by Mbah Pesbuk's
Penetapan Hukum Berdasarkan Dalil
Hukum (sebagai kalam nafsi sebagaimana pandangan para ahli
ushul), tidak mungkin ditangkap oleh siapapun. Karena hal itulah agama hanya
memberikan tanda-tanda atau statement yang dapat dijadikan suatu pegangan oleh
para ahli untuk dijadikan sebagai salah satu alat mengetahui hukum, yaitu
“dalil’, sebagai istilah yang lazim dipakai oleh ahli hukum.
Berdasarkan pemikiran filosofis, para ahli hukum Islam, baik
dari kalangan ushul maupun fiqih bersepakat untukmenyatakan bahwa dalil berfungsi hanya sebagai petunjuk dan tanda
yang dapat memberi tahu tentang ada atau tidaknya hukum. Karena hal itulah,
sesuatu bisa dihukumi wajib, haram, sunnah, makruh atau mubah, selalu
berdasarkan pada ada tidaknya dalil.
Dalil-dalil yang telah disepakati oleh para fuqaha itu ada
empat, yaitu al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas (Wahbah, Ushul..., Op-Cit,
Juz 1, hal.176). Sekalipun demikian, masih ditemukan adanya beberapa dalil yang
bobot kehujjahannya masih diperselisihkan, diantaranya ialah istihsan,
istishhab, mashlahah mursalah, ‘urf, syadd al-dzarai, qaul shahabi dan
sebagainya. Maka dari itu, penetapan hukum tanpa mendasarkan pada dalil yang
mu’tabar dinamakan “tahakkum (membuat-buat hukum)”.
Dari faktor itu muncul suatu konsep dalam berdiskusi
(munadzarah), bahwa setiap orang yang menyatakan halah atau haram, wajib
baginya mendatangkan dalil. Hal ini lazim dikenal dengan istilah “al musybitu
yuthlabu biddaliil”.
Dengan demikian, maka setiap penetapan hukum yang berkaitan
dengan masalah-masalah fihqiyyah, pasti membutuhkan adanya suatu dalil,
sehingga antara keduanya tidak boleh terjadi adanya keterpisahan apalagi
terlepas, dan pengikatnya adalah “ijtihad”. Hal ini berbeda dengan “syari’ah”
yang memang tidak memberlakukan adanya ijtihad antara hukum dan dalil.
Hukum Tidak Terlepas dari ‘Illah dan Hikmah
Mengingat hukum itu tidak boleh terlepas dari dalil, maka
tidak boleh pula hukum itu terlepas dari ‘Illat dan Hikmah, sebab pada dasarnya
tujuan utama pensyari’atan hukum Islam adalah meraih kemaslahatan dan menolak
kerusakan (“Daf’ul mafasdi” dan “Jalbul mashaalihi”), baik di dunia maupun di
akhirat (Ibid, hal.652-653). Tujuan inilah yang lazim disebut dengan istilah
Hikmah, yaitu:
“almashlahatu
almaqshuudu lisysyaari’i min tasyrii’atil hukmi” (kemaslahatan yang memang
dikehendaki dan dijadikan tujuan oleh syar’i dari pada mensyari’atkannya pada
hukum). (al-Subki, Hasyiyah al-Banani ‘ala Syakh Jam’al-Jawami’, Juz II,
hal.236).
Adapun ‘Illat adalah:
“al’illatu washfun fil ashli yutsbitu ‘alaihi hukmuhu
wayu’raqu bihi wujuuduhu fil far’i” (‘illat ialah suatu sifat pada perkara asal
yang dari sifat itu dikeluarkan hukumnya dan dengan perantarnannya diketahui
wujud hukum pada cabangnya). (al-Syaukani, Irsyad..., Op-Cit, hal.204).
Dari definisi inilah muncul ketetapan bahwa setiap hukum
tidak bisa terlepas dari suatu ‘Illat atau sebab-sebab yang menjadi “ta’lil
al-Hukmi”-nya, karena yang dimaksud dengan istilah ini adalah:
“ta’liilul hukmi huwa ta’yiynussababi alladzii syara’a
asysyaari’u hukman binaa an ‘alaihi” (ta’lil al-hukm ialah menentukan suatu
sebab yang dijadikan dasar pijakan bagi syara’ untuk mensyari’atkan suatu
hukum). (al-Subki, al-Banani..., Op-Cit, hal.237 dan Abu Zahrah, Ushul
al-Fiqh).
Oleh sebab itu, untuk
mengetahui lebih dalam tentang seluk beluk Hikmah, diperlukanlah pengetahuan
tentang seluk beluk ‘Illat, sebab pada hakikatnya di dalam ‘Illat itu
terkandung suatu Hikmah (Ibid), sehingga pada akhirnya dapat diketahui bentuk
hikmah di balik pensyari’atan hukum, karena ‘Illat berfungsi sebagai pemberi
tahu tentang ada dan tidaknya suatu hukum, dimana dalam perjalanan selanjutnya,
jika ‘Illat dari suatu hukum telah dapat diketahui dan dimengerti, maka dapat
juga diketahui dan dimengerti status hukum masalah-masalah lain yang memiliki
kesamaan ‘Illat, tetapi status hukumnya belum ditegaskan dan dijelaskan oleh
nash. Disinilah letak hubungan yang sangat erat antara Hukum, ‘Illat dan
Hikmah, dimana ketiganya tidak akan terpisahkan apalagi terlepas.
Contoh:
a. Hukum kebolehan meringkas (Qashar) shalat bagi orang yang sedang dalam perjalanan (safar);
-
‘Illat; “bepergian”. Setiap
safar sejauh ±80km,
memperbolehkan shalat dengan cara Qashar (meringkas) dari empat raka’at menjadi
dua raka’at.
-
Hikmah; “Adanya dugaan kuat
mendapatkan kesulitan (mazhinnatul masyaqqah) dalam bepergian bagi yang
bersangkutan” - sebab sifat yang ada dalam “bepergian” itu dapat dilihat secara
jelas pada ukuran-ukurannya. Sedang “Hikmah” yang terdapat didalam masalah
adanya dugaan kuat akan terjadi kesempitan, tidak dapat diketahui secara pasti
tentang seberapa jauh bobot nilai dari masyaqqat tersebut. (Lihat al-Subkiy,
Syarkh Jam’ul..., Op-Cit, Juz I, hal.650).
Dari masalah ini dapat dimengerti, adanya kesulitan
(masyaqqah) dijadikan sebagai ‘Illat Hukum, maka yang terjadi adalah munculnya
suatu ketentuan hukum bahwa kebolehan Qashar itu berlaku tidak hanya bagi
mereka yang sedang bepergian (musafir), tetapi masuk pula ke dalamnya mereka
yang selalu bekerja keras, yang keadaannya membuat mereka merasa kesulitan
(masyaqqah) untuk mengerjakan shalat, sehingga baginya diperbolehkan meringkas
(qashar). Akan tetapi, mereka yang melakukan perjalanan sangat jauh dengan
menggunakan pesawat tanpa ada kesulitan apapun, tidak diperbolehkan Qashar
(Padalah hukum kebolehan meng-qashar shalat adalah safar sebagai ‘Illatnya;
lantaran dalam safar itu sendiri diduga kuat muncul masyaqqah. Lihat Wahbah,
Ushul..., Op-Cit, Juz I, hal.650).
b. Hukum keharaman meminum minuman keras (al-Qur’an dan
terjemahannya, al-Baqarah:219 lalu al-Maidah:90);
-
‘Illat; “memabukkan”. Yang
sifatnya dapat ditangkap oleh panca indra (al-Subkiy, al-Banani, Syarkh Jam’u...,
Op-Cit, hal.240).
-
Hikmah; “Adanya dugaan kuat
muncul tindakan melanggar hukum yang diluar kesadaran, baik permusuhan maupun
kebencian dan lainnya. (Wahbah, Ushul..., Op-Cit, Juz I, hal.650).
Oleh sebab itu, dengan mengerti dan mengetahui ‘Illat dan
Hikmah dalam hukum keharaman seperti itu, dapat difahami bahwa setiap benda
yang memiliki ‘Illat dan Hikmah yang sama, dapat dengan langsung dikatagorikan
sebagai “khamr” dengan status hukum haram. Sekalipun tidak berupa cairan.
(Dikutip dari; Studi Analisis Istinbath para Fuqaha, Drs. Muhammad Ma’shum Zien, M.A., halaman 29-32)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar