Rabu, 26 Oktober 2011

Diharamkan Mengikuti Rukhshah Ulama Dan Berfatwa Dengan Yang Paling Ringan

Oleh Syeikh Hasan Ali As-Saqqaf Al-Qurasyi Al-Hasyimi

Ketahuilah wahai saudaraku, bahwasanya haram bagi seorang muslim untuk mengambil sebagian dari berbagai ucapan dan mengikuti rukhshah para ulama serta mencari yang paling ringan untuk memenuhi seleranya tanpa didukung oleh dalil syar'i. Ia mentarjih atau menshahihkan suatu masalah semata-mata karena hawa nafsu yang dikemasnya dengan dalih bahwa pada masalah tersebut terdapat selisih pendapat.

Orang yang mengikuti ucapan para ulama dengan pindah dari satu madzhab ke madzhab lain dengan tujuan memenuhi keinginan hawa nafsunya sekalipun ia sembunyikan melalui syari'ah dan mengikuti ulama, sejatinya orang ini telah mengikuti hawa nafsu. Allah telah mengingatkan:

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلا أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلا كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلا
 
"Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)." (al-Furqaan:43-44)

أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لا تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ
 
"Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu angkuh;" (al-Baqarah:87)

كُلَّمَا جَاءَهُمْ رَسُولٌ بِمَا لا تَهْوَى أَنْفُسُهُمْ فَرِيقًا كَذَّبُوا وَفَرِيقًا يَقْتُلُونَ
 
"Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa apa yang tidak diingini oleh hawa nafsu mereka, (maka) sebagian dari rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh." (al-Maa'idah:70)

فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
 
"Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan." (an-Nisaa':135)

وَلا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
 
"dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah." (Shaad:26)

Allah Azza wa Jalla dalam kitab suciNya telah mencela seseorang yang berilmu di lingkungan masyarakatnya, "tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah" (al-A'Raaf:176)

وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
 
"dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." (al-Kahfi:28)

فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ
 
"ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka)." (al-Qashash:50)

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
 
"Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui." (al-Jaatsiyah:18)

وَلا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
 
"Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus." (al-Maa'idah:77)

Dari Sahabat Anas bin Malik RA., bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah menegaskan:

حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِلْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُبِالشَّهَوَاتِ
 
"Surga diliputi oleh hal-hal yang dibenci, sedang neraka dilingkupi oleh hal-hal yang disukai." (HR. Muslim [4:2174])

Orang yang mencari-cari kelonggaran para ulama dan ucapan orang-orang berarti mengikuti hawa nafsu. Para ulama yang telah dipandang keulamaannya telah berijma' atas haramnya melonggarkan fatwa dan keluar dari ucapan yang shahih dan rajih. Maka seorang mujtahid wajib untuk mengikuti dalil, sedang yang taklid wajib mengikuti pendapat yang shahih lagi rajih dalam madzhab imamnya.

