Jumat, 07 Oktober 2011

Hal-Hal Yang Diperbolehkan Berijtihad

by Mbah Pesbuk's


Doktrin pemikiran bebas bukan berarti tanpa batas, tetapi dalam masalah ijtihad memiliki persyaratan khusus, baik bagi mujtahid sendiri maupun bagi mujtadah 'alaih (lapangan berijtihad) sebagai obyeknya, sebab dalam realitasnya tidak semua orang dapat berijtihad dan tidak semua ajaran Islam dapat diijtihadkan. Hal ini terjadi karena adanya dua sifat yang ada dalam ajaran Islam itu sendiri, yaitu:
  1. Sifat Ta'abbudiyyah, yaitu melaksanakan segala bentuk yang diperintahkan agama dengan tidak mempertanyakan mengapa dan bagaimana, sebab dasarnya hanya ittiba'. Dari sifat inilah maka masalah ini disebut dengan istilah "ibadah".
  2. Sifat Ta'aqqudi, yaitu suatu hal yang dapat difahami manusia yang ketetapan hukumnya berdasarkan "mashlaha" dan "manfaat" bagi umat manusia. Hal inilah yang lazim disebut dengan istilah "mu'amalah".
Oleh sebab itu, jika ditemukan adanya pengamalan ibadah tidak sesuai dengan garis ketentuan agama, maka praktek amaliyyahnya lazim disebut dengan istilah "bid'ah", sebab segala sesuatu sudah ditentukan. Dari sinilah maka muncul kaidah umum dalam ushul al-fiqih sebagai berikut:

الاصل فى العبادةالبطلان حتّى يقوم الدّليل فلى الامر

"Pada dasarnya, masalah ibadah (dalam praktek pengamalannya) adalah batal (suatu larangan), sampai pada ditemukannya dalil yang memerintahkan (untuk mempraktekkannya)."

Kaidah ini diambil oleh para ushuliyyin dari ayat al-Qur'an surat Asy-Syura:21 sebagai berikut:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?"

Akan tetapi jika ternyata dalam operasionalisasi (pengamalan) ajaran Islam itu berhubungan dengan masalah mu'amalah, maka diberilah kebebasan untuk berbuat dan bertindak dalam menata dan mengatur hidup dan kehidupan dunia, sebab terbentuknya persoalan ini atas dasar mashlahah dan manfaat yang sifatnya rasional (ma'qul) dengan meninggalkan prinsip-prinsip dalam masalah furu'iyyah yang telah termaktub di dalam nash. Maksudnya ketentuan-ketentuan yang dapat menarik kemashlahatan dan kemanfaatan bagi kepentingan umum dan menghindarkan diri dari praktek-praktek yang dapat merusak dan membahayakan bagi kehidupan mereka. Dari sinilah muncul kaidah umum dalam ushul al-fiqih yang dibuat oleh para ushuliyyin, yaitu:

الاصل فى العقود والمعاملةالصّحّة حتّى يقوم الدّليل على البطلان

"Pada hakikatnya, asal mula dalam masalah transaksi dan bermu'amalah adalah sah sampai pada ditemukannya dalil yang bisa membatalkannya dan mengharamkannya." [25]

Hal ini diambil oleh para ushuliyyin dari ayat al-Qur'an surat Al-Baqarah:29 sebagai berikut:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا

"Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu sekalian"

Oleh sebab itu, maka masalah kedua yaitu mu'amalah yang paling benar-benar membutuhkan pada adanya gerakan pemerasan otak untuk mengeluarkan hukum yang tersirat di dalam nash menurut syarat-syarat yang telah ditentukan dalam berijtihad, sebagaimana pole penyelesaian masalah di atas.

Sekalipun demikian, setelah mengetahui dua bagian masalah sebagai tempat untuk melakukan pengkajian dan penelitian secara logis dan sistematis, maka langkah selanjutnya adalah mengemukakan masalah-masalah khusus yang menjadi lapangan mujtahid dalam berijtihad, sebab tidak semua hukum Islam dapat dijadikan obyek mereka.


 Footnoote:
[25] Al-Qorofi, Syihab al-Din Abi al-'Abbas Ahmad bin Idris bin Abdirrahman al-Shunhaji, Al-Furuq, Juz II, (Beirut, Libanon, Dar al-Ihya' al-Kutub, 1344H), Halaman 25.



(Studi Analisis Istinbath Para Fuqaha, Halaman 75-77)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar