perkara baru yang menyalahi al-Qur'an, Sunnah, Ijma' atau Atsar, maka itu adalah bid'ah dholalah (sesat). Dan perkara baru yang baik yang tidak menyalahi dari itu semua adalah bid'ah mahmudah (baik)."
Istidlal ayatnya (pengambilan dalil dari al-Qur'an):
ﻭَﺟَﻌَﻠْﻨَﺎ ﻓِﻲ ﻗُﻠُﻮﺏِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺍﺗَّﺒَﻌُﻮﻩُ ﺭَﺃْﻓَﺔً ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔً ﻭَﺭَﻫْﺒَﺎﻧِﻴَّﺔًﺍﺑْﺘَﺪَﻋُﻮﻫَﺎ ﻣَﺎ ﻛَﺘَﺒْﻨَﺎﻫَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﺑْﺘِﻐَﺎﺀَ ﺭِﺿْﻮَﺍﻥِ ﺍﻟﻠَّﻪِ
"Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi 'Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah." (al-Hadid: 27)
Istidlal haditsnya (pengambilan dalil dari hadits):
ﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﻓِﻲْ ﺍﻹِﺳْﻼَﻡِ ﺳُﻨَّﺔً ﺣَﺴَﻨَﺔً ﻓَﻠَﻪُ ﺃَﺟْﺮُﻫَﺎ ﻭَﺃَﺟْﺮُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻣِﻦْ، ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘُﺺَ ﻣِﻦْ ﺃُﺟُﻮْﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻰْﺀٌ، ﻭَﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﻓِﻲْ ﺍﻹِﺳْﻼَﻡِ ﺳُﻨَّﺔً ﺳَﻴِّﺌَﺔً ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭِﺯْﺭُﻫَﺎ ﻭَﻭِﺯْﺭُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِﻩِ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘُﺺَ ﻣِﻦْ ﺃَﻭْﺯَﺍﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻰْﺀٌ
"Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun." (HR. Muslim)
Balaghah :
Hadits tersebut memiliki manthuq dan mafhumnya:
Manthuqnya: "Siapa saja yang melakukan hal baru yang tidak bersumber dari syareat, maka dia tertolak", misalnya sholat dengan bahasa Indonesia, mengingkari taqdir, mengakfirkan orang, bertafakkur dengan memandang wajah wanita cantik, dan sebagainya.
Mafhumnya : "Siapa saja yang melakukan hal baru yang bersumber dari syareat, maka itu diterima", contohnya sangat banyak skali sprti pembukuan al-Qur'an, pemberian titik al-Qur'an, maulid, tahlilan, khaul, sholat tarawih berjama'ah dan sebagainya.
Berangkat dari pemahaman ini, 'Umar bin Khaththab RA. berkata saat mengumpulkan orang-orang untuk melakukan sholat tarawih berjama'ah, ﻧﻌﻤﺖ ﺍﻟﺒﺪﻋﺔ ﻫﺬﻩ (inilah sebaik-baik bid'ah). Dan juga berkata sahabat Abu Hurairah RA, ﻓَﻜَﺎﻥَ ﺧُﺒَﻴْﺐٌ ﺃَﻭَّﻝَ ﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓَ ﻋِﻨْﺪَ (ﺍﻟْﻘَﺘْﻞِ)ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱّ "Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh." (HR. Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf).
Jika semua perkara baru itu buruk, maka para sahabat tersebut tidak akan berkata demikian.
Sekarang kita cermati makna hadits di atas dari sudut pemahaman wahhabi:
ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺪَﺙَ ﻓِﻲْ ﺃَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻫﺬَﺍ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
Hadits ini mereka artikan:
Pertama : "Barang siapa yang berbuat hal baru dalam agama, maka ia tertolak "
Jika mereka mengartikan demikian, maka mereka sengaja membuang kalimat MAA LAITSA MINHU-nya (Yang bersumber darinya). Maka haditsnya menjadi: ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺪَﺙَ ﻓِﻲْ ﺃَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻫﺬَﺍُﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
Kedua : "Barang siapa yang berbuat hal baru yang tidak ada perintahnya, maka ia tertolak"
Jika diartikan seperti itu, berarti dengan sengaja telah merubah makna hadits MAA LAITSA MINHU-nya MENJADI MAA LAITSA MA-MUURAN BIHI (Yang tidak ada perintahnya). Maka haditsnya menjadi: ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺪَﺙَ ﻓِﻲْ ﺃَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻫﺬَﺍ ﻣَﺎ ﻟﻴَْﺲَ ﻣَﺄﻣُﻮْﺭﺍً ﺑﻪِ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
Sungguh ini sebuah distorsi dalam makna hadits dan sebuah pengelabuan pada umat muslim. Jika mereka menentang dan berdalih: "Bukankah Rasullullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah memutlakkan bahwa semua bid'ah adalah sesat, ini dalilnya:
ﻭَﺇِﻳَّﺎﻛُﻢْ ﻭَﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺕِ ﺍﻷُﻣُﻮْﺭِ ﻓَﺈِﻥَّ ﻛُﻞَّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ - ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ
Maka kita jawab hadits tersebut adalah 'Aam Makhsus (lafadznya umum namun dibatasi) dengan bukti banyak dalil yang menjelaskannya, seperti hadits-hadits sahabat di atas. Maksud hadits tersebut adalah setiap perkara baru yang brtentangan dgn al-qur'an dan hadits.
Perhatikan hadits riwayat Imam Bukhari berikut:
ﺃﺷﺎﺭ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﻋﻤﺮ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻋﻠﻰ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺍﻟﺼﺪﻳﻖ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺑﺠﻤﻊ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﻲ ﺻﺤﻒ ﺣﻴﻦ ﻛﺜﺮ ﺍﻟﻘﺘﻞ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻓﻲ ﻭﻗﻌﺔ ﺍﻟﻴﻤﺎﻣﺔ ﻓﺘﻮﻗﻒ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻭﻗﺎﻝ:ﻛﻴﻒ ﻧﻔﻌﻞ ﺷﻴﺌﺎ ﻟﻢ ﻳﻔﻌﻠﻪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ؟ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻪ ﻋﻤﺮ":ﻫﻮ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺧﻴﺮ".ﻓﻠﻢ ﻳﺰﻝ ﻋﻤﺮ ﻳﺮﺍﺟﻌﻪ ﺣﺘﻰ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﺪﺭﻩ ﻟﻪ ﻭﺑﻌﺚ ﺇﻟﻰ ﺯﻳﺪ ﺍﺑﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻓﻜﻠﻔﻪ ﺑﺘﺘﺒﻊ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﺟﻤﻌﻪ ﻗﺎﻝ ﺯﻳﺪ":ﻓﻮﺍﻟﻠﻪ ﻟﻮ ﻛﻠﻔﻮﻧﻲ ﻧﻘﻞ ﺟﺒﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﺒﺎﻝ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﺃﺛﻘﻞ ﻋﻠﻲ ﻣﻤﺎ ﻛﻠﻔﻨﻲ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺟﻤﻊ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ". ﻗﺎﻝ ﺯﻳﺪ":ﻛﻴﻒ ﺗﻔﻌﻠﻮﻥ ﺷﻴﺌﺎ ﻟﻢ ﻳﻔﻌﻠﻪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ". ﻗﺎﻝ":ﻫﻮ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺧﻴﺮ"ﻓﻠﻢ ﻳﺰﻝ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻳﺮﺍﺟﻌﻨﻲ ﺣﺘﻰ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﺪﺭﻱ ﻟﻠﺬﻱ ﺷﺮﺡ ﻟﻪ ﺻﺪﺭ ﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻭﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ.
"Umar bin Khaththab memberi isyarat kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengumpulkan Al-Qur'an dalam satu mushaf ketika melihat banyak sahabat penghafal qur'an telah gugur dalam perang yamamah. Tetapi Abu Bakar diam dan berkata "Bagaimana aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam ?" Maka Umar menjawab "Demi Allah itu suatu hal yang baik". Beliau selalu mengulangi hal itu hingga Allah melapangkan dadanya. Kemudian Abu bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan Al-Qur'an, maka Zaid berkata "Demi Allah aku telah terbebani untuk memindah gunung ke satu gunung lainnya, bagaimana aku melakukan suatu hal yang Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak melakukannya?" Maka Abu Bakar menjawab "Demi Allah itu suatu hal yang baik". Abu Bakar terus mengulangi hal itu hingga Allah melapangkan dadaku sebgaimana Allah telah melapangkan dada Umar dan Abu Bakar."
Coba perhatikan ucapan Umar dan Abu Bakar, "Demi Allah ini suatu hal yang baik", ini menunjukkan bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak melakukan semua hal yang baik, sehingga mereka mengatakan Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak pernah melakukannya, namun bukan berarti itu buruk.
Jika mereka mengatakan sahabat Abdullah bin Umar telah berkata:
ﻛﻞ ﺑﺪﻋﺔ ﺿﻼﻟﺔ ﻭﺇﻥ ﺭﺁﻫﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺣﺴﻨﺔ
"Setiap bid'ah itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya baik."
Maka kita jawab :
Itu memang benar, maksudnya adalah segala bid'ah tercela itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya baik. Contohnhya bertaqarrub pada Allah sambil mendengarkan musik.
Jika sahabat Abdullah bin Umar memutlakkan bahwa semua bid'ah itu sesat tanpa kecuali, walaupun orang-orang menganggapnya baik, lalu kenapa juga beliau pernah berkata: ﺑﺪﻋﺔ ﻭﻧﻌﻤﺖ ﺍﻟﺒﺪﻋﺔ "Itu bid'ah dan sebaik-baik bid'ah" Saat beliau ditanya tentang shalat dhuha. Lebih lengkapnya:
ﻋﻦ ﺍﻷﻋﺮﺝ ﻗﺎﻝ:ﺳﺄﻟﺖ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻋﻦ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻀﺤﻰ ﻓﻘﺎﻝ":ﺑﺪﻋﺔ ﻭﻧﻌﻤﺖ ﺍﻟﺒﺪﻋﺔ
Dari A'raj berkata "Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang sholat dhuha, maka beliau menjawab "Itu bid'ah dan sebaik-baik bid'ah."
Apakah pantas seorang sahabat seperti Abdullah bin Umar tidak konsisten dalam ucapannya? sungguh sangat jauh dari hal itu.
Kesimpulan:
Cara membedakan bid'ah dholalah dan bid'ah hasanah adalah:
ﻭﺍﻟﺘﻤﻴﻴﺰ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺤﺴﻨﺔ ﻭﺍﻟﺴﻴﺌﺔ ﺑﻤﻮﺍﻓﻘﺔ ﺃﺻﻮﻝ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﻭﻋﺪﻣﻬﺎ
"sesuai atau tidaknya dengan pokok-pokok syari'at".
Orang yang mengartikan hadits:
ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺪَﺙَ ﻓِﻲْ ﺃَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻫﺬَﺍ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
Dengan : "Barang siapa yang melakuakn hal baru maka itu tertolak" atau "Barang siapa yang melakukan hal baru tanpa ada perintahnya maka ia tertolak".
Orang yang mengartikan seperti itu berarti ia telah berbuat bid'ah dholalah karena tidak ada dasarnya sama sekali baik dari al-Qur'an, Hadits maupun Atsarnya. Telah sengaja merubah makna hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, dan kita semua mengetahui sanksi bagi orang yang telah berdusta atas nama Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Na'udzubillahi min dzaalik.
Semoga bermanfaat bagi yang ingin mencari kebenaran.
Salam. Penafsiran tuan mengenai ayat 27 surah Al Hadid mengelirukan. Sila semak sambungan ayat tersebut dan tafsirannya. Begitu juga dengan hadis selepas ayat tersebut... Moga Allah melapangkan dada tuan untuk kebenaran.
BalasHapusApa yang salah mengenai ayat 27 surah Al-Hadid mengelirukan, sambungan ayatnya menyatakan ''lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik'' ini berarti ada yang melaksanakan ''rahbaniyah'' benar-benar mencari keridhoan Allah namun ada juga yang melakukannya bukan dengan niat yang benar..., sehingga ada yang mendapat pahala dan ada yang mendapat murka
Hapusterima kasih semoga menjadi ilmu yg bermamfaat semoga juga diatas dapat disempurnakan
BalasHapusSyukron. ..
BalasHapusApabila mencontoh Rasulullah dan para sahabat 3 generasi. Yang Rasulullah nilai sebgai generasi terbaik.
BalasHapusTentunya adalah terbaik.
Tidak akan cukup waktu 24 jam seharusnya untuk melaksanakan sunnah-2 yang ada dari Rasulullah.
Perintah khulafurasidin adalah sunnahku (Hadits).
BalasHapusGenerasi terbaik adalah generasi..., .....(Hadits).
Qiyas diperlukan umumnya karena ada keterbatasan alam dan adanya teknologi yg zaman rasuoullah tidak ada.
BalasHapusJadi kembalikan pada kaidah :
Rasulullah dan Para.Sahabat bisa melakukan yang kita lakukan, kenapa tidak.dilakukan generasi shalaf tentunya merekalah yg terbaik.
Maulid para sahabat bisa melakukan tetapi kenapa tidak dilakukan para sahabat.
Apakah kita berarti lebih baik?
Justru kita harus ikuti generasi terbaik.
Maaf apabila salah, ada beberapa pendapat mengenai Jika Rosulullah mampu melakukan tetapi tidak dilakukan, semata mata atas dasar pertimbangan bahwa karena Rosulullah tidak ingin nantinya hal tersebut dianggap wajib. Contoh Sholat Tarawih setiap malam berjamaah di masjid. Rosulullah tidak melakukannya, tetapi sahabat dan kita saat ini melakukannya. Apakah sahabat dan kita saat ini lebih baik dari Rosulullah ? Sekali lagi mohon maaf, abaikan saja jika pendapat saya salah.
HapusSy jelas lebih setuju dengan Gus baha, karena Beliau itulah yg disebut Ulama' sbg waroosatul ambiya'
BalasHapusBeliau hafal Al-Qur'an seperti hafal Al faatihah.
Beliau seorang Mufassir.
Dan jauh sebelum itu beliau adalah Al Faqqih.
Ini yg benar2 Ulama'
Maka harus bisa bedain,mana Ulama' mana tukang pidato.
Kalo tukang pidato bertindak sebagai MUFTI,itulah sumber kesesatan yg sebenarnya.