Berikut kami kemukakan sejumlah pernyataan ulama berkenaan dengan hal ini:
  1. Dalam kitab Jami' Bayan al-'Ilmi wa Fadhlihi [2:112] setelah mengutip ucapan Sulaiman At-Taimiy, "Jika engkau mengambil kelonggaran setiap ulama, maka akan berkumpul padamu seluruh keburukan", al-Hafizh Ibnu Abdil Barr berkata, "Ini adalah ijma' yang tidak ada khilafiyah di antara ulama tentangnya".
  2. Imam An-Nawawi dalam Syarah Al-Muhadzdzab [1:55] menuturkan, "Jika mengikuti setiap madzhab sesukanya boleh hukumnya, maka akan menjadikan seseorang mengambil setiap kelonggaran atau rukhshah madzhab-madzhab itu di atas dasar hawa nafsu dan akan memilih antara yang dihalalkan dan yang diharamkan, antara yang wajib dan yang dibolehkan. Hal itu mengakibatkan terurainya taklif syar'i". Al-Hafizh Ibnus Shalah juga telah menegaskan hal itu dalam karyanya Al-Mufti wal Mustafti [1:46].
  3. Imam An-Nawawi kembali mengatakan dalam Syarah Al-Muhadzdzab [1:46], "Haram bersikap longgar dalam berfatwa. Dan jika ia dikenal sebagai orang yang seperti itu, maka haram dimintai fatwa".
  4. Al-Allamah Asy-Sathibi dalam Al-Muwafaqaat [4134] berkata, "... Hal itu akan menjadikan seseorang mencari-cari kelonggaran berbagai madzhab tanpa bersandar kepada dalil syar'i. Ibnu Hazm telah meriwayatkan ijma' ulama atas fasiknya hal itu dan tidak boleh". Ucapan Asy-Sathibi "tanpa bersandar kepada dalil syar'i" ini maksudnya adalah dalil yang dianggap. Jika tidak demikian maksudnya, maka orang yang meninggalkan akan berdalil dengan ayat, "Maka sungguhlah celaka orang-orang yang shalat". (QS. Al-Maa'uun:4).
  5. Dalam kitab Siyar A'lam An-Nubala [8:90] Al-Hafizh Adz-Dzahabi mengemukakan sebagai berikut, "Orang yang mencari-cari rukhshah kelonggaran madzhab-madzhab dan kekeliruan mujtahid, agamanya tipis sebagaimana ditegaskan oleh Al-Auza'i dan lainnya, kata mereka, 'Orang yang megambil ucapan orang-orang Makkah tentang mut'ah (harta dari suami untuk istri yang dicerai), mengambil pendapat orang-orang Kufah tentang nabidz (perasan anggur), mengambil pandangan orang-orang Madinah tentang nyanyian, dan mengambil pendapat orang-orang tentang ma'shumnya para khalifah, berarti ia telah mengumpulkan keburukan'. Begitu juga orang yang mengambil pendapat orang yang mencoba menta'wil berkenaan dengan transaksi riba atau mengambil pendapat orang yang longgar dalam masalah thalak dan nikah agar istri bisa halal dinikahi kembali, ia berarti mengarah kepada keterlepasan dari syari'ah. Kami memohon keselamatan dan taufiq kepada Allah".
  6. Al-Hafizh Taqiyuddin As-Subki dalam fatwanya [1:1147] mengungkapkan tentang orang yang mencari-cari kelonggaran berbagai madzhab, "Hal itu dilarang, karena dengannya berarti ia mengikuti hawa nafsu, bukan mengikuti dien".

Peringatan
 
Ada sementara orang dewasa ini yang berargumentasi dengan hadits Aisyah RA. dalam membolehkan mencari yang longgar dan mengambil yang lebih ringan. Aisyah mengatakan dalam hadits tersebut, "Tidaklah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam diberi pilihan di antara dua perkara melainkan mengambil yang lebih ringannya". Dijadikannya hadits ini sebagai dalil atas bolehnya mengambil yang lebih ringan adalah tidak benar.
 
Dalam Fathul Bari [9:575] ketika mengulas hadits ini, Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, "Kata-kata 'di antara dua perkara' maksudnya adalah perkara dunia. Makna ini ditunjukan oleh ucapan beliau selanjutnya, yaitu 'selama bukan dosa', karena tidak ada dosa dalam perkara dien". Renungkanlah penjelasan Ibnu Hajar ini.
 
Hal itu lantaran di hadapan Nabi tidak ada pendapat atau pandangan untuk diambil. Hanya wahyu yang ada pada beliau. Wahyu itu menyuruh beliau melakukan sesuatu atau mencegah beliau dari sesuatu. Sama sekali ia tidak mengatakan kepada Nabi, "Masalah ini ada dua pendapat atau ada tiga madzhab", atau misalnya, "Ia diperselisihkan, maka ambilah yang paling ringannya".
 
Yang pernah terjadi pada diri beliau tidak lain ialah jika beliau bertamu ke rumah seseorang misalnya, maka orang itu berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau mau cuka atau daging?" Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam memilih yang lebih ringan, jawab beliau, "Bawakanlah kepadaku yang lebih ringan menurutmu". Dengan demikian maka jelaslah bahwa orang yang berdalil dengan riwayat Aisyah di atas tidak mengenal cara berdalil dan berargumentasi, atau ia ingin memberi pemahaman kepada orang awam bahwa apa yang disampaikannya itu layak menjadi dalil untuk keinginannya.
 
Masuk ke dalam katagori ini ialah dijadikannya kemurahan syari'at islam oleh sebagian orang dewasa ini sebagai dalil. Kami katakan, "Orang yang berakal tentu tidak mengingkari kemurahan syari'at islam. Yang kami ingkari sebagaimana yang diingkari oleh para ulama ialah dijadikannya hal ini sebagai dalil untuk menghalalkan yang diharamkan atau mencari-cari kelonggaran dan ta'wil tidak benar.
 
Adapun makna syari'at islam adalah murah dan mudah, karena ia telah diringankan oleh Allah bagi orang yang sakit sehingga boleh shalat sambil duduk atau berbaring, juga telah diringankan oleh Allah untuk orang yang tidak menemukan air sehingga ia berwudhu atau mandi dengan tayamum, begitu seterusnya. Seperti itulah maksudnya, bukan mengandung makna boleh berpindah-pindah atau mencari dispensasi, kelonggaran atau pendapat lemah atau bathil.
 
Dalam Siyar A'lam Nubala [13:465], Al-Hafizh Adz-Dzahabi menukil dari Imam Al-Hafizh Isma'il Al-Qadhi bahwa ia telah bercerita bahwa suatu hari ia mendatangi khalifah Al-Mu'tadhid, tuturnya, "Sekali waktu saya mendatanginya. Lalu ia memberi sebuah kitab kepada saya. Setelah saya baca, saya dapati kumpulan rukhshah dan dispensasi serta kelonggaran-kelonggaran akibat kekeliruan sejumlah ulama. 'Pengarang ini zindiq', kata saya. 'Bukankah hadits-haditsnya shahih?', tanyanya. Saya menjawab, 'Benar. Tetapi orang yang membolehkan minuman yang memabukkan, tidak menghalalkan mut'ah dan yang membolehkan mut'ah, ia mengharamkan nyanyian. Tidak seorang ulama pun yang keliru. Barang siapa yang mengambil setiap kekeliruan ulama, maka lenyaplah agamanya'. Lalu ia menyuruh kitab itu untuk dibakar".
 
Penulis juga punya risalah khusus tentang larangan mencari kelonggaran para ulama dan mengambil pendapat sesuai selera. Maka tolong pikirkanlah.
 
Yang patut anda ketahui, tentang hadits ini:

إخْتِلافُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
 
"Perselisihan ummatku adalah rahmat".[1]
 
Juga hadits:

إنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَاءِمُهُ
 
"Sesungguhnya Allah suka kalau rukhshah (keringanan) Nya dijalankan sebagaimana Dia senang jika azimahNya dikerjakan" (HR. Ahmad [2:108], Ibnu Hiban dalam Shahihnya [6:451], Al-Baihaqy [3:140] dan yang lainnya dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud).[2]

Hadits ini tidak menunjukkan atas bolehnya mencari-cari kelonggaran para ulama. Jikapun hadits ini shahih -dan menurutku tidak shahih- maksudnya ialah mengambil rukhshah yang telah diberikan oleh Allah kepada hambaNya seperti tayamum saat tidak ada air, buka puasa bagi musafir dan orang sakit, dan sejenisnya yang hal itu cukup masyhur. Ada perbedaan antara orang yang mengambil atau menjalankan rukhshah-rukhshah seperti ini dengan orang yang pindah-pindah dalam mengambil pendapat dan kelonggaran ulama yang benar dalam sebagian masalah dan salah dalam sebagian yang lain.
 
Setelah jelas bahwa mencari atau mengikuti kelonggaran-kelonggaran ulama dan ta'wil yang tidak benar serta berfatwa dengan yang lebih ringan adalah suatu kefasikan menurut ijma' dan tidak boleh menurut al-Qur'an dan Sunnah, maka pendapat yang membolehkan hal itu hendaknya tidak perlu dipedulikan, dan tidak perlu diambil.
 
Adapun orang yang berijtihad bukan pada tempatnya, seperti seseorang berijtihad pada masalah yang nashnya jelas atau ia menyalahi ijma' kaum muslimin, nash al-Qur'an dan Sunnah, dengan menyangka bahwa dirinya seorang mujtahid yang mendapat dua pahala kalau benar dan satu pahala jika salah, dan tampil sebagai ulama besar layaknya, serta mengaku sebagai mujaddid dan pemilik pandangan yang matang, padahal sebenarnya ia bukan ahlinya, maka pendapat orang seperti ini tidak ada harganya. Ia juga berdosa atas kelancangannya menyesatkan orang. Ucapannya harus diabaikan bahkan memperihatinkan.
 
Footnote
 
[1] Disebutkan oleh Al-Hafizh Sayyid Ahmad bin Shiddieq Al-Ghammari dalam kitabnya Al-Mughir 'alaa Al-Ahaadits Al-Maudhuu'ah fi al-Jamii' As-Shaghiir, halaman 16-17. Ia menyatakan sebagai hadits maudhu'.
 
[2] Yang shahih menurut kami adalah mawquuf. Orang yang membenarkan pendapat yang me-marfu'-kannya adalah salah. Juga riwayat Abdur-Razzaq dalam Al-Mushannaf [11:291] sebagai ucapan Sya'bi rahimahullah.
 

(Shahiih Shifat Shalaat An-Nabiy min At-Takbiir ilaa At-Tasliim Ka'annaka Tanzhur Ilaihaa, Muqaddimah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar