Minggu, 30 Oktober 2011

Pembahasan lebih lanjut tentang makna Hadits menjadikan kuburan sebagai masjid / tempat sujud


Sebelumnya saya sudah membahas persoalan hadits tersebut dan juga
maknanya, namun karena kawan-kawan salafi wahhabi belum juga bisa
memaknai hadits tersbut dengan makna yang shahih dan benar, maka Kali
ini saya akan membahas lebih lanjut makna Hadits tersebut ditinjau
dengan beberapa disiplin ilmu, dengan keterbatasn ilmu al-Faqir.


Hadits Pertama :

Nabi Saw bersabda :

لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد

" Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashoro yang
menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujudnya


" Hadits Kedua :

لاتجلسوا على القبور ولا تصلوا إليها

" Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan janganlah sholat
menghadapnya ".

PENJELASAN HADITS PERTAMA :


Segi Ilmu Nahwu :

لعن : فعل ماض مبني على الفحة

الله : فاعل مرفوع بالضمة

اليهود : مفعول لعن منصوب بالفتحة

و : حرف عطف

النصارى : معطوف باليهود منصوب بالفتحة

اتخذوا : فعل ماض والواو للجماعة ضمير متصل في محل رفع فاعل

والاتخاذ من افعال التحويل تنصب مفعولين.

قبور : مفعول اول وهو مضاف

انبياء : مضاف اليه مجرور بالكسرة

هم : ضمير متصل مبني على السكون

مساجد : مفعول ثان منصوب بالفتحة لانه من الاسماء غير منصرفة

وجملة الفعل والفعل وما بعدها في محل نصب نعت لليهود والنصارى

Keterangan :

• Lafadz ittakhadza termasuk fi'il tahwil yaitu predikat yang
menunjukkan arti merubah dan memiliki dua maf'ul karena ia juga
termasuk akhowat dzonna (saudaranya dzonna) yang menashobkan dua
maf'ulnya.

• Maf'ul pertamanya adalah kalimat QUBURA ANBIYAIHIM ( Kuburan para
nabi mereka).

Dan maf'ul keduanya adalah MASAJID (masjid-masjid).

• Dan jumlah susunan kalimat ITTAKHODZA dan setelahnya menjadi NA'AT
(Sifat) bagi Yahudi dan Nashoro.

Maka arti dari sisi nahwunya " Allah melaknat kepada Yahudi dan
Nashoro yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai
masjid-masjid ".

Segi Ilmu Balaghah dan Bayan :


لعن الله

• : Adalah jumlah du'aiyyah (susunan doa) yang mengandung makna
tholabiyyah (permohonan).


اتخذوا


• : Adalah jumlah musta'nifah 'ala sabilil bayan limuujibil la'an
(Susunan permulaan kalimat untuk menjelaskan sebab pelaknatan)


قبور انبيائهم مساجد


• : Kalimat ini merupakan Majaz tasybih.


- Majaz : Penggunaan suatu kata dengan makna yang lain daripada
maknanya yang lazim. Kebalikan dari majaz ialah haqiqah.


- Tasybih : Uslub yang menunjukkan perserikatan sesuatu dengan
sesuatu yang lain dalam sifatnya.


Secara umum tasybih ini tujuannya untuk menjadikan suatu sifat lebih
mudah diindera.


Maka arti dari sisi ilmu balaghah dan bayan ini adalah :


" Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashoro, sebab mereka
telah menjadikan kuburan para nabi seperti tempat sujud ".


Syarah alfadz atau mufradat :


Sekarang kita akan kupas satu persatu dari kalimat hadits tersebut
dengan melihat dan menyesuaikan hadits-hadits shahih lainnya, merujuk
pada asbab wurudnya dan ilmu sejarahnya, sehingga
kita akan dapatkan makna yang shohih, kuat dan sesuai dengan
hadits-hadits lainnya yang saling berkaitan.


Setelah itu kita akan timbang dengan komentar-komentar atau
pendapat-pendapat para ulama besar yang sangat berkompeten dan
menguasai segala disiplin ilmu baik dhahir maupun bathin.


PEMBAHASAN : Mufradat :


• Lafadz qubur jama' dari mufrad qobrun yang berarti madfanul insane
al-mayyit (tempat pendaman mayat).


• Sedangkan lafadz maqbarah adalah isim makan lilqobri yaitu maudhi'u
dafnil mauta (tempat pendaman orang-orang yang mati atau istilah
lainnya pekuburan / pemakaman).


Yang berarti juga tempat dimana terdapat tiga atau lebih dari orang
yang dipendam.


• Dan lafadz Masajid adalah jama' dari kata Masjid berasal dari kata
sajada yasjudu (bersujud).


Masjid adalah isim makan 'ala wazni maf'ilun.


Maka masjidun artinya makanun lis sujud ( tempat untuk sujud).


Maka dari ini makna hadits yang shahih adalah :

لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد

Adalah : " Semoga Allah melaknat orang-orang yahudi dan Nashoro,
sebab mereka telah menjadikan tempat pendaman para nabi mereka
sebagai tempat untuk sujud ".

Yakni, orang-orang yahudi menjadikan kuburan nabi mereka sebagai
tempat sujud dan ibadah mereka.

Mereka buat patung seorang nabi atau orang sholeh di atas kuburan
nabi atau orang sholeh tersebut.

Kemudian patung itu mereka sembah dan mereka jadikan arah sembahyang mereka.

Inilah makna yang shahih dan sebenarnya, kenapa bias demikian ?
simak penjabarannya berikut ini..

Pertama : Fi'il ittakhodza ( اتخذ ) adalah dari fi'il khumasi
muta'addi dan salah satu fi'il tahwil atau shoirurah yang memiliki
makna merubah dan berhukum menashobkan dua maf'ul (objek)-nya.
Maf'ul yang pertama menjadi dzat maf'ul yang kedua seluruhnya.

Contoh :

اتخذت الحقل مرعى

" Aku jadikan ladang itu sebagai tempat penggembalaan ". Artinya ;

" Aku merubah semua
ladang itu menjadi tempat penggembalaan ".

Kalau untuk sebagian maka kalimatnya sebagai berikut :

اتخذت من الحقل مرعى

" Aku rubah sebagian ladang itu sebagai tempat penggembalaan ".

Kalau untuk di artikan membangun , maka tidak boleh kita katakan :

اتخذت الارض بيتا

" Aku bangun tanah itu sebagai rumah ",


kalimat ini tidak sah dan rusak karena tidak sesuai dengan fungsi
fi'il ittakhodza sebagai fi'iI tahwil bukan bina'.

Maka seharusnya yang lebih tepat kalimatnya adalah sebagai berikut :

بنيت على الارض بيتا

" Aku membangun rumah di atas tanah itu ".

Maka hadits di atas tidak tepat jika diartikan membangun tempat sujud
di kuburan, makna shahihnya adalah merubah kuburan sebagai tempat
sujud.

Karena ini sesuai fungsi dan kaedah fi'il tersebut.

Dan hadits membangun masjid / tempat sujud dikuburan, ada matan dan
riwayatnya tersendiri tidak ada kaitannya dengan hadits di atas.

Nanti saya akan jelaskan.

Kedua :

Dari sisi sejarah dan sebab wurudnya hadits di atas dapat diketahui
makna hadits di atas yang sebenarnya :

فقد قالت السيدة أم سلمة رضى الله تعالى عنها لرسول الله صلى الله عليه
وسلم حين كانت فى بلاد الحبشة تقصد
الهجرة إنها رأت أناسا يضعون صور صلحائهم وأنبيائهم ثم يصلون لها، عند
إذن قال الرسول صلى الله عليه وسلم (لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا
قبور انبيائهم مساجد .

Ummu Salamah Ra bercerita kepada Rasulullah Saw ketika dulu ia berada
di Habasyah saat hendak Hijrah, bahwa dia pernah melihat beberapa
orang yang meletakkan patung-patung orang sholih dan para Nabi
mereka, kemudian mereka sholat kepada patung-patung tersebut.

Maka bersabdalah Rasulullah Saw " Allah melaknat orang Yahudi dan
Nashoro yang telah menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid
".

Dan sejarah ini telah dijelaskan pula oleh Allah Saw dalam al- Quran berikut :

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ
اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ
مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا إِلَهاً وَاحِداً لاَّ
إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

" Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi) dan rahib- rahibnya
(Nashoro) sebagai tuhan selain Allah.

Dan orang-orang Nashoro berkata " dan juga Al-Masih putra maryam ".
Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Mah Esa.

Tidakada Tuhan selain Dia. Maha Dia dari apa yang mereka persekutukan ".

(At-Taubah : 31)

Jelas dari sisi ini, bahwa sebab Rasul Saw melaknat orang yahudi dan
nashoro adalah karena mereka menyembah patung para nabi dan patung
orang sholeh (dalam istilah mereka disebut rahib) di antara mereka.

Bukan membangun masjid di atas kuburan apalagi sholat di dalam masjid
yang ada kuburannya.

Ketiga :

Makna ini sesuai dengan hadits shohih Nabi Saw lainnya berikut
diriwayatkan dari Atho''bin Yasar bahwa Nabi Saw bersabda :

اللهم لا تجعل قبري وثناً يعبد، اشتد غضب الله على قوم، اتخذوا قبور
أنبيائهم مساجد

" Ya Allah, jangan jadikan kuburanku sesembahan yang disembah, Allah
sangat murka pada kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka
sebagai tempat sujud ".

Illat / alasan Allah murka kepada kaum yang menjadikan kuburan para
nabi sebagai tempat sujud adalah karena mereka memang menyembah
kuburan tersebut, sujud pada kuburan tersebut dengan anggota
tubuh dan juga hati mereka.

Oleh karenanya Nabi Saw mengucapkan kata-kata " watsanan yu'bad " (
sesembahan yang disembah).

Bahkan jika dikaitkan hadits ummu Salamah Nampak jelas mereka
menyembah patung nabinya atau patung orang sholeh mereka.

Keempat :

Kalimat masajid dalam hadits di atas maknanya adalah tempat sujud
bukan berupa bangunan masjid.

Karena orang-orang yahudi beribadah bukan di dalam masjid, demikian
juga orang-orang Nashoro beribadah bukan di dalam masjid, melainkan
mereka beribadah di ma'bad dan kanisah (kuil dan gereja).

Maka hadits di atas sangat tidak tepat diarahkan pada bangunan masjid
kaum muslimin.

Maka makna hadits tersebut yang shahih adalah " Semoga Allah
melaknat orang Yahudi dan Nashoro tersebut, sebab menjadikan kuburan
para nabi sebagai tempat sujud ".

Makna tempat sujud ini juga sesuai dengan hadits Nabi Saw sebagai berikut :

" الأرض كلها مسجد إلا المقبرة
والحمام

" Bumi ini seluruhnya adalah layak untuk dijadikan tempat sujud
(tempat untuk sholat), kecuali pekuburan dan tempat pemandian ".

Jika kita artikan masjid dalam hadits ini adalah bangunan masjid,
maka logikanya kita boleh melakukan I'tikaf dan sholat tahiyyatul
masjid di kebun, lapangan atau di tanah pasar.

Sungguh hal ini bertentangan dengan hukum fiqihnya.

Dan juga semakin jelas dan nyata bahwa makna masjid di situ adalah
bukan bangunan masjid melainkan tempat yang layak untuk sujud, dengan
penyebutan mustatsna (yang dikecualikan) setelah menyebutkan mutatsna
minhunya dengan huruf illanya yaitu kalimat al-Maqbarah (pekuburan)
dan al-Hammam (tempat pemandian).

Karena tidak mungkin pekuburan dan kamar mandi disebut juga bangunan masjid.

Maka arti hadits tersebut bermakna :

" Bumi ini seluruhnya layak dijadikan tempat sujud, kecuali tempat
pekuburan dan tempat pemandian ".

Jika kita artikan masjid disitu
dengan bangunan masjid " Bumi ini seleuruhnya adalah masjid kecuali
pekuburan dan tempat pemandian ", maka pengertian seperti ini jelas
salah dan batal, karena sama juga menyamakan pekuburan dan tempat
pemandian itu dengan masjid yang boleh I'tikaf dan sholat tahiyyatul
masjid lalu diisttisnakan dengan illat yang tidak diketahui.

Kelima :

Melihat sejarah pemakaman Nabi Saw .

Rasulullah Saw dimakamkan di tempat meninggalnya, yakni di tempat
yang dahulunya adalah kamar Ummul Mukminin Aisyah ra., isteri Nabi
saw.

Kemudian berturut-turut dimakamkan pula dua shahabat terdekatnya di
tempat yang sama, yakni Abu Bakar Al-Shiddiq dan Umar bin Khatthab.

Di masa Nabi Saw Awalnya, masjid ini berukuran sekitar 50 m × 50
m, dengan tinggi atap sekitar 3,5 m.

Karena umat muslim yang berkunjung semakin pesat dan tempatnya
semakin sempit, maka oleh Utsman bin Affan direnovasi dan diperluas
lagi walaupun yang pertama merovasinya
adalah Umar bin Khoththob.

Kemudian diperluas lagi di zaman modern oleh raja Abdul Aziz sehingga
bangunannya menjadi 6.024 m² di tahun 1372 H.

Selanjutnya diperluas lagi oleh raja Raja Fahd di tahun 1414 H,
sehingga luas bangunan masjidnya hampir mencapai 100 . 000 m²,
ditambah dengan lantai atas yang mencapai luas 67.000 m² dan
pelataran masjid yang dapat digunakan untuk salat seluas 135.000
m². Sehingga mau tidak mau, makam Nabi Saw berada dalam masjd
tersebut.

Bahkan setelah itu turut dimakamkan di dalamnya yaitu Abu Bakar
Ash-Shdiddiq dan Umar bin Khoththob.

Di zaman Utsman bin Affan saat perluasan masjid yang disaksikan lebih
dari 15 sahabat Nabi Saw, tidak ada satu pun dari mereka yang
mengingkarinya atau mengatakannya haram.

Bahkan sholat di masjid Nabawi yang memang terdapat makam Nabi saw di
dalamnya, memiliki keutamaan tersendiri dari masjid lainnya.

Nabi Saw bersabda :

صلاة في مسجدي هذا أفضل
من ألف صلاة فيما سواه إلا المسجد الحرام

" Sholat di masjidku ini lebih utama dari sholat seribu kali
diselainnya kecuali di masjdil haram "

Beliau juga bersabda :

من زار قبري وجبت له شفاعتي


" Barangsiapa yang ziarah ke makamku, maka ia berhak mendapat syafa'atku ".

Bahkan siti Aisyah pun sering sholat di kamar tersebut sebagaimana
telah dikisahkan dalam shahih Bukhari.


Seandainya hal itu suatu kemungkaran dan keharaman karena beralasan
dengan alasan yang tidak nyambung yaitu dengan hadits menjadikan
kubur para nabi sebgai tempat sujud di atas, seperti yang telah
difatwakan oleh guru besar wahhabi salafi yaitu syaikh Muqbil yang
merupakan guru Bin Bazz, Utsaimin dan Fauzan, maka sudah pasti para
sahabat saat itu melarangnya dan mengatakan itu haram.

Umat muslim sejak zaman sahabat hingga sekarang ini terus berziarah
ke masjid Nabawi tersebut, melakukan sholat di
dalamnya dan ziarah kubur Nabi Saw, dan tak ada satu pun ulama di
seluruh penjuru dunia mulai dari kalangan sahabat, tabi'in dan ulama
madzhab yang melarang mereka sholat di dalam masjid tersebut yang
terdapat makam Nabi Saw dan makam dua sahabat Nabi yaitu Abu Bakar
ash-Shiddiq dan Umar bin Khoththob.

Ke enam :

Allah Swt berfirman :

وَكَذَلِكَ أعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أنَّ وَعْدَ اللّهِ
حَقٌّ وَأنَّ السّاعَةَ لاَ رَيبَ فيها إذْ يَتنازَعُونَ بَيْنَهُم
أمْرَهُم فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِم بُنْيَاناً رَبُّهُم أعْلَمُ بِهِم
قَالَ الّذينَ غَلَبُوا عَلَى أمْرِهِم لَنَتَّخِذَنّ عَلَيْهِم
مَسْجداً

" Dan demikianlah Kami perlihatkan (manusia) dengan mereka agar
mereka tahu bahwa janji Allah benar dan bahwa hari kiamat tidak ada
keraguan padanya.

Ketika mereka berselisih tentang urusan mereka, maka mereka berkata "
Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka ".

Orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata " Kami pasti akan
mendirikan masjid di atas kuburan mereka ".
(Al-Kahfi : 21)

Ayat ini jelas menceritakan dua kaum yang sedang berselisih mengenai
makam ashabul kahfi.

Kaum pertama berpendapat agar menjadikan sebuah rumah di atas kuburan mereka.


Sedangkan kaum kedua berpendapat agar menjadikan masjid di atas
kuburan mereka.


Kedua kaum tersebut bermaksud menghormati sejarah dan jejak mereka
menurut manhajnya masing-masing.


Para ulama Ahli Tafsir mengatakan bahwa kaum yang pertama adalah
orang- orang msuyrik dan kaum yang kedua adalah orang-orang muslim
yang mengesakan Allah Swt.


Sebagaimana dikatakan juga oleh imam asy-Syaukani berikut :


يقول الإمام الشوكانى «ذِكر اتخاذ المسجد يُشعر بأنّ هؤلاء الذين
غلبوا على أمرهم هم المسلمون، وقيل: هم أهل السلطان والملوك من القوم
المذكورين، فإنهم الذين يغلبون على أمر من عداهم، والأوّل أولى». انتهى.
ومعنى
كلامه أن الأولى أن من قال ابنوا عليهم مسجدا هم المسلمون.


Imam Syaukani berkata " Penyebutan menjadikan masjid dalam ayat tsb
menunjukkan bahwa mereka yang menguasai urusan adalah orang-orang
muslim.


Ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah para penguasa dan raja
dari kaum muslimin..".


Makna ucapan beliau adalah pendapat yang lebih utama adalah bahwa
yang berkata bangunlah masjid di atas kuburan mereka adalah kaum
muslimin ".


وقال الإمام الرازى فى تفسير ﴿لنتّخذنّ عليه مسجداً﴾ «نعبد الله فيه،
ونستبقى آثار أصحاب الكهف بسبب ذلك المسجد». تفسير الرازى


Imam Ar-Razi di dalam tafisrnya berkata " Kami akan menjadikan
masjid di atasnya " maknanya adalah " Kami akan beribadah kepada
Allah di dalam masjid tersebut dan kami akan memelihara bekas-bekas
para pemuda ashabul kahfi dengan
sebab masjid tersebut ".


Ketujuh :


عن عائشة أنه: قال النبي صلى الله عليه وآله وسلم في مرضه الذي مات فيه:
لعن الله اليهود والنصارى، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد. قالت: ولولا ذلك
لأبرز قبره غير أنه خشي أن يتخذ مسجداً


Dari siti Aisyah bahwasanya Nabi Saw bersabda saat sakit menjelang
wafatnya " Semoga Allah melaknat orang yahudi dan nashoro, sebab
mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid ".


Siti Aisyah berkata " Jika bukan karena itu, maka aku akan tampakkan
makam Nabi namun dikhawatirkan dijadikan tempat sujud ".


Siti Aisyah ingin menampakkan makam Nabi Saw yaitu tanpa dinding dan
pagar, namun beliau khawatir makam Nabi Saw dibuat sujud oleh kaum
muslimin yang awam sehingga masuk kategori hadits larangan menjadikan
kuburan para Nabi sebgai tempat sujud.


Maka ucapan siti
Aisyah tersebut menjelaskan makna hadits :


لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد


Adalah masjid dalam hadits tersebut ialah tempat sujud bukan bangunan masjid.


Dan inilah rahasia doa Nabi Saw :


اللهم لا تجعل قبري وثناً يعبد


" Ya Allah, jangan jadikan makamku sesembahan yang disembah " Nabi
tidak mengatakan :


اللهم لا تجعل قبري مسجدا


" Ya Allah, jangan jadikan makamku sebagai masjid ". Doa Nabi Saw
terkabuli dan terbukti, bahwa makam beliau Saw tidak menjadi
sesembahan kaum muslimin yang berziarah di sana.


Dalam riwayat lainnya Nabi Saw bersabda :


اللهم لا تجعل قبري وثناً يصلى له


" Ya Allah, jangan jadikan makamku sesembahan yang dijadikan untuk sholat ".


Maka dengan penejelasan ilmiyyah ini, berdasarkan kaidah-kaidah
ilmunya menjadi jelas dan terang bahwa yang dimaksud masjid dalam
hadits di awal adalah tempat sujud bukan bangunan masjid.


Maka makna hadits Nabi Saw :


لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد


Adalah : " Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashoro,
sebab mereka telah menjadikan kuburan para nabi seperti tempat sujud
".


Inilah makna yang shahih dan yang sebenarnya berdasarkan ilmu bukan
hawa nafsu atau kedangkalan cara berpikir.


Selanjutnya saya akan memaparkan makna hadits ini dan juga hadits
yang kedua dari segi ilmu Ushul Fiqihnya.


Dan setelahnya saya cantumkan pendapat mayoritas ulama yang memaknai
hadits tersebut seperti penjelasan di atas.


Sehingga kemusykilan menjadi musnah dan kebenaran semakin jelas dan nyata.


(Ibnu Abdillah Al-Katibiy) 30-10-2011

Sabtu, 29 Oktober 2011

SALAH KAPRAH PENISBATAN WAHABIYAH KEPADA ABDUL WAHAAB BIN ABDURAHMAN BIN RUSTUM


By Pendekar Pedang Setiawan

Profil facebook :
http://www.facebook.com/pendekar.pedang.ibnu.sahlan?refid=7


Kaum wahabi pengikut muhammad bin abdul wahab selalu mengelak, jika di sebut wahhabiyah..

Mereka berdalih Penisbatan wahabiyah itu yang tepat kepada Abdul
Wahhaab bin Abdurrahman
bin Rustum (wafat tahun
824 M / 209 H)

MARI KITA KUPAS,

TERNYATA penisbatan pada Abdul wahhaab bin abdurahman bin rustum itu BUKAN WAHHABIYAH ( الوهابيه ) melainkan WAHBIYYAH ( الوهبية )

PERHATIKAN

Pertama :

Tarikh Ibnu Khaldun juz II halaman 98, beliau berkata :

ﻭﻛﺎﻥ ﻳﺰﻳﺪ ﻗﺪ ﺃﺫﻝ ﺍﻟﺨﻮﺍﺭﺝ ﻭﻣﻬﺪ
ﺍﻟﺒﻼﺩ ﻓﻜﺎﻧﺖ ﺳﺎﻛﻨﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﺭﻭﺡ
ﻭﺭﻏﺐ ﻓﻲ ﻣﻮﺍﺩﻋﺔ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻮﻫﺎﺏ ﺑﻦ
ﺭﺳﺘﻢ ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻫﺒﻴﺔ

Coba perhatikan :

ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻫﺒﻴﺔ

dan adalah Abdul Wahhab bin Rustum termasuk "Wahbiyyah"
---
Kedua :

Al Mi'yaar al Mu'rib wa al Jaami' al Mughrib 'an Fataawaa Ifriiqiyyah wa al Andalus wa al Maghrib juz 11 halaman 168

" ﻭﺳﺌﻞ ﺍﻟﻠﺨﻤﻲ ﻋﻦ ﻗﻮﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻫﺒﻴﺔ
ﺳﻜﻨﻮﺍ ﺑﻴﻦ ﺃﻇﻬﺮ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺯﻣﺎﻧﺎ
ﻭﺃﻇﻬﺮﻭﺍ ﺍﻵﻥ ﻣﺬﻫﺒﻬﻢ ﻭﺑﻨﻮﺍ ﻣﺴﺠﺪﺍ
ﻭﻳﺠﺘﻤﻌﻮﻥ ﻓﻴﻪ ﻭﻳﻈﻬﺮﻭﻥ ﻣﺬﻫﺒﻬﻢ ﻓﻲ
ﺑﻠﺪ ﻓﻴﻪ ﻣﺴﺠﺪ ﻣﺒﻨﻲ ﻷﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ
ﺯﻣﺎﻧﺎ .... ﺇﻟﺦ

Al-lakhmi ditanya tentang satu qaum dari Wahbiyyah yang berdiam ditengah - tengah Ahlussunnah......

Coba perhatikan :

ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻫﺒﻴﺔ

dari Wahbiyyah

=========

Adapun Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab (wafat tahun 1792 M / 1206 H) , dalam al Munjid fii al A'laam halaman 454 dikatakan :

ﻣﺼﻠﺢ ﺩﻳﻨﻲ ﻭﺯﻋﻴﻢ ﺍﻟﻮﻫﺎﺑﻴﺔ

pembaharu agama dan pemimpin Wahhabiyyah.

Demikianlah.

Semoga bermanfaat

KESALAHAN TERJEMAH HADIST YANG TELAH TERSEBAR


By : Pendekar Pedang Setiawan

ADA YANG BILANG . . .
---
tidak perlu repot- repot mengadakan kenduri, yasinan dan perbuatan lainnya yang tidak ada tuntunannya dari Rosululloh shollallohu'alaihi wa sallam. Bahkan apabila dikaitkan dengan waktu malam Jum'at, maka ada larangan khusus dari Rosululloh shollalohu'alaihi wa sallam yakni seperti yang termaktub dalam sabdanya, "Dari Abu Hurairah, dari Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam: Janganlah kamu khususkan malam Jum'at untuk melakukan ibadah yang tidak dilakukan pada malam-malam yang lain." (HR. Muslim).
--
Terjemah hadist di atas adalah rujukan yang di gunakan untuk melarang amalan yasinan khusus malam jum'at,,
Bisa di lihat di beberapa situs berikut
--

http://muslim.or.id/manhaj/yasinan-bidah-yang-dianggap-sunnah.html

Juga di sini

http://aqidahislam.wordpress.com/2007/01/07/yasinan-adakah-dalam-islam/

Juga di sini

http://mediasalafi.com/tag/yasinan/

Juga disini

http://abunamira.wordpress.com/2011/06/29/kupas-tuntas-tentang-yasinan-بِ-kupas-tuntas-tentang-yasinan-jawaban-bantahan-terhadap-pendapat-yang-menyesatkan-dari-orang-orang-tasawufsufijahmiyyahpengekor-habib-munzir-dari-majelis-r/

Juga disini

http://myquran.org/forum/index.php?topic=60108.0

--

Setelah di lakukan penyelidikan dengan bukti hipotesa sementara,

TERNYATA ADA PENYELEWENGAN MATAN TERJEMAH REDAKSI HADIST

Ini Penting di tindak lanjuti..

Karena tidak ada terjemah matan hadist seperti di atas,

Yang ada adalah hadis dengan kandungan matan berikut :

لا تخصوا ليلة الجمعة بقيام من بين الليالي و لا تخصوا يوم الجمعة بصيام من بين الايام إلا أن يكون في صوم يصومه أحدكم

Hadist Riwayat muslim (1144)

Artinya : "jangan kamu khususkan pada malam jum'at itu dengan shalat malam yang tidak (di kerjakan) pada malam lainnya, dan jangan kamu khususkan pada hari jum'at itu dengan puasa, yang tidak (di kerjakan) pada hari lain nya, kecuali jika bertepatan puasa yang telah di kerjakannya".

JIKA KITA TELITI..

Sepertinya, hadist itu ada KESAMAAN / KEMIRIPAN, padahal itu sangat BEDA JAUH kandungan matannya..
Entah situs di atas, itu memang sengaja menyelewengkan terjemah hadist, atau memang ada latar belakang lain...

--
TERJEMAH HADIST PADA LINK SITUS DI ATAS Sangat berbahaya, jika di publikasikan, apalagi di situs situs internet yang bersangkutan, tidak menyertakan redaksi arabic dan nomer hadist, apalagi syarah nya,
Jika yang dimaksud terjemah hadist di atas adalah HR. Muslim No. 1144

MAKA MERUPAKAN TERJEMAH ILEGAL, karena terjemahan indonesia itu kontradiksi dengan redaksi arabnya.
--

SALAH SEDIKIT SAJA dalam menterjemahkan hadist, maka hukumnya akan BERUBAH..

SEBAB ALASAN NYA : terjemah hadist pertama di atas yang ilegal, mengandung HUKUM MATAN bahwa semua amal ibadah, itu DI LARANG.

Sehingga natijah / kesimpulan nya semua macam ibadah, itu HARAM jika di khususkan hari jum'at, karena merupakan DALIL A'AM.

Sedangkan

terjemah hadist kedua yang benar,

KANDUNGAN HUKUM MATAN nya itu ternyata, yang dilarang HANYA sholat lail khusus malam jum'at, dan puasa khusus hari jum'at, dimana merupakan DALIL KHOS.
--

Jadi SALAH TERJEMAH sedikit saja, sudah merubah KANDUNGAN MATAN yang seharusnya DALIL KHOS di selewengkan menjadi DALIL A'AM.
--
Ini merupakan MANIPULASI TERJEMAH HADIST DI DEPAN PUBLIK.

--
Jadi perlu di ketahui, TIDAK ADA LARANGAN AMALAN IBADAH KHUSUS HARI / MALAM JUM'AT, KECUALI, SHOLAT LAIL, DAN PUASA.

Sedangkan yasinan, barzanji, diba', maulid, simtudh duhror, khusus malam jum'at ITU DI PERBOLEHKAN..

Memahami ayat alquran dan hadist dengan ilmu alat, wajibkah???


bag 1

By Ibnu Abdillah Al-Katibiy

Sebelum saya memberikan kesimpulan tuntas atas permasalahan furu' yang masih dipersoalkan oleh kawan-kawan salafi wahhabi yaitu tentang hukum sholat di dalam masjid yang ada makamnya, maka sangatah penting saya menjelaskan tentang urgenitasi memahami nash ayat atau hadits dengan tuntunannya yaitu ilmu kaidahnya.

    Di dalam memahami redaksi ayat dari ayat-ayat al-Quran sangat dibutuhkan beberapa fan ilmu yang berkaitan dengannya.

Terutama ilmu Nahwu, shorof, balaghah dan ilmu lughatil arabiyyah.

Karena Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab :

    إِنَّا أَنزَلْنَا هُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُ مْ تَعْقِلُون َ    

" Sesungguhn ya kami menurunkan
nya dengan berupa al-Quran berbahasa arab agar kalian menegrti " (QS; Yusuf : 2)    

Imam Ibnu Katsir mengomentari ayat tersebut sebagai berikut :

    وذلك لأن لغة العرب أفصح اللغات وأبينها وأوسعها ، وأكثرها تأدية للمعاني التي تقوم بالنفوس; فلهذا أنزل أشرف الكتب بأشرف اللغات ،    

" Demikian itu karena bahasa arab adalah paling fasehnya dari seluruh bahasa, paling jelas dan luasnya.  

Dan paling banyak membawa makna-makn a yang sesuai kalimatnya .

Oleh karena itu Allah menurunkan paling mulianya kitab dengan paling mulianya bahasa ".    

Para ulama salaf kita telah memberikan pemahaman isi kandungan Al-Quran yang penuh makna hikmah dan mu'jizat dengan jalan tuntunanny a yaitu tafsirannya, dengan proses melalui berbagai macam fan ilmu yang berkaitan dengannya seperti :

1.Ilmu alat (nahwu, shorof, balaghah dan lughah)

2.Ilmu qiraat

3.Ilmu naskhil utsmani

4.Ilmu tafsir

5.Ilmu nasikh wal mansukh

6.Ilmu ghoribil quran

7.Ilmu i'jazil quran

8.Ilmu i'rabil quran

9.Dan selainnya yang berkaitan


Demi menjaga al-Quran dan telah masuk dalam realisasi firman Allah Swt :


انا نحن نزلنا الذكر وانا له لحافظون


" Sesungguhnya Kami menurunkan al-Quran dan Kamilah yang menjaganya ".


Maka bermuncula n lah kitab-kitab tafsir para ulama untuk memberikan sumbangsih bagi umat muslim di dalam memahami makna ayat-ayat al-Quran yang sesuai maksud Allah dan Rasul- Nya.

Sehingga memahami al-Quran tidak cukup dengan hanya mengandalkan terjemah tanpa mau merujuk tafsiran para ulama salaf yang berkompeten dibidang tafsir, agar kita tidak jauh memahami makna ayatnya dari pemahaman yang sebenarnya .

Sehingga sebuah keharusan mengikuti / taqlid pada pemahaman ulama salaf.

Bagaimana kita bisa memahami al-Quran yang berbahasa arab tanpa memepelaja ri bahasa arab ??

Terjemahan al-Quran yang ada merupakan hasil dari pemahaman bahasa arab pada al-Quran itu sendiri.

Namun tidak cukup memahami terjemahan lafadz per lafadznya saja tanpa menjelaska n maksudnya.

Nah maksud dar ayat al-Quran dibutuhkan penafsiran sedangkan penafsiran butuh pada ilmu yang berkaitan dengannya.

Dan para ulama tafsirlah yang mampu melakukan ini semua, kita hanya tinggal menikmati hasilnya.

Dan kitab-kita b tafisr merupakan hasil dari penafsiran para ulama yang berkompete n di bidangnya.

Untuk kita yang berbangsa ajami (non arab), membutuhka n penerjemah annya ke dalam bahasa masing-mas ing penduduk. Atau mempelajar i ilmu bahasa arab untuk mempelajar i kitab-kita b tafsir tersebut.

Namun masih dibutuhkan seorang guru yang benar-bena r menguasai ilmu bahasa arab agar kita tidak salah paham dalam memaknainya.

Dan seorang guru yang memiliki sanad (mata rantai) keilmuan yang bersambung sampai pada ulama pengarang kitab tafsir tersebut, agar tidak menyimpang dari pemahaman yang dimaksud oleh para ulama tsb.

Sungguh amat keliru dan ceroboh orang yang beranggapan bahwa ilmu alat adalah tidak penting, hanya memperlambat umat muslim untuk memahami al-Quran.

Jawabanya :
Rasul Saw bersabda :


تعلموا العربيية وعلموها الناﺱ

" Pelajarilah bahasa arab dan
ajarkanlah ia pada orang-orang "


Tidak semua kaum muslimin berkecimpung dalam ilmu bahasa arab atau ilmu alat dan ilmu tafsir.

Mereka memiliki
tahapannya masing-masing.

Semisal, anak kecil yang baru baligh, maka kita tidak ajarkan ilmu alat melainkan kita ajarkan ilmu fiqih yang berkaitan pada kewajibannya semisal sholat dan puasa ramadhan di samping ia juga membaca al-Qurannya.


Dan itu pun sama dengan dia mempelajari al-Quran,

sebab ilmu fiqih merupakan ilmu yang dihasilkan dari al-quran dan al-Hadits yang telah di racik oleh para ulama.


Bisa juga melalui pengajian - pengajian, majlis-maj lis ilmu atau majlis mauidzhah, atau lainnya.


Ini merupakan salah satu media untuk memahami ilmu al-Quran dan hadits Nabi Saw.


Karena materi yang disampaikan sipenceramah merupakan suguhan matengnya yang telah diracik dari al-Quran dan hadits.


Ibaratnya pergi ke warung untuk makan, maka dia tidak perlu membuat hidangan makanan sendiri yang butuh bahan-bahan dan meraciknya sendiri.


Namun juga harus hari-hati, karen


Bisa juga melalui pengajian - pengajian, majlis-maj lis ilmu atau majlis mauidzhah, atau lainnya.


Ini merupakan salah satu media untuk memahami ilmu al-Quran dan hadits Nabi Saw.


Karena materi yang disampaikan sipenceramah merupakan suguhan matengnya yang telah diracik dari al-Quran dan hadits.


Ibaratnya pergi ke warung untuk makan, maka dia tidak perlu membuat hidangan makanan sendiri yang butuh bahan-bahan dan meraciknya sendiri.


Namun juga harus hari-hati, karena bisa jadi hidangan di warung terdapat racun atau unsure kesengajaan untuk mencelakakan orang lain.


Setelah lebih dewasa dan memahami tentang ilmu fardhu 'ainnya, maka ia menginjak tahapan selanjutnya, yaitu berusaha memahami ilmu fardhu ainnya dengan dalil-dalilnya.


Kemudian tahap selanjutnya memahami wasilah atau perantara dalam memahami dalil-dalil ilmu tersebut yaitu ilmu alat.


Apalgi yang berhubungan langsung dengan ayat al-Qurannya atau nash haditsnya.


Seandainya umat muslim tanpa tahapan-tahapan ini, maka bisa dibayangkan bagaimana jadinya agama Islam ini.


Karena akan banyak timbul pemahaman- pemahaman yang keliru, salah bahkan mennyimpang dari maksud yang sebenarnya , maka rusaklah Islam dan hal ini telah banyak kasusnya dalam aliran-aliran sempalan Islam.



Ibnu Taimiyyah berkata :



ولو سقط علم النحو لسقط فهم القرآن، وفهم حديث النبي ولو سقط لسقط الإسلام



" Seanadainya ilmu nahwunya jatuh (apalagi tidak mau mempelajarinya), maka akan jatuh juga pemahaman al-Quran dan pemahaman hadits, dan seandainya pemhaman alquran dan hadits jatuh, maka jatuhlah Islam "


Bahkan Ibnu Taimiyyah sendiri pun lebih mengetatkannya dalam hal ini, sampai-sampai ia melarang umat muslim membawakan ayat al-Quran tanpa bahasa arab, misalnya dengan huruf latinnnya.


Berikut pendapatnya :


واما الاتيان بلفظ يبين المعنى كبيان لفظ القرأن فهذا غير ممكن وعلى هذا كان ائمة الدين على انه لا يجوز ان يقرأ بغير العربية لا مع القدرة و لا مع العجز لان ذالك يخرجه عن ان يكون هو القرأن المنزل


" Membawakan Al-Quran dengan lafadz yang menjelaskan makna Al-Quran, ini tidaklah mungkin bisa dilakukan.

Oleh karena itu para imam Agama berpendapat tidak boleh membaca Al-Quran tanpa bahasa arab, walaupun dia mampu atau pun tidak mampu membaca arabnya.

karena yang demikian itu akan mengeluarkan al-Quran dari Al-Quran yang diturunkan sebenarnya "

Umar bin Khoththob Ra berkata :

    تعلموا اللحن والفرائض والسنن كما تعلموا القران    

" Belajarlah ilmu nahwu, faraidh dan sunnah sebagaiman kamu belajar al-Quran ".    

Yahya bin Atiq berkata kepada Hasan

" Wahai Abu Sa'id, seseorang belajar bahasa arab yang dengannya ia memperbagus manthiqnya / cara bicaranya dan bacaan qurannya?

Maka Hasan menjawab :

    حسن يا ابن اخي فتعلمها فان الرجل يقرأ الاية فيعيى بوجهها فيهلك فيها    

" Itu bagus wahai putra saudaraku, maka pelajarila h bahasa arab, karena seseorang membaca ayat lalu ia tidak cakap dalam cara membacanya maka dia celaka di dalamnya ".    

Dari Ibnu Mas'ud beliau berkata :

    من اراد العلم فعليه بالقران فان فيه هلم الاولين والاخرين    

" Brangsiapa yang ingin ilmu,maka hendaknya ia mempelajar i al- Quran

" Imam Baihaqi mengomentari hadits ini sebgai berikut :

يعني اصول العلم     

" Maksudnya adalah mempelajari ushul-ushul ilmi / pokok-pokok ilmu (yaitu kaidah-kaidah ushul tafsir) ".
(Zubdatul itqan; 143)      

Saya akan berikan contoh memahami ayat al-Quran tanpa ilmunya :

    Contoh pertama;

      لَا تَحْسَبَنّ َ الَّذِينَ يَفْرَحُون َ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّو نَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنّ َهُمْ بِمَفَازَة ٍ مِنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ       

" Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira  dengan apa yang telah mereka kerjakan  dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari adzab, mereka akan medapat adzab yang
pedih ".

(Al-Imran : 188)     Jika kita artikan sesuai dhahirnya saja maka kita pahami bahwa kita semua akan kena adzab Allah yang pedih, kenapa, karena kita semua pasti merasa senang dengan apa yg kita perbuat dan selalu ingin dipuji atas karya kita.     

Namun sangat berbeda jika kita pahami ayat tersebut dengan sesuai ilmunya yaitu sebagaimana tafisran Ibnu Abbas Ra dalam shohih Bukhari dan Muslim berikut :

    " Ayat tersebut turun kepada Ahlul kitab ketika Nabi Saw bertanya pada mereka tentang sesuatu, lalu mereka menyembuny ikannya dan member tahukannya dengan selainnya dan mereka berkata bahwa mereka telah memberitah ukan pada nabi dan mereka minta dipuji atas demikian itu ".

(HR. bukhari dan Muslim)


  Contoh kedua :


      لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا    


" Tidak berdos  Contoh kedua :


      لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا    


" Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentang apa yang mereka makan "


(Al-Maidah : 93)    


Dengan ayat ini Utsman bin Madh'un dan Amr bin Ma'ad berkata


" Khomr itu mubah bagi kita "    


Padahal pemahaman yang benar bukanlah demikian jika mengetahui sebab nuzulnya yaitu


" Bahwa orang-orang berkata saat khomr itu diharamkan "


Bagaimana dengan orang-orang yang wafat di jalan Allah dan mereka minum khomr ?"


Maka turunlah ayat tsb.


Artinya Allah memaafkan perbuatan yang dilakukan pada masa dahulu yang belom diturunkan nya pelarangan khomr.    

Contoh ketiga :


    افرايت من اتخذ الهه هواه    


" Sudahkah engkau melihat orang yang menjadikan Tuhannya sebagai hawa nafsunya /
keinginann ya ?


" (Al-Furqan : 43)    


Ayat tersebut jika kita lihat secara dhahirnya, maka akan menimbulkan bahwa tidak boleh menjadikan Tuhan sebagai keinginannya dan ini sungguh bertentangan dengan perintah-perintah ayat lainnya.


Artinya tidaklah mengapa menjadikan Tuhan sebagai keinginannya dan ini hal terpuji.    


Namun maksud ayat tersebut bukanlah demikian,


maka ayat tersebut mengandung Taqdimul kalam wa takhirihi, makna yang sebenarnya adalah :


    افرايت من اتخذ هواه الهه    


" Apakah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya ? "


Inilah maksud yang sebenarnya .


Lafadz ilahahu merupakan taqdim dan lafadz hawahu merupakan takhir.    


Dan tak akan habis jika saya beberkan contohnya, karena setiap contoh akan terikat dengan fan ilmu yang berkaitan dengannya.


Demikian pula dalam memahami hadits-hadits Nabi Saw, sangat dibutuhkan ilmu alat karena ucapan Nabi Saw merupakan syarah
dari ayat-ayat al-Quran yang memiliki kesempurnaan bahasa.    


(Ibnu Abdillah Al-Katibiy ) 29-10-2011

Rabu, 26 Oktober 2011

Diharamkan Mengikuti Rukhshah Ulama Dan Berfatwa Dengan Yang Paling Ringan

Oleh Syeikh Hasan Ali As-Saqqaf Al-Qurasyi Al-Hasyimi

Ketahuilah wahai saudaraku, bahwasanya haram bagi seorang muslim untuk mengambil sebagian dari berbagai ucapan dan mengikuti rukhshah para ulama serta mencari yang paling ringan untuk memenuhi seleranya tanpa didukung oleh dalil syar'i. Ia mentarjih atau menshahihkan suatu masalah semata-mata karena hawa nafsu yang dikemasnya dengan dalih bahwa pada masalah tersebut terdapat selisih pendapat.

Orang yang mengikuti ucapan para ulama dengan pindah dari satu madzhab ke madzhab lain dengan tujuan memenuhi keinginan hawa nafsunya sekalipun ia sembunyikan melalui syari'ah dan mengikuti ulama, sejatinya orang ini telah mengikuti hawa nafsu. Allah telah mengingatkan:

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلا أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلا كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلا
 
"Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)." (al-Furqaan:43-44)

أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لا تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ
 
"Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu angkuh;" (al-Baqarah:87)

كُلَّمَا جَاءَهُمْ رَسُولٌ بِمَا لا تَهْوَى أَنْفُسُهُمْ فَرِيقًا كَذَّبُوا وَفَرِيقًا يَقْتُلُونَ
 
"Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa apa yang tidak diingini oleh hawa nafsu mereka, (maka) sebagian dari rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh." (al-Maa'idah:70)

فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
 
"Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan." (an-Nisaa':135)

وَلا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
 
"dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah." (Shaad:26)

Allah Azza wa Jalla dalam kitab suciNya telah mencela seseorang yang berilmu di lingkungan masyarakatnya, "tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah" (al-A'Raaf:176)

وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
 
"dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." (al-Kahfi:28)

فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ
 
"ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka)." (al-Qashash:50)

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
 
"Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui." (al-Jaatsiyah:18)

وَلا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
 
"Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus." (al-Maa'idah:77)

Dari Sahabat Anas bin Malik RA., bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah menegaskan:

حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِلْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُبِالشَّهَوَاتِ
 
"Surga diliputi oleh hal-hal yang dibenci, sedang neraka dilingkupi oleh hal-hal yang disukai." (HR. Muslim [4:2174])

Orang yang mencari-cari kelonggaran para ulama dan ucapan orang-orang berarti mengikuti hawa nafsu. Para ulama yang telah dipandang keulamaannya telah berijma' atas haramnya melonggarkan fatwa dan keluar dari ucapan yang shahih dan rajih. Maka seorang mujtahid wajib untuk mengikuti dalil, sedang yang taklid wajib mengikuti pendapat yang shahih lagi rajih dalam madzhab imamnya.

Berikut kami kemukakan sejumlah pernyataan ulama berkenaan dengan hal ini:
  1. Dalam kitab Jami' Bayan al-'Ilmi wa Fadhlihi [2:112] setelah mengutip ucapan Sulaiman At-Taimiy, "Jika engkau mengambil kelonggaran setiap ulama, maka akan berkumpul padamu seluruh keburukan", al-Hafizh Ibnu Abdil Barr berkata, "Ini adalah ijma' yang tidak ada khilafiyah di antara ulama tentangnya".
  2. Imam An-Nawawi dalam Syarah Al-Muhadzdzab [1:55] menuturkan, "Jika mengikuti setiap madzhab sesukanya boleh hukumnya, maka akan menjadikan seseorang mengambil setiap kelonggaran atau rukhshah madzhab-madzhab itu di atas dasar hawa nafsu dan akan memilih antara yang dihalalkan dan yang diharamkan, antara yang wajib dan yang dibolehkan. Hal itu mengakibatkan terurainya taklif syar'i". Al-Hafizh Ibnus Shalah juga telah menegaskan hal itu dalam karyanya Al-Mufti wal Mustafti [1:46].
  3. Imam An-Nawawi kembali mengatakan dalam Syarah Al-Muhadzdzab [1:46], "Haram bersikap longgar dalam berfatwa. Dan jika ia dikenal sebagai orang yang seperti itu, maka haram dimintai fatwa".
  4. Al-Allamah Asy-Sathibi dalam Al-Muwafaqaat [4134] berkata, "... Hal itu akan menjadikan seseorang mencari-cari kelonggaran berbagai madzhab tanpa bersandar kepada dalil syar'i. Ibnu Hazm telah meriwayatkan ijma' ulama atas fasiknya hal itu dan tidak boleh". Ucapan Asy-Sathibi "tanpa bersandar kepada dalil syar'i" ini maksudnya adalah dalil yang dianggap. Jika tidak demikian maksudnya, maka orang yang meninggalkan akan berdalil dengan ayat, "Maka sungguhlah celaka orang-orang yang shalat". (QS. Al-Maa'uun:4).
  5. Dalam kitab Siyar A'lam An-Nubala [8:90] Al-Hafizh Adz-Dzahabi mengemukakan sebagai berikut, "Orang yang mencari-cari rukhshah kelonggaran madzhab-madzhab dan kekeliruan mujtahid, agamanya tipis sebagaimana ditegaskan oleh Al-Auza'i dan lainnya, kata mereka, 'Orang yang megambil ucapan orang-orang Makkah tentang mut'ah (harta dari suami untuk istri yang dicerai), mengambil pendapat orang-orang Kufah tentang nabidz (perasan anggur), mengambil pandangan orang-orang Madinah tentang nyanyian, dan mengambil pendapat orang-orang tentang ma'shumnya para khalifah, berarti ia telah mengumpulkan keburukan'. Begitu juga orang yang mengambil pendapat orang yang mencoba menta'wil berkenaan dengan transaksi riba atau mengambil pendapat orang yang longgar dalam masalah thalak dan nikah agar istri bisa halal dinikahi kembali, ia berarti mengarah kepada keterlepasan dari syari'ah. Kami memohon keselamatan dan taufiq kepada Allah".
  6. Al-Hafizh Taqiyuddin As-Subki dalam fatwanya [1:1147] mengungkapkan tentang orang yang mencari-cari kelonggaran berbagai madzhab, "Hal itu dilarang, karena dengannya berarti ia mengikuti hawa nafsu, bukan mengikuti dien".

Peringatan
 
Ada sementara orang dewasa ini yang berargumentasi dengan hadits Aisyah RA. dalam membolehkan mencari yang longgar dan mengambil yang lebih ringan. Aisyah mengatakan dalam hadits tersebut, "Tidaklah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam diberi pilihan di antara dua perkara melainkan mengambil yang lebih ringannya". Dijadikannya hadits ini sebagai dalil atas bolehnya mengambil yang lebih ringan adalah tidak benar.
 
Dalam Fathul Bari [9:575] ketika mengulas hadits ini, Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, "Kata-kata 'di antara dua perkara' maksudnya adalah perkara dunia. Makna ini ditunjukan oleh ucapan beliau selanjutnya, yaitu 'selama bukan dosa', karena tidak ada dosa dalam perkara dien". Renungkanlah penjelasan Ibnu Hajar ini.
 
Hal itu lantaran di hadapan Nabi tidak ada pendapat atau pandangan untuk diambil. Hanya wahyu yang ada pada beliau. Wahyu itu menyuruh beliau melakukan sesuatu atau mencegah beliau dari sesuatu. Sama sekali ia tidak mengatakan kepada Nabi, "Masalah ini ada dua pendapat atau ada tiga madzhab", atau misalnya, "Ia diperselisihkan, maka ambilah yang paling ringannya".
 
Yang pernah terjadi pada diri beliau tidak lain ialah jika beliau bertamu ke rumah seseorang misalnya, maka orang itu berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau mau cuka atau daging?" Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam memilih yang lebih ringan, jawab beliau, "Bawakanlah kepadaku yang lebih ringan menurutmu". Dengan demikian maka jelaslah bahwa orang yang berdalil dengan riwayat Aisyah di atas tidak mengenal cara berdalil dan berargumentasi, atau ia ingin memberi pemahaman kepada orang awam bahwa apa yang disampaikannya itu layak menjadi dalil untuk keinginannya.
 
Masuk ke dalam katagori ini ialah dijadikannya kemurahan syari'at islam oleh sebagian orang dewasa ini sebagai dalil. Kami katakan, "Orang yang berakal tentu tidak mengingkari kemurahan syari'at islam. Yang kami ingkari sebagaimana yang diingkari oleh para ulama ialah dijadikannya hal ini sebagai dalil untuk menghalalkan yang diharamkan atau mencari-cari kelonggaran dan ta'wil tidak benar.
 
Adapun makna syari'at islam adalah murah dan mudah, karena ia telah diringankan oleh Allah bagi orang yang sakit sehingga boleh shalat sambil duduk atau berbaring, juga telah diringankan oleh Allah untuk orang yang tidak menemukan air sehingga ia berwudhu atau mandi dengan tayamum, begitu seterusnya. Seperti itulah maksudnya, bukan mengandung makna boleh berpindah-pindah atau mencari dispensasi, kelonggaran atau pendapat lemah atau bathil.
 
Dalam Siyar A'lam Nubala [13:465], Al-Hafizh Adz-Dzahabi menukil dari Imam Al-Hafizh Isma'il Al-Qadhi bahwa ia telah bercerita bahwa suatu hari ia mendatangi khalifah Al-Mu'tadhid, tuturnya, "Sekali waktu saya mendatanginya. Lalu ia memberi sebuah kitab kepada saya. Setelah saya baca, saya dapati kumpulan rukhshah dan dispensasi serta kelonggaran-kelonggaran akibat kekeliruan sejumlah ulama. 'Pengarang ini zindiq', kata saya. 'Bukankah hadits-haditsnya shahih?', tanyanya. Saya menjawab, 'Benar. Tetapi orang yang membolehkan minuman yang memabukkan, tidak menghalalkan mut'ah dan yang membolehkan mut'ah, ia mengharamkan nyanyian. Tidak seorang ulama pun yang keliru. Barang siapa yang mengambil setiap kekeliruan ulama, maka lenyaplah agamanya'. Lalu ia menyuruh kitab itu untuk dibakar".
 
Penulis juga punya risalah khusus tentang larangan mencari kelonggaran para ulama dan mengambil pendapat sesuai selera. Maka tolong pikirkanlah.
 
Yang patut anda ketahui, tentang hadits ini:

إخْتِلافُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
 
"Perselisihan ummatku adalah rahmat".[1]
 
Juga hadits:

إنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَاءِمُهُ
 
"Sesungguhnya Allah suka kalau rukhshah (keringanan) Nya dijalankan sebagaimana Dia senang jika azimahNya dikerjakan" (HR. Ahmad [2:108], Ibnu Hiban dalam Shahihnya [6:451], Al-Baihaqy [3:140] dan yang lainnya dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud).[2]

Hadits ini tidak menunjukkan atas bolehnya mencari-cari kelonggaran para ulama. Jikapun hadits ini shahih -dan menurutku tidak shahih- maksudnya ialah mengambil rukhshah yang telah diberikan oleh Allah kepada hambaNya seperti tayamum saat tidak ada air, buka puasa bagi musafir dan orang sakit, dan sejenisnya yang hal itu cukup masyhur. Ada perbedaan antara orang yang mengambil atau menjalankan rukhshah-rukhshah seperti ini dengan orang yang pindah-pindah dalam mengambil pendapat dan kelonggaran ulama yang benar dalam sebagian masalah dan salah dalam sebagian yang lain.
 
Setelah jelas bahwa mencari atau mengikuti kelonggaran-kelonggaran ulama dan ta'wil yang tidak benar serta berfatwa dengan yang lebih ringan adalah suatu kefasikan menurut ijma' dan tidak boleh menurut al-Qur'an dan Sunnah, maka pendapat yang membolehkan hal itu hendaknya tidak perlu dipedulikan, dan tidak perlu diambil.
 
Adapun orang yang berijtihad bukan pada tempatnya, seperti seseorang berijtihad pada masalah yang nashnya jelas atau ia menyalahi ijma' kaum muslimin, nash al-Qur'an dan Sunnah, dengan menyangka bahwa dirinya seorang mujtahid yang mendapat dua pahala kalau benar dan satu pahala jika salah, dan tampil sebagai ulama besar layaknya, serta mengaku sebagai mujaddid dan pemilik pandangan yang matang, padahal sebenarnya ia bukan ahlinya, maka pendapat orang seperti ini tidak ada harganya. Ia juga berdosa atas kelancangannya menyesatkan orang. Ucapannya harus diabaikan bahkan memperihatinkan.
 
Footnote
 
[1] Disebutkan oleh Al-Hafizh Sayyid Ahmad bin Shiddieq Al-Ghammari dalam kitabnya Al-Mughir 'alaa Al-Ahaadits Al-Maudhuu'ah fi al-Jamii' As-Shaghiir, halaman 16-17. Ia menyatakan sebagai hadits maudhu'.
 
[2] Yang shahih menurut kami adalah mawquuf. Orang yang membenarkan pendapat yang me-marfu'-kannya adalah salah. Juga riwayat Abdur-Razzaq dalam Al-Mushannaf [11:291] sebagai ucapan Sya'bi rahimahullah.
 

(Shahiih Shifat Shalaat An-Nabiy min At-Takbiir ilaa At-Tasliim Ka'annaka Tanzhur Ilaihaa, Muqaddimah)

DI BALIK PEMUJAAN WAHABI

By Ibnu Mas'ud DIBALIK PEMUJAAN WAHABI Islam sama sekali tak bisa dilepaskan dari sosok Baginda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah insan yang menerima wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memberikan pencerahan kepada umat manusia dengan agama yang sempurna ini. Tiada sosok yang patut diagungkan di muka bumi melebihi Baginda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Segenap keindahan fisik dan budi pekerti terdapat dalam figur Baginda Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Mencintai Baginda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah bagian dari mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau bersaba: مَنْ أَحَبَّنِي فَقَدْ أَحَبَّ اللهَ وَمَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطاَعَ اللهَ “Barangsiapa mencintaiku, maka ia benar-benar telah mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa menaatiku, maka ia benar-benar telah taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Cinta haruslah disertai dengan penghormatan dan pengagungan. Oleh sebab itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan manusia agar mengagungkan sosok Baginda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا (8) بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ “Sesungguhnya kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya dan mengagungkan Rasul-Nya.” Cinta para sahabat kepada Baginda Rasul Shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah cinta yang patut diteladani. Dalam hadits-hadits disebutkan bagaimana para sahabat saling berebut bekas air wudhu Baginda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Meski hanya tetesan air, namun air itu telah menyentuh jasad makhluk yang paling dekat dengan Sang Pencipta. Karena itulah mereka begitu memuliakannya dan mengharap berkah yang terpendam di dalamnya. Ketika Baginda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam mencukur rambut, para sahabat senantiasa mengerumuni beliau. Mereka ingin mendapatkan potongan rambut beliau meski sehelai. Dengan rambut itu mereka hendak mengenang dan mengharap berkah Nabi Shollallohu ‘ alaihi wa sallam. Demikianlah rasa cinta para sahabat kepada Baginda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam. PRIMITIF Apa yang berlaku saat ini di Bumi Haramain adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan kaidah cinta. Di sana orang- orang Wahabi mengaku mencintai Baginda Nabi Shollallohu ‘ alaihi wa sallam, akan tetapi mereka sama sekali tidak menghormati beliau Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Mereka bahkan melecehkan beliau dan melakukan perbuatan yang teramat tidak pantas kepada sosok sebesar beliau. Bayangkan saja, rumah yang ditempati beliau selama 28 tahun, yang semestinya dimuliakan, mereka ratakan dengan tanah kemudian mereka bangun di atasnya toilet umum. Sungguh keterlaluan! Fakta ini belakangan terkuak lewat video wawancara yang tersebar di Youtube. Adalah Dr. Sami bin Muhsin Angawi, seorang ahli purbakala, yang mengungkapkan fakta itu. Dalam video berdurasi 8:23 menit itu, ia mengungkapkan bahwa ia telah melakukan penelitian selama bertahun-tahun untuk mencari situs rumah Baginda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Setelah berhasil, ia menyerahkan hasil penelitiannya kepada pihak yang berwenang. Respon pihak berwenang Arab Saudi ternyata jauh dari perkiraan pakar yang mengantongi gelar Doktor arsitektur di London itu. Bukannya dijaga untuk dijadikan aset purbakala, situs temuannya malah mereka hancurkan. Ketika ditanya oleh pewawancara mengenai bangunan apa yang didirikan di atas lahan bersejarah itu, Sami Angawi terdiam dan tak mampu berkata-kata. Si pewawancara terus mendesaknya hingga akhirnya ia mengakui bahwa bangunan yang didirikan kelompok Wahabi di atas bekas rumah Baginda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah WC umum. Sami Angawi merasakan penyesalan yang sangat mendalam lantaran penelitiannya selama bertahun-tahun berakhir sia-sia. Ia kemudian mengungkapkan harapannya, “Kita berharap toilet itu segera dirobohkan dan dibangun kembali gedung yang layak. Seandainya ada tempat yang lebih utama berkahnya, tentu Allah Subhanahu wa Ta’ala takkan menjadikan rumah itu sebagai tempat tinggal Rasul Shollallohu ‘alaihi wa sallam dan tempat turunnya wahyu selama 13 tahun.” Ulah jahil Wahabi itu tentu saja mengusik perasaan seluruh kaum muslimin. Situs rumah Baginda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah cagar budaya milik umat Islam di seluruh penjuru dunia. Mereka sama sekali tidak berhak untuk mengusik tempat terhormat itu. Ulah mereka ini kian mengukuhkan diri mereka sebagai kelompok primitif yang tak pandai menghargai nilai-nilai kebudayaan. Sebelum itu mereka telah merobohkan masjid-masjid bersejarah, di antaranya Masjid Hudaybiyah, tempat Syajarah ar-Ridhwan, Masjid Salman Alfarisi dan masjid di samping makam pamanda Nabi, Hamzah bin Abdal Muttalib. Pada tanggal 13 Agustus 2002 mereka meluluhkan masjid cucu Nabi, Imam Ali Uraidhi menggunakan dinamit dan membongkar makam beliau. Selama ini kelompok Wahabi berdalih bahwa penghancuran tempat-tempat bersejarah itu ditempuh demi menjaga kemurnian Islam. Mereka sekadar mengantisipasi agar tempat- tempat itu tidak dijadikan sebagai ajang pengkultusan dan perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada kemusyrikan. Akan tetapi dalih mereka agaknya kurang masuk akal, sebab nyatanya mereka berupaya mengabadikan sosok Syekh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin, salah seorang tokoh pentolan mereka. Mereka mendirikan sebuah bangunan yang besar dan mentereng untuk menyimpan peninggalan- peninggalan Syekh al-Utsaimin. Bandingkan perlakuan ini dengan perlakuan mereka kepada Baginda Nabi Shollallohu ‘ alaihi wa sallam. Mereka merobohkan rumah Baginda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam dan menjadikan tempat yang berkah itu sebagai WC umum, kemudian membangun gedung megah untuk Al-Utsaimin. Siapakah sebetulnya yang lebih mulia bagi mereka? Baginda Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam ataukah Syekh al-Utsaimin? Bangunan berdesain mirip buku itu dibubuhi tulisan “Yayasan Syeikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin.” Di dalamnya terdapat benda-benda peninggalan Syekh al-Utsaimin, seperti kaca mata, arloji dan pena. Benda-benda itu diletakkan pada etalase kaca dan masing-masing diberi keterangan semisal, “ Pena terakhir yang dipakai Syekh al-Utsaimin.” Sungguh ironis, mengingat mereka begitu getol memberangus semua peninggalan Baginda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Ulama mereka bahkan mengharamkan pelestarian segala bentuk peninggalan Baginda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Beruntung, sebagian benda peninggalan beliau telah dipindahkan ke Turki. Wallohu a’lam bish-ShowabSumber : Majalah Cahaya Nabawiy edisi 96 Juli 2011 /Sya’ban 1432 H ..
Ibnu mas'ud

Jumat, 21 Oktober 2011

MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB MENGKAFIRKAN ULAMA ISLAM DAN MENGKAFIRKAN DIRINYA SENDIRI.

By Ibnu Mas'ud MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB MENGKAFIRKAN ULAMA
ISLAM DAN MENGKAFIRKAN DIRINYA SENDIRI.

SUMBER & RUJUKAN KITAB KARANGAN MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB SENDIRI.


ﺍﻟﺮﺳﺎﺋﻞ ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ) ﻣﻄﺒﻮﻉ ﺿﻤﻦ ‎ ‎ﻣﺆﻟﻔﺎﺕ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪﺍﻟﻮﻫﺎﺏ،‎ ‎ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻟﺴﺎﺩﺱ(
ﺹ-6- -186-ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﺍﻟﺜﺎﻣﻨﺔ‎ ‎ﻭﺍﻟﻌﺸﺮﻭﻥ:ﻭﻣﻨﻬﺎ ﺭﺳﺎﻟﺔ ﺃﺭﺳﻠﻬﺎ ﺇﻟﻰ‎ ‎ﺃﻫﻞ
ﺍﻟﺮﻳﺎﺽ ﻭﻣﻨﻔﻮﺣﺔ، ﻭﻫﻮ ﺇﺫ ﺫﺍﻙ‎ ‎ﻣﻘﻴﻢ ﻓﻲ ﺑﻠﺪ ﺍﻟﻌﻴﻴﻨﺔ، ﻭﻛﺘﺐ ﺇﻟﻰ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ
ﺑﻦ ﻋﻴﺴﻰ ﻗﺎﺿﻲ ﺍﻟﺪﺭﻋﻴﺔ ﻳﺴﺠﻞ ﺗﺤﺘﻬﺎ ﺑﻤﺎ ﺭﺁﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﻼﻡ، ﻟﻴﻜﻮﻥ ﺫﻟﻚ ﺳﺒﺒﺎً
ﻟﻘﻮﻟﻬﺎ، ﻭﻫﺬﺍ ﻧﺺ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ:
ﺑﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ
ﻣﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻮﻫﺎﺏ، ﺇﻟﻰ ﻣﻦ ﻳﺼﻞ ﺇﻟﻴﻪ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ.
ﺳﻼﻡ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻭﺭﺣﻤﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺑﺮﻛﺎﺗﻪ....................ﻭﺃﻧﺎ ﺃﺧﺒﺮﻛﻢ ﻋﻦ ﻧﻔﺴﻲ،
ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﻫﻮ، ﺹ-187-ﻟﻘﺪ ﻃﻠﺒﺖ ﺍﻟﻌﻠﻢ، ﻭﺍﻋﺘﻘﺪ َﻣﻦ ﻋﺮﻓﻨﻲ ﺃﻥ ﻟﻲ
ﻣﻌﺮﻓﺔ، ﻭﺃﻧﺎ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻮﻗﺖ ﻻ ﺃﻋﺮﻑ ﻣﻌﻨﻰ "ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ،"
ﻭﻻ ﺃﻋﺮﻑ ﺩﻳﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻗﺒﻞ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﺍﻟﺬﻱ ﻣَﻦَّ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻪ، ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻣﺸﺎﻳﺨﻲ، ﻣﺎ
ﻣﻨﻬﻢ ﺭﺟﻞ ﻋﺮﻑ ﺫﻟﻚ. ﻓﻤﻦ ﺯﻋﻢ ﻣﻦ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﻌﺎﺭﺽ ﺃﻧﻪ ﻋﺮﻑ ﻣﻌﻨﻰ"ﻻ ﺍﻟﻪ ﺇﻻ
ﺍﻟﻠﻪ،"ﺃﻭ ﻋﺮﻑ ﻣﻌﻨﻰ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻗﺒﻞ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻮﻗﺖ، ﺃﻭ ﺯﻋﻢ ﻋﻦ ﻣﺸﺎﻳﺨﻪ ﺃﻥ ﺃﺣﺪﺍً ﻋﺮﻑ
ﺫﻟﻚ] ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺨﻄﻮﻃﺔ
ﻭﺍﻟﻤﺼﻮﺭﺓ:) ﺃﻭ ﺯﻋﻢ ﺃﻥ ﺃﺣﺪﺍً ﻣﻦ‎ ‎ﻣﺸﺎﻳﺨﻪ ﻋﺮﻑ ﺫﻟﻚ،[ (ﻓﻘﺪ ﻛﺬﺏ
ﻭﺍﻓﺘﺮﻯ..................

NAMA KITAB: MUALLAFAAT SYEIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB.

CETAKAN: JAMI'AH UMMUL QURA MAKKAH AL-MUKARRAMAH.
BAHAGIAN KE-ENAM: AR RISALAH KE 28, HALAMAN: 186-187. PENGGALAN
TEKS RESMI SURAT MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB UNTUK MASYARAKAT
RIYADH YANG DITULIS UNTUK PENGUASANYA BERNAMA ABDULLOH BIN ISA
YANG BERBUNYI:
"BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DARI MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB KEPADA
ORANG ISLAM YANG SAMPAI KEPADANYA KITAB AKU INI SALAMUN
'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH........................ AKU
MEMBERITAHU KEPADA KAMU SEMUA MENGENAI DIRIKU DAN DEMI ALLAH
YANG TIADA TUHAN MELAINKAN DIA, BAHWA SESUNGGUHNYA AKU TELAH
MENUNTUT ILMU DAN AKU PERCAYA BAHWA ADA YANG MENGANGGAP AKU
MEMPUNYAI ILMU MA'RIFAH, TETAPI KETAHUILAH SESUNGGUHNYA AKU
SEBENARNYA PADA WAKTU ITU TIDAK MENGETAHUI MAKNA "LAA ILAAHA
ILLALLAAH (TIADA TUHAN - YG WAJIB DISEMBAH - MELAINKAN ALLAH),
DAN AKU TIDAK MENGETAHUI MENGENAI AGAMA ISLAM SEBELUM KEBAIKAN
INI YG DIAMANATKAN ALLOH, BEGITU JUGA GURU - GURUKU TIDAK ADA
SEORANG PUN DIKALANGAN MEREKA MENGETAHUI MAKNA "LAA ILAAHA
ILLALLAAH" (TIADA TUHAN - YG WAJIB DISEMBAH - MELAINKAN ALLAH).
BARANGSIAPA YANG MENYANGKA BAHWA SEBELUMNYA ULAMA MENGETAHUI
MAKNA "LAA ILAAHA ILLALLAAH" (TIADA TUHAN - YG WAJIB DISEMBAH -
MELAINKAN ALLAH) ATAU [MENYANGKA BAHWA SEBELUMNYA ULAMA - PEN]
MENGETAHUI MAKNA ISLAM SEBELUM WAKTU INI, ATAU PUN MENYANGKA
BAHWA SESUNGGUHNYA ADA SEORANG DARI MASYAYIKH [PARA GURU]
MENGETAHUI HAL ITU, MAKA SESUNGGUHNYA ORANG ITU TELAH MENIPU
DAN BERDUSTA......................".

Ikhwan wa akhwat fillah, silahkan cermati apa yg disampaikan
oleh PENCETUS PAHAM WAHABI ini yang bernama Muhammad bin
Abdul Wahhab, bagaimana dia mengkafirkan dirinya sendiri
sebelum dia mendakwa diberi ma'rifah oleh Allah dan dia juga
mengkafirkan gurunya sendiri (diantara gurunya adalah ayahnya
sendiri - pen) dan mengkafirkan ulama - ulama islam sebelum
ajarannya timbul.

Meskipun demikian, buat ikhwan wa akhwat fillah semua, kita
tetap mendo'akan untuk wahabi salafi, semoga Allah memberi
hidayah kepada mereka semua. Aamiin

Episode Pembohongan public Abu Ubaidah dan terjebaknya dia dalam bid’ah dholalah (Seputar haul) Oleh Ibnu Abdillah Al-Katibiy

Sebenarnya pembahasan seputar khol, tahlilan atau selametan bagi saya
sudah basi, ibarat nasi sudah sampai setahun. Tapi karena beberapa
permintaan ikhwan agar saya menanggapi episode kebongongan public yang
dilakukan oleh Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi berkenaan persoalan
perayaan khol dan selametan, maka saya sedikit akan memberikan
penjelasan pada dalil-dalil yang dibuat sebagai bantahan Abu Ubaidah
untuk menyalahkan perayaan khol atau selametan.
Abu Ubaidah mengutarakan beberapa dalil untuk menyalahkan khoul,
mauled atau selamatan yang berputar pada persoalan perkara baru.
Pertama ; Ia menampilkan surat al-Maidah ayat ke 5 yang berbunyi :

ﭐﻟْﻴَﻮْﻡَ ﺃَﻛْﻤَﻠْﺖُ ﻟَﻜُﻢْ ﺩِﻳﻨَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﺗْﻤَﻤْﺖ‎ ‎ُﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ
ﻧِﻌْﻤَﺘِﻰ ﻭَﺭَﺿِﻴﺖُ ﻟَﻜُﻢُ ﭐﻟْﺈِﺳْﻠَـٰﻢ‎ ‎َﺩِﻳﻨًۭﺎ
ۚ
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai
agamamu." (QS. al-Ma'idah [5]: 3)
Dengan ayat tersebut, Abu Ubaidah berasumsi bahwa perayaan khaul,
selametan atau tahlilan yang dilakukan mayoritas umat muslim merupakan
penambahan dalam syare'at Islam.

Jawaban saya :
Menggunakan dalil ayat tersebut sebagai larangan perayaan khaul atau
bid'ah-bi'dah hasanah lainnya, adalah sebuah kedangkalan cara berpikir
atau usaha ingin menutupi kebenaran dari kaum muslimin yang awam.
Ayat di atas bukan sedang membicarakan sempurnya atau paripurnanya
hukum-hukum syare'at secara muthlaq, terbukti setelah ayat itu, masih
ada ayat lainnya lagi yang turun tentang hukum seperti ayat tentang
hukum riba.
- Jika ayat itu menjelaskan sempurnanya hukum syare'at Islam secara
muthlaq, berarti syare'at sebelum ayat ini turun yaitu masa-masa Nabi
Saw adalah kurang dan tidak sempurna, barulah sempurna setelah ayat
ini turun ?? Justru merekalah yang berasumsi demikian telah menuduh
Rasul Saw menjalankan perintah dan syare'at Islam tidak sempurna.

- Jika hukum Islam telah paripurna, kenapa juga ada Lajnah Buhutsid
diniyyah, atau komisi fatwa ulama Saudi seperti Ibnu Baz, utsaimin dan
fauzan ??

- Kenapa juga jika telah sempurna, Nabi Saw tidak mengatakan adanya
pembagian bid'ah lughawi dan istilahi, bid'ah haqiqi dan majazi,
bid'ah agama dan dunia ??

- Jika telah sempurna, kenapa juga Nabi Saw tidak menegaskan adanya
tauhid Rububiyyah dan ilahiyyah secara tersurat dan gamblang ??

Maka sungguh para ulama kita khususnya ulama ahli tafsir telah
mengetahui makna ayat tersebut dan menjelaskan maksudnya pada kita.

Berikut penjelasannya:
Imam Qoffal telah menjelaskan maksud ayat tersebut dalam kitab Tafsir
Al-Kabir karya Imam Fakruddin Ar-Razi:

ﺃﻥﺍﻟﺪﻳﻦ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻧﺎﻗﺼﺎ ﺍﻟﺒﺘﺔ،‎ ‎ﺑﻞ ﻛﺎﻥ‎ ‎ﺃﺑﺪﺍ ﻛﺎﻣﻼ،‎ ‎ﻳﻌﻨﻲ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﺸﺮﺍﺋﻊ‎
‎ﺍﻟﻨﺎﺯﻟﺔ ﻣﻦ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻭﻗﺖ
ﻛﺎﻓﻴﺔ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻮﻗﺖ،‎ ‎ﺇﻻ ﺃﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ‎ ‎ﻛﺎﻥ ﻋﺎﻟﻤﺎ ﻓﻲ ﺃﻭﻝ ﻭﻗﺖ ﺍﻟﻤﺒﻌﺚ ﺑﺄﻥ‎
‎ﻣﺎ ﻫﻮ ﻛﺎﻣﻞ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻟﻴﺲ‎ ‎ﺑﻜﺎﻣﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻐﺪ ﻭﻻ ﺻﻼﺡ ﻓﻴﻪ،‎ ﻓﻼ ﺟﺮﻡ ﻛﺎﻥ
ﻳﻨﺴﺦ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺜﺒﻮﺕ ﻭﻛﺎﻥ ﻳﺰﻳﺪ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻌﺪﻡ،ﻭﺃﻣﺎ ﻓﻲ ﺁﺧﺮ ﺯﻣﺎﻥ ﺍﻟﻤﺒﻌﺚ ﻓﺄﻧﺰﻝ ﺍﻟﻠﻪ
ﺷﺮﻳﻌﺔ ﻛﺎﻣﻠﺔ ﻭﺣﻜﻢ ﺑﺒﻘﺎﺋﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ، ﻓﺎﻟﺸﺮﻉ ﺃﺑﺪﺍ ﻛﺎﻥ ﻛﺎﻣﻼ،ﺇﻻ ﺃﻥ
ﺍﻷﻭﻝ ﻛﻤﺎﻝ ﺇﻟﻰ ﺯﻣﺎﻥ ﻣﺨﺼﻮﺹ،ﻭﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﻛﻤﺎﻝ ﺇﻟﻰ ﻳﻮﻡﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻓﻸﺟﻞ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ
ﻗﺎﻝ:ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺃﻛﻤﻠﺖ ﻟﻜﻢ ﺩﻳﻨﻜﻢ
" Agama ini sungguh tidaklah kurang, bahkan selamanya dalam keadaan
Sempurna, artinya Syaria't yg di turunkan oleh Allah di setiap waktu
telah mencukupi kebutuhan pada waktu itu juga, hanya saja Allah yg
Maha Tahu tentu tahu juga pada saat pertama kali Syari'at itu di
turunkan pasti bersesusaian dengan kebutuhan pada saat itu yg tidak
akan selaras dengan kebutuhan hari esok, maka tidak salah jika ada
suatu penetapan hukum yg kemudian di hapus setelah di tetapkan atau di
tambah setelah tidak tercantum.
Adapun Pada Akhir Zaman ini Allah telah menurunkan Syari'at yg
sempurna dan akan selalu eksis sampai hari Kiyamat. Syari'at yg
pertama itu sempurna menurut ukuran zamannya, dan yang kedua
menyempurnakan untuk segala zaman, maka sehubungan dengan hal ini ayat
"Telah aku sempurnakan bagimu Agamamu" ini di turunkan ".
Masih kelanjutan syarh ayat tsb dalam kitab Tafisr Al-Kabir ini:

ﻗﺎﻝﻧﻔﺎﺓ ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ:ﺩﻟﺖ ﺍﻵﻳﺔ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ‎ ‎ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ ﺑﺎﻃﻞ،ﻭﺫﻟﻚ ﻷﻥ ﺍﻵﻳﺔ ﺩﻟﺖ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ
ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻗﺪ ﻧﺺ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻟﻮﻗﺎﺋﻊ،ﺇﺫ ﻟﻮ ﺑﻘﻲ ﺑﻌﻀﻬﺎ ﻏﻴﺮ ﻣﺒﻴﻦ ﺍﻟﺤﻜﻢ
ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻛﺎﻣﻼ،ﻭﺇﺫﺍ ﺣﺼﻞ ﺍﻟﻨﺺ ﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻟﻮﻗﺎﺋﻊ ﻓﺎﻟﻘﻴﺎﺱ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﻭﻓﻖ
ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻨﺺ ﻛﺎﻥ ﻋﺒﺜﺎ،ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﺧﻼﻓﻪ ﻛﺎﻥ ﺑﺎﻃﻼ
" Timbul asumsi dari kaum penolak Qiyas : " Ayat tersebut menunjukkan
bahwa hukum qiyas adalah bathil, karena ayat itu menjelaskan bahwa
Allah Swt telah menetapkan hukum dalam segala kejadian. Seandainya
dalam agama masih ada satu hukum saja yang tertinggal penjelasannya,
maka itu menunjukkan kekurangan agama itu sendiri. Jika telah
ditetapkan semua hukum dalam segala kejadian, maka jika qiyas (yang
dihasilkan) itu sesuai dengan ketetapan hukum yang ada, maka qiyas tak
ada artinya sama sekali . Dan jika qiyas itu bertolak belakang dengan
ketetpan hukum, maka qiyas itu bathil adanya ".
Maka kemusykilan ini telah dijawab :
ﺃﺟﺎﺏ ﻣﺜﺒﺘﻮ ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ ﺑﺄﻥ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﺈﻛﻤﺎﻝ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺃﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﻴﻦ ﺣﻜﻢ ﺟﻤﻴﻊ
ﺍﻟﻮﻗﺎﺋﻊ ﺑﻌﻀﻬﺎ ﺑﺎﻟﻨﺺ ﻭﺑﻌﻀﻬﺎ ﺑﺄﻥ ﺑﻴﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﻓﻴﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ
ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ،ﻓﺈﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻟﻤﺎ ﺟﻌﻞﺍﻟﻮﻗﺎﺋﻊ ﻗﺴﻤﻴﻦ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﺍﻟﺘﻲ‎ ‎ﻧﺺ ﻋﻠﻰ ﺃﺣﻜﺎﻣﻬﺎ،‎
‎ﻭﺍﻟﻘﺴﻢ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ‎ ‎ﺃﻧﻮﺍﻉ ﻳﻤﻜﻦ ﺍﺳﺘﻨﺒﺎﻁ ﺍﻟﺤﻜﻢ‎ ‎ﻓﻴﻬﺎ‎ ‎ﺑﻮﺍﺳﻄﺔ ﻗﻴﺎﺳﻬﺎ ﻋﻠﻰ
ﺍﻟﻘﺴﻢ‎ ‎ﺍﻷﻭﻝ،‎ ‎ﺛﻢ ﺇﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻟﻤﺎ ﺃﻣﺮ ﺑﺎﻟﻘﻴﺎﺱ‎ ‎ﻭﺗﻌﺒﺪ ﺍﻟﻤﻜﻠﻔﻴﻦ ﺑﻪ ﻛﺎﻥ
ﺫﻟﻚ ﻓﻲ‎ ‎ﺍﻟﺤﻘﻴﻘﺔ ﺑﻴﺎﻧﺎ ﻟﻜﻞ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ،‎ ‎ﻭﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ‎ ‎ﻛﺬﻟﻚ ﻛﺎﻥ ﺫﻟﻚ ﺇﻛﻤﺎﻻ
ﻟﻠﺪﻳﻦ‎.‎

" Para ulama yang menetapkan huku qiyas menjawab " Yang dimaksud
dengan telah sempurna agama, adalah bahwa Allah Swt telah menjelaskan
hukum pada semua kejadian,
sebagiannya dengan nash (ketetapan hukum yang sudah tersurat) dan
sebagiannya lagi dengan jalan mengetahui hukum di dalamnya dengan
metode qiyas. Maka Allah telah menjelaskan sebuah hukum pada suatu
kejadian dengan dua cara; yang pertama dengan cara menetapkan nashnya
langsung yaitu ketetapan hukum pastinya, dan yang kedua dengan cara
metode yang memungkinkan bisa menarik kesimpulan dari nash tersebut.
Maka ketika Allah memerintahkan dengan adanya qiyas dan mukallaf
beribadah atas dasar qiyas, maka pada hakikatnya itu adalah sebuah
penjelasan bagi setiap hukum, dengan demikian hal itu merupakan
kesempurnaan agama. "
Maka dengan penjelasan ini runtuhlah asumsi Abu Ubaidah dan para
salafi yang mengatakan tak perlu lagi bid'ah hasanah termasuk perayaan
khaul dalam agama ini berdasarkan ayat tsb.

Kedua; Abu Ubaidah menampilkan ucapan imam Malik untuk melarang bid'ah
hasanah termasuk Khaul berikut:

ﻣَﻦِ ﺍﺑْﺘَﺪَﻉَ ﻓِﻲْ ﺍﻹِﺳْﻠَﺎﻡِ ﺑِﺪْﻋَﺔً ﻳَﺮَﺍﻫَﺎ‎ ‎ﺣَﺴَﻨَﺔً ﻓَﻘَﺪْ
ﺯَﻋَﻢَ ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ#
ﺧَﺎﻥَ ﺍﻟﺮِّﺳَﺎﻟَﺔَ ﻟِﺄَﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻳَﻘُﻮْﻝ‎ ‎ُﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ
ﺃَﻛْﻤَﻠْﺖُ ﻟَﻜُﻢْ ﺩِﻳﻨَﻜُﻢْ ﻓَﻤَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦ‎ ‎ْﻳَﻮْﻣَﺌِﺬٍ ﺩِﻳْﻨًﺎ
ﻓَﻠَﺎ ﻳَﻜُﻮْﻥُ ﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ ﺩِﻳْﻨًﺎ
"Barang siapa melakukan bid'ah dalam Islam dan menganggapnya baik
(bid'ah hasanah), maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad
shalallahu 'alayhi wa sallam mengkhianati risalah, karena Alloh Ta'ala
berfirman, 'Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu.' Karena
itu, apa saja yang di hari itu (pada zaman Nabi shalallahu 'alayhi wa
sallam) bukan sebagai agama, maka pada hari ini juga tidak termasuk
agama."
Jawaban Saya :
Sungguh memang benar ucapan imam Malik tersebut. Yang dimaksud bid'ah
dalam ucapan beliau itu adalah bid'ah dholalah /sesat, atau meminjam
istilah mereka adalah bid'ah lughowiyyah bukan bid'ah syar'iyyah.
Seperti contoh ; melakukan sholat dengan bahasa Indonesia beralasan
untuk memudahkan pemahaman makna bacaan-bacaan sholat, maka hal baru
ini adalah bid'ah sesat walaupun menganggapnya baik. Atau mendekatkan
diri kepada Allah Swt dengan melakukan sesembahan pada sebuah pohon
atau menghanyutkan banyak makanan ke laut, atau berkeyakinan bahwa
semua perbuatan hamba majbur (terbelenggu) dengan perbuatan Allah dan
tak ada ikhtiyar, maka semua ini adalah bid'ah sesat walaupun mereka
menggapnya baik, karena semuanya bertentangan dengan Al-Quran dan
Hadits.
Dari sini sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki memberikan sebuah ta'rif
bid'ah yang sebenarnya terlarang ada dalam ta'rif bid'ah syar'iyyah,
karena mengada-ngada dalam syare'at jelas semua sepakat itu adalah
terlarang dan sesat. Sedangkan bid'ah-bid'ah yang diperbolehkan masuk
dalam ta'rif bid'ah lughawiyyah, beliau ingin menawarkan sebuah solusi
dari titik permasalahan bid'ah, berikut petikan komentar beliau :

ﻭﻟﺬﻟﻚ ﻓﺈﻥ ﺗﻘﺴﻴﻢ ﺍﻟﺒﺪﻋﺔ ﺇﻟﻰ ﺣﺴﻨﺔ‎ ‎ﻭﺳﻴﺌﺔ ﻓﻲ ﻣﻔﻬﻮﻣﻨﺎ ﻟﻴﺲ ﺇﻻ ﻟﻠﺒﺪﻋﺔ‎
‎ﺍﻟﻠﻐﻮﻳﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﻫﻲ ﻣﺠﺮﺩ ﺍﻻﺧﺘﺮﺍﻉ‎ ‎ﻭﺍﻹﺣﺪﺍﺙ،ﻭﻻ ﻧﺸﻚ ﺟﻤﻴﻌﺎً ﻓﻲ ﺃﻥ‎ ‎ﺍﻟﺒﺪﻋﺔ
ﺑﺎﻟﻤﻌﻨﻰ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﻟﻴﺴﺖ ﺇﻻ‎ ‎ﺿﻼﻟﺔ ﻭﻓﺘﻨﺔ ﻣﺬﻣﻮﻣﺔ ﻣﺮﺩﻭﺩﺓ‎ ‎ﻣﺒﻐﻮﺿﺔ،ﻭﻟﻮ ﻓﻬﻢ
ﺃﻭﻟﺌﻚ ﺍﻟﻤﻨﻜﺮﻭﻥ‎ ‎ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﻟﻈﻬﺮ ﻟﻬﻢ ﺃﻥ ﻣﺤﻞ‎ ‎ﺍﻻﺟﺘﻤﺎﻉ ﻗﺮﻳﺐ ﻭﻣﻮﻃﻦ
ﺍﻟﻨﺰﺍﻉ ﺑﻌﻴﺪ.‎ ‎ﻭﺯﻳﺎﺩﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﻘﺮﻳﺐ ﺑﻴﻦ ﺍﻷﻓﻬﺎﻡ ﺃﺭﻯ‎ ‎ﺃﻥ ﻣﻨﻜﺮﻱ ﺍﻟﺘﻘﺴﻴﻢ
ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻨﻜﺮﻭﻥ‎ ‎ﺗﻘﺴﻴﻢ ﺍﻟﺒﺪﻋﺔ ﺍﻟﺸﺮﻋﻴﺔ ﺑﺪﻟﻴﻞ‎ ‎ﺗﻘﺴﻴﻤﻬﻢ ﺍﻟﺒﺪﻋﺔ ﺇﻟﻰ ﺩﻳﻨﻴﺔ
ﻭﺩﻧﻴﻮﻳﺔ،‎ ‎ﻭﺍﻋﺘﺒﺎﺭﻫﻢ ﺫﻟﻚ ﺿﺮﻭﺭﺓ.‎ ‎ﻭﺃﻥ ﺍﻟﻘﺎﺋﻠﻴﻦ‎ ‎ﺑﺎﻟﺘﻘﺴﻴﻢ ﺇﻟﻰ ﺣﺴﻨﺔ
ﻭﺳﻴﺌﺔ ﻳﺮﻭﻥ ﺃﻥ‎ ‎ﻫﺬﺍ ﺇﻧﻤﺎ ﻫﻮ ﺑﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﻟﻠﺒﺪﻋﺔ ﺍﻟﻠﻐﻮﻳﺔ‎ ‎ﻷﻧﻬﻢ ﻳﻘﻮﻟﻮﻥ:‎ ‎ﺇﻥ
ﺍﻟﺰﻳﺎﺩﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ‎ ‎ﻭﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﺿﻼﻟﺔ ﻭﺳﻴﺌﺔ ﻛﺒﻴﺮﺓ،‎ ‎ﻭﻻ‎ ‎ﺷﻚ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻋﻨﺪﻫﻢ
ﻓﺎﻟﺨﻼﻑ ﺷﻜﻠﻲ

"karena itu, sesungguhnya pembagian bid'ah pada bid'ah hasanah dan
sayyi'ah dalam konsep kita tidak lain kecuali diarahkan untuk bid'ah
lughawiyah yang hanya semata-mata kreasi baru (yang tidak bertentangan
dengan al-qur'an dan al-hadits). Kita semua tidak ragu bahwa bid'ah
dalam arti syar'iy tidak ada kemungkinan lain kecuali sesat, fitnah,
tercecela dan tertolak".

Kedua ; Kemudian Abu Ubaidah melarang khoul dengan alasan :
"Seandainya perayaan maulid ini merupakan bagian agama yang
disyari'atkan tetapi Nabi shalallahu 'alayhi wasallam tidak
menjelaskannya kepada umat, maka itu berarti Nabi shalallahu 'alayhi
wasallam berkhianat. Hal ini tidak mungkin karena Nabi shalallahu
'alayhi wasallam telah menyampaikan risalah Alloh dengan amanah dan
sempurna sebagaimana disaksikan oleh umatnya dalam perkumpulan yang
besar di Arafah ketika haji wada'
ﻋَﻦْ ﺟَﺎﺑِﺮِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓِﻲْ ﻗِﺼَّﺔِ ﺣَﺠَّﺔ‎ ‎ِﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ…
:ﻭَﺃَﻧْﺘُﻢْ ﺗُﺴْﺄَﻟُﻮﻥَ ﻋَﻨِّﻲ،‎ ‎ﻓَﻤَﺎ‎ ‎ﺃَﻧْﺘُﻢْ ﻗَﺎﺋِﻠُﻮﻥَ؟
ﻗَﺎﻟُﻮﺍ:ﻧَﺸْﻬَﺪُ ﺃَﻧَّﻚَ ﻗَﺪ‎ ‎ْﺑَﻠَّﻐْﺖَ،‎ ‎ﻭَﺃَﺩَّﻳْﺖَ،‎
‎ﻭَﻧَﺼَﺤْﺖَ,‎ ‎ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺑِﺈِﺻْﺒِﻌِﻪ‎ ‎ِﺍﻟﺴَّﺒَﺎﺑَﺔِ ﻳَﺮْﻓَﻌُﻬَﺎ ﺇِﻟَﻰ
ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ،‎ ‎ﻭَﻳَﻨْﻜُﺘُﻬَﺎ‎ ‎ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ:ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺷْ
ﻋَﻦْ ﺟَﺎﺑِﺮِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓِﻲْ ﻗِﺼَّﺔِ ﺣَﺠَّﺔ‎ ‎ِﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ…
:ﻭَﺃَﻧْﺘُﻢْ ﺗُﺴْﺄَﻟُﻮﻥَ ﻋَﻨِّﻲ،‎ ‎ﻓَﻤَﺎ‎ ‎ﺃَﻧْﺘُﻢْ ﻗَﺎﺋِﻠُﻮﻥَ؟
ﻗَﺎﻟُﻮﺍ:ﻧَﺸْﻬَﺪُ ﺃَﻧَّﻚَ ﻗَﺪ‎ ‎ْﺑَﻠَّﻐْﺖَ،‎ ‎ﻭَﺃَﺩَّﻳْﺖَ،‎
‎ﻭَﻧَﺼَﺤْﺖَ,‎ ‎ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺑِﺈِﺻْﺒِﻌِﻪ‎ ‎ِﺍﻟﺴَّﺒَﺎﺑَﺔِ ﻳَﺮْﻓَﻌُﻬَﺎ ﺇِﻟَﻰ
ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ،‎ ‎ﻭَﻳَﻨْﻜُﺘُﻬَﺎ‎ ‎ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ:ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺷْﻬَﺪْ،‎
‎ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺷْﻬَﺪْ،‎ ‎ﺛَﻠَﺎﺙَ ﻣَﺮَّﺍﺕ
ٍ
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu tentang kisah hajinya Nabi
shalallahu 'alayhi wasallam (setelah beliau berkhotbah di Arafah).
Nabi shalallahu 'alayhi wasallam bersabda, "Kalian akan ditanya
tentang diriku, lantas apakah jawaban kalian?" Mereka menjawab, "Kami
bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, menunaikan, dan menasihati."
Lalu Nabi shalallahu 'alayhi wasallam mengatakan dengan mengangkat
jari telunjuknya ke langit dan mengisyaratkan kepada manusia, "Ya
Alloh, saksikanlah, ya Alloh saksikanlah, sebanyak tiga kali Jawaban
saya :
Perhatikan argumentasi bodoh Abu Ubaidah tersebut ""Seandainya
perayaan maulid ini merupakan bagian agama yang disyari'atkan tetapi
Nabi shalallahu 'alayhi wasallam tidak menjelaskannya kepada umat,
maka itu berarti Nabi shalallahu 'alayhi wasallam berkhianat ".
Konsekuensi dari argumntasi itu akan menimbulkan pemahaman bahwa
setiap apa yang tidak dijelaskan oleh Nabi Saw adalah bukan bagian
dari agama alias suatu penambahan agama.
Sungguh argumntasi Abu Ubaidah tersebut adalah suatu kesalahan fatal
dan bertentangan dengan syare'at dan justru dia telah terjebak dalam
bid'ah dholalah yang akan merusak sendi-sendi agama.
Simak penjelasannya berikut :

• Allah Swt berfirman :

ﻭَﻣَﺎ ﺍَﺗَﺎﻛُﻢُ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮْﻝُ ﻓَﺨُﺬُﻭﻩُ ﻭَﻣَﺎ ﻧَﻬَﺎﻛُﻢ‎ ‎ْﻋَﻨْﻪ‎ ‎َُﺍﻧْﺘَﻬُﻮْﺍ

'Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja
yang dilarang oleh Rasul maka berhentilah (mengerjakannya). (QS.
Al-Hasyr : 7) Coba perhatikan, ayat diatas dengan jelas menyebutkan
bahwa perintah agama adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan
yang dinamakan larangan agama adalah apa yang memang dilarang oleh
Rasulullah SAW. Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan:

ﻭَﻣﺎَ ﻟَﻢْ ﻳَﻔْﻌَﻠْﻪُ ﺍَﻭْﻟَﻢْ ﻳﺒَﻴّﻨْﻪُ ﻓَﺎﻧْﺘَﻬُﻮْﺍ

"Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan atau tidak dijelaskan oleh
Rasulullah Saw, maka berhentilah (mengerjakannya)."

•Renungkan hadits Nabi Saw berikut :

ﻣﺎ ﺍﺣﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﻓﻬﻮ ﺣﻼﻝ‎ ‎ﻭﻣﺎ‎ ‎ﺣﺮﻡ ﻓﻬﻮ ﺣﺮﺍﻡ ﻭﻣﺎﺳﻜﺖ ﻋﻨﻪ ﻓﻬﻮ‎
‎ﻋﺎﻓﻴﺔ ﻓﻘﺒﻠﻮﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻌﺎﻓﻴﺔ ﻓﺎﻥ‎ ‎ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻧﺴﻴﺎ ﺛﻢ ﺗﻼ ﻫﺬﻩ ﺍﻻﻳﺔ‎
‎ﻭﻣﺎﻛﺎﻥ ﺭﺑﻚ ﻧﺴﻴﺎ

" Apa yang dihalalkan Allah dalam kitabNya maka halal, apa yang
diharamkan maka haram dan apa saja yang tidak dikomentarinya maka itu
maaf (dispensasi). Maka terimalah dispensasi dariNya. Karena Allah Swt
tidak pernah lupa, lalu beliau membaca ayat ini; Wama kaana rabbuka
mansiyya ". (HR. Hakim,al-Bazzar dan ath-Thabrani)
Sanad hadits ini dinilai shahih oleh imam Hakim dan adz-Dzahabi dalam
al-Mustadrak dan at-Takhshis.
Dalam hadits ini Rasulullah Saw memberi penegasan bahwa setiap hal
yang tidak dikomentari maka merupakan dispensasi langsung dari Allah
Swt. Sehingga dengan hadits ini dapat dimengerti bahwa banyak sekali
amal sholeh dan kebaikan dilakukan di luar nash al-Quran secara jelas
dan terperinci.
Bukan berarti Allah Swt lupa akan hal itu atau Nabi Saw berkhianat
tidak menjelaskannya, karena beliau sendiri telah memberikan
jawabannya dengan membaca ayat di atas tersebut :

ﻭﻣﺎ‎ ‎ﻛﺎﻥ ﺭﺑﻚ ﻧﺴﻴﺎ

" Dan tidaklah Tuhanmu lupa " (QS.Maryam : 64) Setiap hal yang tidak
pernah dilakukan Nabi Muhammad Saw tidak bisa dianggap bid'ah ataupun
dihukumi haram hanya karena tidak pernah dilakukannya, tanpa ada dalil
yang melarangnya. Bahkan bisa jadi hal-hal yang tidak dilakukan Nabi
Saw menunjukkan bahwa hal tersebut disyare'atkan.

Demikian juga setiap hal yang tidak pernah dilakukan generasi salaf,
tidak bisa dianggap bid'ah hanya karena tidak pernah dilakukan mereka.
Terkadang Nabi Saw tidak melalukan karena beberapa hal diantaranya :

- lupa, sebagaimana kejadian beliau waktu lupa dalam sholat dan
ditanya " Apakah ada hukum baru dalam sholat ? "
Nabi Saw menjawab ;

ﺍﻧﻪ ﻟﻮ ﺣﺪﺙ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺷﻲﺀ ﻟﻨﺒﺄﺗﻜﻢ‎ ‎ﺑﻪ ﻭﻟﻜﻦ ﺍﻧﻤﺎ ﺍﻧﺎ ﺑﺸﺮ ﻣﺜﻠﻜﻢ ﺍﻧﺴﻰ‎
‎ﻛﻤﺎ ﺗﻨﺴﻮﻥ ﻓﺎﺫﺍ ﻧﺴﻴﺖ ﻓﺬﻛﺮﻭﻧﻲ

" Sungguh andai ada hukum baru dalam sholat akan aku beritahu kalian,
namun aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, aku bisa lupa
seperti kalian, jika aku lupa maka ingatkanlah aku " (HR. Bukhari dan
Muslim)

- khawatir akan diwajibkan bagi umatnya
- Menjaga perasaan orang lain
- Atau karena telah tercakup dalam keumuman ayat al-Quran dan Hadits.
Seperti telah menjadi hal maklum, beliau tidak melakukan semua
kesunnahan,
karena telah termuat dalam ayat al-Quran ;

ﻭﺍﻓﻌﻠﻮﺍ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﻔﻠﺤﻮﻥ

" Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan " (QS. Hajj : 77)
Kesimpulannya adalah : setiap hal baru jika ada dasar agamanya yang
mendukung, maka itu bukanlah bid'ah atau haram. Perhatikan ucapan imam
Syafi'I berikut :

ﻛﻞ ﻣﺎ ﻟﻪ ﻣﺴﺘﻨﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﻓﻠﻴﺲ‎ ‎ﺑﺒﺪﻋﺔ ﻭﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﻌﻤﻞ ﺑﻪ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻻﻥ‎ ‎ﺗﺮﻛﻬﻢ
ﻟﻠﻌﻤﻞ ﺑﻪ ﻗﺪ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻌﺬﺭ ﻗﺎﻡ‎ ‎ﻟﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﻗﺖ ﺍﻭ ﻟﻤﺎ ﻫﻮ ﺍﻓﻀﻞ ﺍﻭnya Nabi
shalallahu 'alayhi wasallam (setelah beliau berkhotbah di Arafah).
Nabi shalallahu 'alayhi wasallam bersabda, "Kalian akan ditanya
tentang diriku, lantas apakah jawaban kalian?" Mereka menjawab, "Kami
bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, menunaikan, dan menasihati."
Lalu Nabi shalallahu 'alayhi wasallam mengatakan dengan mengangkat
jari telunjuknya ke langit dan mengisyaratkan kepada manusia, "Ya
Alloh, saksikanlah, ya Alloh saksikanlah, sebanyak tiga kali Jawaban
saya :
Perhatikan argumentasi bodoh Abu Ubaidah tersebut ""Seandainya
perayaan maulid ini merupakan bagian agama yang disyari'atkan tetapi
Nabi shalallahu 'alayhi wasallam tidak menjelaskannya kepada umat,
maka itu berarti Nabi shalallahu 'alayhi wasallam berkhianat ".
Konsekuensi dari argumntasi itu akan menimbulkan pemahaman bahwa
setiap apa yang tidak dijelaskan oleh Nabi Saw adalah bukan bagian
dari agama alias suatu penambahan agama.
Sungguh argumntasi Abu Ubaidah tersebut adalah suatu kesalahan fatal
dan bertentangan dengan syare'at dan justru dia telah terjebak dalam
bid'ah dholalah yang akan merusak sendi-sendi agama.
Simak penjelasannya berikut :

• Allah Swt berfirman :

ﻭَﻣَﺎ ﺍَﺗَﺎﻛُﻢُ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮْﻝُ ﻓَﺨُﺬُﻭﻩُ ﻭَﻣَﺎ ﻧَﻬَﺎﻛُﻢ‎ ‎ْﻋَﻨْﻪ‎ ‎َُﺍﻧْﺘَﻬُﻮْﺍ

'Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja
yang dilarang oleh Rasul maka berhentilah (mengerjakannya). (QS.
Al-Hasyr : 7) Coba perhatikan, ayat diatas dengan jelas menyebutkan
bahwa perintah agama adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan
yang dinamakan larangan agama adalah apa yang memang dilarang oleh
Rasulullah SAW. Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan:

ﻭَﻣﺎَ ﻟَﻢْ ﻳَﻔْﻌَﻠْﻪُ ﺍَﻭْﻟَﻢْ ﻳﺒَﻴّﻨْﻪُ ﻓَﺎﻧْﺘَﻬُﻮْﺍ

"Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan atau tidak dijelaskan oleh
Rasulullah Saw, maka berhentilah (mengerjakannya)."

•Renungkan hadits Nabi Saw berikut :

ﻣﺎ ﺍﺣﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﻓﻬﻮ ﺣﻼﻝ‎ ‎ﻭﻣﺎ‎ ‎ﺣﺮﻡ ﻓﻬﻮ ﺣﺮﺍﻡ ﻭﻣﺎﺳﻜﺖ ﻋﻨﻪ ﻓﻬﻮ‎
‎ﻋﺎﻓﻴﺔ ﻓﻘﺒﻠﻮﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻌﺎﻓﻴﺔ ﻓﺎﻥ‎ ‎ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻧﺴﻴﺎ ﺛﻢ ﺗﻼ ﻫﺬﻩ ﺍﻻﻳﺔ‎
‎ﻭﻣﺎﻛﺎﻥ ﺭﺑﻚ ﻧﺴﻴﺎ

" Apa yang dihalalkan Allah dalam kitabNya maka halal, apa yang
diharamkan maka haram dan apa saja yang tidak dikomentarinya maka itu
maaf (dispensasi). Maka terimalah dispensasi dariNya. Karena Allah Swt
tidak pernah lupa, lalu beliau membaca ayat ini; Wama kaana rabbuka
mansiyya ". (HR. Hakim,al-Bazzar dan ath-Thabrani)
Sanad hadits ini dinilai shahih oleh imam Hakim dan adz-Dzahabi dalam
al-Mustadrak dan at-Takhshis.
Dalam hadits ini Rasulullah Saw memberi penegasan bahwa setiap hal
yang tidak dikomentari maka merupakan dispensasi langsung dari Allah
Swt. Sehingga dengan hadits ini dapat dimengerti bahwa banyak sekali
amal sholeh dan kebaikan dilakukan di luar nash al-Quran secara jelas
dan terperinci.
Bukan berarti Allah Swt lupa akan hal itu atau Nabi Saw berkhianat
tidak menjelaskannya, karena beliau sendiri telah memberikan
jawabannya dengan membaca ayat di atas tersebut :

ﻭﻣﺎ‎ ‎ﻛﺎﻥ ﺭﺑﻚ ﻧﺴﻴﺎ

" Dan tidaklah Tuhanmu lupa " (QS.Maryam : 64) Setiap hal yang tidak
pernah dilakukan Nabi Muhammad Saw tidak bisa dianggap bid'ah ataupun
dihukumi haram hanya karena tidak pernah dilakukannya, tanpa ada dalil
yang melarangnya. Bahkan bisa jadi hal-hal yang tidak dilakukan Nabi
Saw menunjukkan bahwa hal tersebut disyare'atkan.

Demikian juga setiap hal yang tidak pernah dilakukan generasi salaf,
tidak bisa dianggap bid'ah hanya karena tidak pernah dilakukan mereka.
Terkadang Nabi Saw tidak melalukan karena beberapa hal diantaranya :

- lupa, sebagaimana kejadian beliau waktu lupa dalam sholat dan
ditanya " Apakah ada hukum baru dalam sholat ? "
Nabi Saw menjawab ;

ﺍﻧﻪ ﻟﻮ ﺣﺪﺙ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺷﻲﺀ ﻟﻨﺒﺄﺗﻜﻢ‎ ‎ﺑﻪ ﻭﻟﻜﻦ ﺍﻧﻤﺎ ﺍﻧﺎ ﺑﺸﺮ ﻣﺜﻠﻜﻢ ﺍﻧﺴﻰ‎
‎ﻛﻤﺎ ﺗﻨﺴﻮﻥ ﻓﺎﺫﺍ ﻧﺴﻴﺖ ﻓﺬﻛﺮﻭﻧﻲ

" Sungguh andai ada hukum baru dalam sholat akan aku beritahu kalian,
namun aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, aku bisa lupa
seperti kalian, jika aku lupa maka ingatkanlah aku " (HR. Bukhari dan
Muslim)

- khawatir akan diwajibkan bagi umatnya
- Menjaga perasaan orang lain
- Atau karena telah tercakup dalam keumuman ayat al-Quran dan Hadits.
Seperti telah menjadi hal maklum, beliau tidak melakukan semua
kesunnahan,
karena telah termuat dalam ayat al-Quran ;

ﻭﺍﻓﻌﻠﻮﺍ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﻔﻠﺤﻮﻥ

" Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan " (QS. Hajj : 77)
Kesimpulannya adalah : setiap hal baru jika ada dasar agamanya yang
mendukung, maka itu bukanlah bid'ah atau haram. Perhatikan ucapan imam
Syafi'I berikut :

ﻛﻞ ﻣﺎ ﻟﻪ ﻣﺴﺘﻨﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﻓﻠﻴﺲ‎ ‎ﺑﺒﺪﻋﺔ ﻭﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﻌﻤﻞ ﺑﻪ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻻﻥ‎ ‎ﺗﺮﻛﻬﻢ
ﻟﻠﻌﻤﻞ ﺑﻪ ﻗﺪ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻌﺬﺭ ﻗﺎﻡ‎ ‎ﻟﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﻗﺖ ﺍﻭ ﻟﻤﺎ ﻫﻮ ﺍﻓﻀﻞ ﺍﻭ‎ ‎ﻟﻌﻠﻪ ﻟﻢ
ﻳﺒﻠﻎ ﺟﻤﻴﻌﻬﻢ ﻋﻠﻢ ﺑﻪ
" Setiap hal yang mempunyai landasan syara' maka bukan bid'ah
walauppun tidak dilakukan oleh golongan salaf.
Mereka tidak melakukannya karena terkadang ada udzur saat itu, ada
yang lebih utama atau pengetahuan tentang hal tersebut belum sampai
pada mereka semua ".
Bahkan sangat banyak sekali hal-hal baru yang dilakukan para sahabat
dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw seperti contoh :

- Pem
" Setiap hal yang mempunyai landasan syara' maka bukan bid'ah
walauppun tidak dilakukan oleh golongan salaf.
Mereka tidak melakukannya karena terkadang ada udzur saat itu, ada
yang lebih utama atau pengetahuan tentang hal tersebut belum sampai
pada mereka semua ".
Bahkan sangat banyak sekali hal-hal baru yang dilakukan para sahabat
dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw seperti contoh :

- Pemindahan Maqam Ibrahim yang dilakukan Umar bin
Khaththab Ra dari tempat asalnya yang menempel Ka'bah ke tempat yang
kita kenal sekarang ini.

ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺍﻥ ﺍﻟﻤﻘﺎﻡ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺯﻣﻦ‎ ‎ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‎ ‎ﻭﺯﻣﺎﻥ
ﺍﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻣﻠﺘﺼﻔﺎ ﺑﺎﻟﺒﻴﺖ ﺛﻢ‎ ‎ﺍﺧﺮﻩ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ

" Dari Aisyah Ra, sesunguhnya maqam Ibrahim pada masa Rasulullah Saw
dan Abu Bakar menempel Ka'bah, kemudian Umar bin Khaththab Ra
memindahkannya ke belakang ". (HR. al-Baihaqi)
- Abu Hurairah Ra membuat tasbih 2000 biji yang digunakan wiridan di
setiap malamnya.
- Tambahan talbiyah Abdullah bin Umar pada talbiyah Rasulullah Saw,
dalam shahih Muslim disebutkan :

ﻭﻛﺎﻥ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ‎ ‎ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻳﺰﻳﺪ ﻓﻴﻬﺎ ﻟﺒﻴﻚ ﻟﺒﻴﻚ ﻭﺳﻌﺪﻳﻚ‎
‎ﻭﺍﻟﺨﻴﺮ ﺑﻴﺪﻳﻚ ﻟﺒﻴﻚ ﻭﺍﻟﺮﻏﺒﺔ ﺍﻟﻴﻚ‎ ‎ﻭﺍﻟﻌﻤﻞ

" Abdullah bin Umar menambahi talbiyah Rasul Saw dengan kalimat ; "
Labbaika labbaika, wa sa'daika, wal khairu bi yadaika, labbaika ilaika
war raghbatu ilaika wal 'amal ". (HR. Muslim)
Bersambung…
(Ibnu Abdillah AlKatibiy)
21. 11.2011Khaththab Ra dari tempat asalnya yang menempel Ka'bah ke
tempat yang kita kenal sekarang ini.

ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺍﻥ ﺍﻟﻤﻘﺎﻡ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺯﻣﻦ‎ ‎ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‎ ‎ﻭﺯﻣﺎﻥ
ﺍﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻣﻠﺘﺼﻔﺎ ﺑﺎﻟﺒﻴﺖ ﺛﻢ‎ ‎ﺍﺧﺮﻩ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ

" Dari Aisyah Ra, sesunguhnya maqam Ibrahim pada masa Rasulullah Saw
dan Abu Bakar menempel Ka'bah, kemudian Umar bin Khaththab Ra
memindahkannya ke belakang ". (HR. al-Baihaqi)
- Abu Hurairah Ra membuat tasbih 2000 biji yang digunakan wiridan di
setiap malamnya.
- Tambahan talbiyah Abdullah bin Umar pada talbiyah Rasulullah Saw,
dalam shahih Muslim disebutkan :

ﻭﻛﺎﻥ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ‎ ‎ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻳﺰﻳﺪ ﻓﻴﻬﺎ ﻟﺒﻴﻚ ﻟﺒﻴﻚ ﻭﺳﻌﺪﻳﻚ‎
‎ﻭﺍﻟﺨﻴﺮ ﺑﻴﺪﻳﻚ ﻟﺒﻴﻚ ﻭﺍﻟﺮﻏﺒﺔ ﺍﻟﻴﻚ‎ ‎ﻭﺍﻟﻌﻤﻞ

" Abdullah bin Umar menambahi talbiyah Rasul Saw dengan kalimat ; "
Labbaika labbaika, wa sa'daika, wal khairu bi yadaika, labbaika ilaika
war raghbatu ilaika wal 'amal ". (HR. Muslim)
Bersambung…
(Ibnu Abdillah AlKatibiy)
21. 11.2011

Selasa, 18 Oktober 2011

Awas Bacaan Tidak Akan sampai Kepada Mayat

Posted By Mbahlalar In Ngaji Serius |
PERMASALAHAN QAUL

MASYHUR DALAM MADZHAB

IMAM ASY-SYAFI'I YANG

MENYATAKAN TIDAK

SAMPAINYA BACAAN KEPADA

MAYAT

Pernyataan
qaul
masyhur
bahwa
pahala bacaan al-Qur'an tidak

sampai kepada orang mati

adalah tidak mutlak
, itu
karena ada qaul lain dari Imam
asy-Syafi'i sendiri yang
menyatakan sebaliknya.
Disinilah kita perlu memahami
sebuah kalimat ungkapan
karakter bahasa, sebenarnya
jika kita mau sedikit
meluangkan Akal untuk sedikit
berpikir, maka Ungkapan
seperti itu tidak akan membuat
kita heran, kenapa? karena
memang sudah semestinya jika
bacaan apapun tidak akan

sampai pada Mayat!!
bahkan
tidak hanya bacaan saja, semua
amalan kita tidak akan sampai
ke orang lain, atau mayat.
Namun Pemikiran Salafi/
Wahhabi tidak terbuka untuk
ini rupanya. Demikian juga
Perkataan jelek atau amalan
jelek kita juga tidak akan
sampai atau di bebankan
kepada Orang lain atau Mayat,
jika memang amalan jelek kita
itu tidak ada sangkut pautnya
dg Orang lain tersebut atau
Mayat itu sendiri. Jadi Amalan
kita itu sampai atau tidaknya
berhubungan dengan kondisi
dan hal-hal tertentu, seperti
perkataan beliau Imam Syafi'i :
ﻗﺎﻝﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ:ﻭﺃﺣﺐﻟﻮﻗﺮﺉﻋﻨﺪ
ﺍﻟﻘﺒﺮ ﻭﺩﻋﻰ ﻟﻠﻤﻴﺖ
"asy-Syafi'i berkata : aku
menyukai sendainya
dibacakan al-Qur'an
disamping qubur dan
dibacakan do'a untuk
mayyit" [1]
Demikianlah kita harus
memahami Perkataan
seorang Pembesar Agama
Islam sekaliber Imam Syafi,i
melalui para Ulama yang
lain, entahlah jika Mereka
Mendaulat Dirinya Setara
Dengan Imam Syafi,i?
Juga disebutkan oleh al-
Imam al-Mawardi, al-Imam
an-Nawawi, al-Imam Ibnu
'Allan dan yang lainnya
dalam kitab masing-masing
yang redaksinya sebagai
berikut :
ﻗَﺎﻝَﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲُّﺭَﺣِﻤﻪُﺍﻟﻠَّﻪ:ﻭﻳُﺴْﺘَﺤَﺐُّ
ﺃﻥْﻳُﻘﺮَﺃَﻋِﻨْﺪَﻩُ ﺷﻲﺀٌﻣِﻦَﺍﻟﻘُﺮﺁﻥِ،ﻭَﺇﻥ
ﺧَﺘَﻤُﻮﺍ ﺍﻟﻘُﺮﺁﻥ ﻋِﻨْﺪﻩُ ﻛﺎﻥَ ﺣَﺴﻨﺎً
"Imam asy-Syafi'i
rahimahullah berkata :
disunnahkan agar membaca
sesuatu dari al-Qur'an disisi
quburnya, dan apabila
mereka mengkhatamkan al-
Qur'a disisi quburnya maka
itu bagus" [2]
Kemudian hal ini dijelaskan
oleh 'Ulama Syafi'iyah
lainnya seperti Syaikhul
Islam al-Imam Zakariyya al-
Anshari dalam dalam Fathul
Wahab :
ﺃﻣﺎﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓﻓﻘﺎﻝﺍﻟﻨﻮﻭﻱﻓﻲﺷﺮﺡ
ﻣﺴﻠﻢﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭﻣﻦﻣﺬﻫﺐ
ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲﺃﻧﻪﻻﻳﺼﻞﺛﻮﺍﺑﻬﺎﺇﻟﻰ
ﺍﻟﻤﻴﺖﻭﻗﺎﻝﺑﻌﺾﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎﻳﺼﻞ
ﻭﺫﻫﺐﺟﻤﺎﻋﺎﺕﻣﻦﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀﺇﻟﻰﺃﻧﻪ
ﻳﺼﻞﺇﻟﻴﻪﺛﻮﺍﺏﺟﻤﻴﻊﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕﻣﻦ
ﺻﻼﺓﻭﺻﻮﻡﻭﻗﺮﺍﺀﺓﻭﻏﻴﺮﻫﺎﻭﻣﺎ
ﻗﺎﻟﻪﻣﻦﻣﺸﻬﻮﺭﺍﻟﻤﺬﻫﺐﻣﺤﻤﻮﻝ
ﻋﻠﻰﻣﺎﺇﺫﺍﻗﺮﺃ ﻻﺑﺤﻀﺮﺓﺍﻟﻤﻴﺖ ﻭﻟﻢ
ﻳﻨﻮﺛﻮﺍﺏﻗﺮﺍﺀﺗﻪﻟﻪﺃﻭﻧﻮﺍﻩﻭﻟﻢﻳﺪﻉ
ﺑﻞﻗﺎﻝ ﺍﻟﺴﺒﻜﻲﺍﻟﺬﻱ ﺩﻝﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺨﺒﺮ
ﺑﺎﻻﺳﺘﻨﺒﺎﻁﺃﻥﺑﻌﺾ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥﺇﺫﺍ ﻗﺼﺪ
ﺑﻪﻧﻔﻊﺍﻟﻤﻴﺖﻧﻔﻌﻪﻭﺑﻴﻦﺫﻟﻚﻭﻗﺪ
ﺫﻛﺮﺗﻪ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﺮﻭﺽ
"Adapun pembacaan al-
Qur'an, Imam an-Nawawi
mengatakan didalam Syarh
Muslim, yakni masyhur dari
madzhab asy-Syafi'i bahwa
pahala bacaan al-Qur'an
tidak sampai kepada mayyit,
sedangkan
sebagian ashhab
kami menyatakan sampai,
dan kelompok-kelompok
'ulama berpendapat bahwa
sampainya pahala seluruh
ibadah kepada mayyit
seperti shalat, puasa,
pembacaan al-Qur'an dan
yang lainnya. Dan apa yang
dikatakan sebagai qaul
masyhur dibawa atas
pengertian apabila
pembacaannya tidak di
hadapan mayyit, tidak
meniatkan pahala
bacaannya untuknya atau
meniatkannya, dan tidak
mendo'akannya bahkan
Imam as-Subkiy berkata ;
"yang menunjukkan atas hal
itu (sampainya pahala)
adalah hadits berdasarkan
istinbath bahwa sebagian
al-Qur'an apabila
diqashadkan (ditujukan)
dengan bacaannya akan
bermanfaat bagi mayyit dan
diantara
yang demikian,
sungguh telah di
tuturkannya didalam syarah
ar-Raudlah". [3]
Syaikhul Islam al-Imam Ibnu
Hajar al-Haitami didalam al-
Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa:
ﻭﻛﻼﻡﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ–ﺭﺿﻲﺍﻟﻠﻪﻋﻨﻪ–
ﻫﺬﺍﺗﺄﻳﻴﺪﻟﻠﻤﺘﺄﺧﺮﻳﻦﻓﻲﺣﻤﻠﻬﻢ
ﻣﺸﻬﻮﺭﺍﻟﻤﺬﻫﺐﻋﻠﻰﻣﺎﺇﺫﺍﻟﻢﻳﻜﻦ
ﺑﺤﻀﺮﺓ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﺃﻭ ﻟﻢ ﻳﺪﻉ ﻋﻘﺒﻪ
"dan perkataan Imam asy-
Syafi'i ini (bacaan al-Qur'an
disamping mayyit/kuburan)
memperkuat pernyataan
ulama-ulama Mutaakhkhirin
dalam membawa pendapat
masyhur diatas pengertian
apabila tidak dihadapan
mayyit atau apabila tidak
mengiringinya dengan
do'a". [4]
Lagi, dalam Tuhfatul
Muhtaj :
ﻗﺎﻝﻋﻨﻪﺍﻟﻤﺼﻨﻒﻓﻲﺷﺮﺡﻣﺴﻠﻢ:
ﺇﻧﻪﻣﺸﻬﻮﺭﺍﻟﻤﺬﻫﺐﻋﻠﻰﻣﺎﺇﺫﺍﻗﺮﺃ
ﻻﺑﺤﻀﺮﺓﺍﻟﻤﻴﺖﻭﻟﻢﻳﻨﻮﺍﻟﻘﺎﺭﺉ
ﺛﻮﺍﺏ ﻗﺮﺍﺀﺗﻪ ﻟﻪ ﺃﻭ ﻧﻮﺍﻩ ﻭﻟﻢ ﻳﺪﻉ ﻟﻪ
"Sesungguhnya pendapat
masyhur adalah diatas
pengertian apabila
pembacaan bukan
dihadapan mayyit
(hadlirnya mayyit),
pembacanya tidak
meniatkan pahala
bacaannya untuk mayyit
atau meniatkannya, dan
tidak mendo'akannya untuk
mayyit".[5]
Oleh karena itu Syaikh
Sulaiman al-Jumal didalam
Futuuhat al-Wahab
(Hasyiyatul Jumal)
mengatakan pula sebagai
berikut :
ﻭﺍﻟﺘﺤﻘﻴﻖﺃﻥﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓﺗﻨﻔﻊﺍﻟﻤﻴﺖ
ﺑﺸﺮﻁﻭﺍﺣﺪﻣﻦﺛﻼﺛﺔﺃﻣﻮﺭﺇﻣﺎ
ﺣﻀﻮﺭﻩﻋﻨﺪﻩﺃﻭﻗﺼﺪﻩﻟﻪ،ﻭﻟﻮﻣﻊ
ﺑﻌﺪ ﺃﻭ ﺩﻋﺎﺅﻩ ﻟﻪ،ﻭﻟﻮ ﻣﻊ ﺑﻌﺪ ﺃﻳﻀﺎ ﺍﻩ
"dan tahqiq bahwa bacaan
al-Qur'an memberikan
manfaat bagi mayyit
dengan memenuhi salah
satu syarat dari 3 syarat
yakni apabila dibacakan
dihadapan (disisi) orang
mati, atau apabila di
qashadkan (diniatkan/
ditujukan) untuk orang mati
walaupun jaraknya jauh,
atau mendo'akan
(bacaaannya) untuk orang
mati walaupun jaraknya
jauh juga. Intahaa".[6]
ﻓﺮﻉ:ﺛﻮﺍﺏﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓﻟﻠﻘﺎﺭﺉﻭﻳﺤﺼﻞ
ﻣﺜﻠﻪﺃﻳﻀﺎﻟﻠﻤﻴﺖﻟﻜﻦﺇﻥﻛﺎﻧﺖ
ﺑﺤﻀﺮﺗﻪ،ﺃﻭﺑﻨﻴﺘﻪﺃﻭﻳﺠﻌﻞﺛﻮﺍﺑﻬﺎﻟﻪ
ﺑﻌﺪﻓﺮﺍﻏﻬﺎﻋﻠﻰﺍﻟﻤﻌﺘﻤﺪﻓﻲﺫﻟﻚ
.…)ﻗﻮﻟﻪ:ﺃﻣﺎﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓﺇﻟﺦ(ﻗﺎﻝﻡﺭ:
ﻭﻳﺼﻞﺛﻮﺍﺏﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓﺇﺫﺍﻭﺟﺪﻭﺍﺣﺪ
ﻣﻦﺛﻼﺛﺔﺃﻣﻮﺭ؛ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓﻋﻨﺪﻗﺒﺮﻩ
ﻭﺍﻟﺪﻋﺎﺀﻟﻪﻋﻘﺒﻬﺎﻭﻧﻴﺘﻪﺣﺼﻮﻝ
ﺍﻟﺜﻮﺍﺏ ﻟﻪ
"(Cabang) pahala bacaan al-
Quﻮﺭ؛ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓﻋﻨﺪﻗﺒﺮﻩ
ﻭﺍﻟﺪﻋﺎﺀﻟﻪﻋﻘﺒﻬﺎﻭﻧﻴﺘﻪﺣﺼﻮﻝ
ﺍﻟﺜﻮﺍﺏ ﻟﻪ
"(Cabang) pahala bacaan al-
Qur'an adalah bagi si
pembaca dan pahalanya itu
juga bisa sampai kepada
mayyit apabila dibaca
dihadapan orang mati, atau
meniatkannya, atau
menjadikan pahalanya
untuk orang mati setelah
selesai membaca menurut
pendapat yang kuat
(muktamad) tentang hal itu,
…. Frasa (adapun pembacaan
al-Qur'an
–sampai akhir-),
Imam Ramli berkata : pahala
bacaan al-Qur'an sampai
kepada mayyit apabila telah
ada salah satu dari 3 hal :
membaca disamping
quburnya, mendo'akan
untuknya mengiringi
pembacaan al-Qur'an dan
meniatkan pahalanya
sampai kepada orang mati.
"[7]
Imam an-Nawawi asy-Syafi'i
rahimahullah:
ﻓﺎﻻﺧﺘﻴﺎﺭﺃﻥﻳﻘﻮﻝﺍﻟﻘﺎﺭﺉﺑﻌﺪ
ﻓﺮﺍﻏﻪ:ﺍﻟﻠﻬﻢّﺃﻭﺻﻞْﺛﻮﺍﺏَﻣﺎﻗﺮﺃﺗﻪ
ﺇﻟﻰ ﻓﻼﻥٍ؛ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ
"Dan yang dipilih (qaul
mukhtar) agar berdo'a
setelah pembacaan al-
Qur'an : "ya Allah sampaikan
(kepada Fulan) pahala apa
yang telah aku baca",
wallahu a'lam".[8]
ﻭﺍﻟﻤﺨﺘﺎﺭﺍﻟﻮﺻﻮﻝﺇﺫﺍﺳﺄﻝﺍﻟﻠﻪ
ﺃﻳﺼﺎﻝﺛﻮﺍﺏﻗﺮﺍﺀﺗﻪ،ﻭﻳﻨﺒﻐﻰﺍﻟﺠﺰﻡ
ﺑﻪﻻﻧﻪﺩﻋﺎﺀ،ﻓﺈﺫﺍﺟﺎﺯﺍﻟﺪﻋﺎﺀﻟﻠﻤﻴﺖ
ﺑﻤﺎﻟﻴﺲﻟﻠﺪﺍﻋﻰ،ﻓﻼﻥﻳﺠﻮﺯﺑﻤﺎ ﻫﻮ
ﻟﻪﺃﻭﻟﻰ،ﻭﻳﺒﻘﻰﺍﻻﻣﺮﻓﻴﻪﻣﻮﻗﻮﻓﺎ
ﻋﻠﻰﺍﺳﺘﺠﺎﺑﺔﺍﻟﺪﻋﺎﺀ،ﻭﻫﺬﺍﺍﻟﻤﻌﻨﻰ
ﻻﻳﺨﺺﺑﺎﻟﻘﺮﺍﺀﺑﻞﻳﺠﺮﻯﻓﻲﺳﺎﺋﺮ
ﺍﻻﻋﻤﺎﻝ،ﻭﺍﻟﻈﺎﻫﺮﺃﻥﺍﻟﺪﻋﺎﺀﻣﺘﻔﻖ
ﻋﻠﻴﻪﺍﻧﻪﻳﻨﻔﻊﺍﻟﻤﻴﺖﻭﺍﻟﺤﻰﺍﻟﻘﺮﻳﺐ
ﻭﺍﻟﺒﻌﻴﺪ ﺑﻮﺻﻴﺔ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ
"dan pendapat yang dipilih
(qaul mukhtar) adalah
sampai, apabila memohon
kepada Allah menyampaikan
pahala bacaannya, dan
selayaknya melanggengkan
dengan hal ini karena
sesungguhnya ini do'a,
sebab apabila boleh berdo'a
untuk orang mati dengan
perkara yang bukan bagi
yang berdo'a, maka
kebolehan dengan hal itu
bagi mayyit lebih utama,
dan makna pengertian
semacam ini tidak hanya
khusus pada pembacaan al-
Qur'an saja saja, bahkan
juga pada seluruh amal-amal
lainnya, dan faktanya do'a,
ulama telah sepakat bahwa
itu bermanfaat bagi orang
mati maupun orang hidup,
baik dekat maupun jauh,
baik dengan wasiat atau
tanpa wasiat". [9]
Al-Imam al-Bujairami
didalam Tuhfatul Habib :
ﻗﻮﻟﻪ:)ﻷﻥﺍﻟﺪﻋﺎﺀﻳﻨﻔﻊﺍﻟﻤﻴﺖ(
ﻭﺍﻟﺤﺎﺻﻞﺃﻧﻪﺇﺫﺍﻧﻮﻯﺛﻮﺍﺏﻗﺮﺍﺀﺓﻟﻪ
ﺃﻭﺩﻋﺎ ﻋﻘﺒﻬﺎ ﺑﺤﺼﻮﻝﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﻟﻪ ﺃﻭ ﻗﺮﺃ
ﻋﻨﺪﻗﺒﺮﻩﺣﺼﻞﻟﻪﻣﺜﻞﺛﻮﺍﺏﻗﺮﺍﺀﺗﻪ
ﻭﺣﺼﻞ ﻟﻠﻘﺎﺭﺉ ﺃﻳﻀﺎ ﺍﻟﺜﻮﺍﺏ
"Frasa : (karena
sesungguhnya do'a
bermanfaat bagi mayyit),
walhasil sesungguhnya
apabila pahala bacaan al-
Qur'an diniatkan untuk
mayyit atau di do'akan
menyampainya pahala
bacaan al-Qur'an kepada
mayyit mengiringi bacaan
al-Qur'an atau membaca al-
Qur'an disamping qubur
niscaya sampai pahala
bacaan al-Qur'an kepada
mayyit dan bagi si qari
(pembaca) juga
mendapatkan pahala". [10]
Al-'Allamah Muhammad az-
Zuhri didalam As-Siraaj :
ﻭﺗﻨﻔﻊﺍﻟﻤﻴﺖﺻﺪﻗﺔﻋﻨﻪﻭﻭﻗﻒﻣﺜﻼ
ﻭﺩﻋﺎﺀﻣﻦﻭﺍﺭﺙﻭﺃﺟﻨﺒﻲﻛﻤﺎﻳﻨﻔﻌﻪ
ﻣﺎﻓﻌﻠﻪﻣﻦﺫﻟﻚﻓﻲﺣﻴﺎﺗﻪﻭﻻ
ﻳﻨﻔﻌﻪﻏﻴﺮﺫﻟﻚﻣﻦﺻﻼﺓﻭﻗﺮﺍﺀﺓ
ﻭﻟﻜﻦﺍﻟﻤﺘﺄﺧﺮﻭﻥﻋﻠﻰﻧﻔﻊﻗﺮﺍﺀﺓ
ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺃﻭﺻﻞ
ﺛﻮﺍﺏﻣﺎﻗﺮﺃﻧﺎﻩﻟﻔﻼﻥﺑﻞﻫﺬﺍﻻ
ﻳﺨﺘﺺﺑﺎﻟﻘﺮﺍﺀﺓﻓﻜﻞﺃﻋﻤﺎﻝﺍﻟﺨﻴﺮ
ﻳﺠﻮﺯﺃﻥﻳﺴﺄﻝﺍﻟﻠﻪﺃﻥﻳﺠﻌﻞﻣﺜﻞ
ﺛﻮﺍﺑﻬﺎﻟﻠﻤﻴﺖﻓﺎﻥﺍﻟﻤﺘﺼﺪﻕﻋﻦ
ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻻ ﻳﻨﻘﺺ ﻣﻦ ﺃﺟﺮﻩ ﺷﻲﺀ
"Bermanfaat bagi mayyit
yakni shadaqah mengatas
namakan mayyit, misalnya
waqaf, dan (juga
bermanfaat bagi mayyit
yakni) do'a dari ahli
warisnya dan orang lain,
sebagaimana
bermanfaatnya
perkara
yang dikerjakannya pada
masa hidupnya, namun yang
lainnya
tidak memberikan
manfaat seperti shalat dan
membaca al-Qur'an, akan
tetapi ulama mutakhkhirin
menetapkan atas
bermanfaatnya pembacaan
al-Qur'an, oleh karena itu
sepatutnya berdo'a : "ya
Allah sampaikanlah pahala
apa yang telah kami baca
kepada Fulan", bahkan hal
semacam ini tidak hanya
khusus pembacaan al-Qur'an
saja tetapi seluruh amal-
amal kebajikan lainnya juga
boleh dengan cara
memohon kepada Allah agar
menjadikan pahalanya
untuk mayyit, dan
sesuangguhnya orang yang
bershadaqah mengatas
namakan mayyit pahalanya
tidak dikurangi". .[11]
Dari beberapa keterangan
ulama-ulama Syafi'iyah
diatas maka dapat
disimpulkan bahwa qaul
masyhur pun sebenarnya
menyatakan sampai apabila
al-Qur'an dibaca hadapan
mayyit termasuk membaca
disamping qubur, [12] juga
sampai apabila meniatkan
pahalanya untuk orang mati
yakni pahalanya ditujukan
untuk orang mati, dan juga
sampai apabila mendo'akan
bacaan al-Qur'an yang telah
dibaca agar disampaikan
kepada orang yang mati.
Sekali Lagi Wahabi Sebagai
Peta Bi'ah Dunia
seharusnya membaca lebih
teliti.
CATATAN KAKI :
[1] Lihat : Ma'rifatus Sunani
wal Atsar [7743] lil-Imam al-
Muhaddits al-Baihaqi.
[2] Lihat : Riyadlush Shalihin
[1/295] lil-Imam an-
Nawawi ; Dalilul Falihin
[6/426] li-Imam Ibnu 'Allan ;
al-Hawi al-Kabir fiy Fiqh
Madzhab asy-Syafi'i (Syarah
Mukhtashar Muzanni) [3/26]
lil-Imam al-Mawardi dan
lainnya.
[3] Lihat : Fathul Wahab
bisyarhi Minhajit Thullab lil-
Imam Zakariyya al-Anshari
asy-Syafi'i [2/23].
[4] Lihat : al-Fatawa al-
Fiqhiyah al-Kubraa lil-Imam
Ibnu Hajar al-Haitami [2/27].
[5] Lihat : Tuhfatul Muhtaj
fiy Syarhi al-Minhaj lil-Imam
Ibn Hajar al-Haitami [7/74].
[6] Lihat : Futuhaat al-
Wahab li-Syaikh Sulailman
al-Jamal [2/210].
[7] Lihat : Ibid [4/67] ;
[8] Lihat : al-Adzkar lil-Imam
an-Nawawi [293]
[9] Lihat : al-Majmu' syarah
al-Muhadzdzab lil-Imam an-
Nawawi [15/522].
[10] Lihat : Tuhfatul Habib
(Hasyiyah al-Bujairami alaa
al-Khatib) [2/303]
[11] Lihat : as-Sirajul Wahaj
'alaa Matni al-Minhaj
lil-'Allamah Muhammad az-
Zuhri [1/344]
[12] Banyak komentar dan
anjuran ulama Syafi'iyyah
tentang membaca al-Qur'an
di quburan untuk mayyit,
sebagaimana yang
sebagiannya telah
disebutkan termasuk oleh
al-Imam Syafi'i sendiri.
Adapun berikut diantara
komentar lainnya, yang juga
berasal dari ulama
Syafi'iyyah diantara lain : al-
Imam
Ar-Rafi'i didalam
Fathul 'Aziz bisyarhi al-Wajiz
[5/249]
ﻭﺍﻟﺴﻨﺔﺍﻥﻳﻘﻮﻝﺍﻟﺰﺍﺋﺮﺳﻼﻡﻋﻠﻴﻜﻢ
ﺩﺍﺭ ﻗﻮﻡ ﻣﺆﻣﻨﻴﻦ ﻭﺍﻧﺎ ﺍﻥ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻦ
ﻗﺮﻳﺐﺑﻜﻢﻻﺣﻘﻮﻥﺍﻟﻠﻬﻢﻻﺗﺤﺮﻣﻨﺎ
ﺃﺟﺮﻫﻢﻭﻻﺗﻔﺘﻨﺎﺑﻌﺪﻫﻢﻭﻳﻨﺒﻐﻲﺃﻥ
ﻳﺪﻧﻮﺍﻟﺰﺍﺋﺮﻣﻦﺍﻟﻘﺒﺮﺍﻟﻤﺰﻭﺭﺑﻘﺪﺭﻣﺎ
ﻳﺪﻧﻮﻣﻦﺻﺎﺣﺒﻪﻟﻮﻛﺎﻥﺣﻴﺎﻭﺯﺍﺭﻩ
ﻭﺳﺌﻞﺍﻟﻘﺎﺿﻰﺃﺑﻮﺍﻟﻄﻴﺐﻋﻦﺧﺘﻢ
ﺍﻟﻘﺮﺁﻥﻓﻲﺍﻟﻤﻘﺎﺑﺮﻓﻘﺎﻝﺍﻟﺜﻮﺍﺏ
ﻟﻠﻘﺎﺭﺉﻭﻳﻜﻮﻥﺍﻟﻤﻴﺖﻛﺎﻟﺤﺎﺿﺮﻳﻦ
ﻳﺮﺟﻰﻟﻪﺍﻟﺮﺣﻤﺔﻭﺍﻟﺒﺮﻛﺔﻓﻴﺴﺘﺤﺐ
ﻗﺮﺍﺀﺓﺍﻟﻘﺮﺁﻥﻓﻲﺍﻟﻤﻘﺎﺑﺮﻟﻬﺬﺍ
ﺍﻟﻤﻌﻨﻲﻭﺃﻳﻀﺎﻓﺎﻟﺪﻋﺎﺀﻋﻘﻴﺐ
ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓﺃﻗﺮﺏﺍﻟﻲﺍﻻﺟﺎﺑﺔﻭﺍﻟﺪﻋﺎﺀ
ﻳﻨﻔﻊ ﺍﻟﻤﻴﺖ
"dan sunnah agar peziarah
mengucapkan : "Salamun
'Alaykum dara qaumi
Mukminiin wa Innaa
InsyaAllahu 'an qariibi
bikum laa hiquun Allahumma
laa
tahrimnaa ajrahum wa
laa taftinnaa ba'dahum",
dan sepatutnya zair
(peziarah) mendekat ke
kubur yang diziarahi seperti
dekat kepada sahabatnya
ketika masih hidup ketika
mengunjunginya, al-Qadli
Abu ath-Thayyib ditanya
tentang mengkhatamkan al-
Qur'an dipekuburan maka
beliau menjawab ; ada
pahala bagi pembacanya,
sedangkan mayyit seperti
orang yang hadir yang
diharapkan mendapatkan
rahmat dan berkah baginya,
Maka disunnahkan membaca
al-Qur'an di pequburan
berdasarkan pengertian ini
(yaitu mayyit bisa
mendapatkan rahmat dan
berkah dari pembacaan al-
Qur'an) dan juga berdo'a
mengiringi bacaan al-Qur'an
niscaya lebih dekat untuk
diterima sebab do'a
bermanfaat bagi mayyit".
Al-Imam Ar-Ramli didalam
Nihayatul Muhtaj ilaa syarhi
al-Minhaj [3/36] :
ﻭﻳﻘﺮﺃﻭﻳﺪﻋﻮ(ﻋﻘﺐﻗﺮﺍﺀﺗﻪ،ﻭﺍﻟﺪﻋﺎﺀ
ﻳﻨﻔﻊﺍﻟﻤﻴﺖ ﻭﻫﻮﻋﻘﺐ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﺃﻗﺮﺏ
ﻟﻺﺟﺎﺑﺔ
"dan (disunnahkan ketika
ziarah) membaca al-Qur'an
dan berdo'a mengiri
pembacaan al-Qur'an,
sedangkan do'a bermanfaat
bagi mayyit, dan do'a
mengiringi bacaan al-Qur'an
lebih dekat di ijabah"
Al-'Allamah Syaikh
Zainuddin bin 'Abdil 'Aziz al-
Malibari didalam Fathul
Mu'in [hal. 229] :
ﻭﻳﺴﻦﻛﻤﺎﻧﺺﻋﻠﻴﻪﺃﻥﻳﻘﺮﺃﻣﻦ
ﺍﻟﻘﺮﺁﻥﻣﺎﺗﻴﺴﺮﻋﻠﻰﺍﻟﻘﺒﺮﻓﻴﺪﻋﻮﻟﻪ
ﻣﺴﺘﻘﺒﻼ ﻟﻠﻘﺒﻠﺔ
"disunnahkan –
sebagaimana nas (hadits)
yang menerangkan tentang
hal itu- agar membaca apa
yang dirasa mudah dari al-
Qur'an diatas qubur,
kemudian berdo'a untuk
mayyit menghadap ke
qiblat"
Imam Ahmad Salamah al-
Qalyubiy didalam
Hasyiyatani Qalyubi wa
'Umairah pada pembahasan
terkait ziarah qubur :
ﻗﻮﻟﻪ:)ﻭﻳﻘﺮﺃ(ﺃﻱﺷﻴﺌﺎﻣﻦﺍﻟﻘﺮﺁﻥ
ﻭﻳﻬﺪﻱﺛﻮﺍﺑﻪ ﻟﻠﻤﻴﺖ ﻭﺣﺪﻩ ﺃﻭ ﻣﻊ ﺃﻫﻞ
ﺍﻟﺠﺒﺎﻧﺔ،ﻭﻣﻤﺎﻭﺭﺩﻋﻦﺍﻟﺴﻠﻒﺃﻧﻪ
ﻣﻦ ﻗﺮﺃ ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻹﺧﻼﺹ ﺇﺣﺪﻯ ﻋﺸﺮﺓ
ﻣﺮﺓ،ﻭﺃﻫﺪﻯﺛﻮﺍﺑﻬﺎﺇﻟﻰﺍﻟﺠﺒﺎﻧﺔﻏﻔﺮ
ﻟﻪ ﺫﻧﻮﺏ ﺑﻌﺪﺩ ﺍﻟﻤﻮﺗﻰ ﻓﻴﻬﺎ
"frasa (dan –disunnahkan-
membaca al-Qur'an) yakni
sesuatu yang mudah dari al-
Qur'an, kemudian
menghadiahkan pahalanya
kepada satu mayyit atau
bersamaan ahl qubur
lainnya, dan diantara yang
telah warid dari salafush
shalih adalah bahwa
barangsiapa yang membaca
surah al-Ikhlas 11 kali, dan
menghadiahkan pahalanya
kepada ahl qubur maka
diampuni dosanya sebanyak
orang yang mati
dipekuburan itu".
Syaikh Mushthafa al-Buhgha
dan Syaikh Mushthafaa al-
Khin didalam al-Fiqhul
Manhaji 'alaa Madzhab al-
Imam asy-Syafi'i
rahimahullah [juz I, hal. 184]
:
ﻣﻦﺁﺩﺍﺏ ﺯﻳﺎﺭﺓ ﺍﻟﻘﺒﻮﺭ:ﺇﺫﺍ ﺩﺧﻞ ﺍﻟﺰﺍﺋﺮ
ﺍﻟﻤﻘﺒﺮﺓ،ﻧﺪﺏﻟﻪﺃﻥﻳﺴﻠﻢﻋﻠﻰ
ﺍﻟﻤﻮﺗﻰﻗﺎﺋﻼً:"ﺍﻟﺴﻼﻡﻋﻠﻴﻜﻢﺩﺍﺭ
ﻗﻮﻡﻣﺆﻣﻨﻴﻦ،ﻭﺇﻧﺎﺇﻥﺷﺎﺀﺍﻟﻠﻪﺑﻜﻢ
ﻻﺣﻘﻮﻥ.ﻭﻟﻴﻘﺮﺃﻋﻨﺪﻫﻢﻣﺎﺗﻴﺴﺮﻣﻦ
ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ،ﻓﺈﻥﺍﻟﺮﺣﻤﺔﺗﻨﺰﻝﺣﻴﺚﻳُﻘﺮﺃ
ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ،ﺛﻢﻟﻴﺪﻉﻟﻬﻢﻋﻘﺐﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ،
ﻭﻟﻴﻬﺪِﻣﺜﻞﺛﻮﺍﺏﺗﻼﻭﺗﻪﻷﺭﻭﺍﺣﻬﻢ،
ﻓﺈﻥﺍﻟﺪﻋﺎﺀﻣﺮﺟﻮﺍﻹِﺟﺎﺑﺔ،ﻭﺇﺫﺍ
ﺍﺳﺘﺠﻴﺐﺍﻟﺪﻋﺎﺀﺍﺳﺘﻔﺎﺩﺍﻟﻤﻴﺖﻣﻦ
ﺛﻮﺍﺏ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ.ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺍﻋﻠﻢ .
"Diantara adab ziarah
qubur : apabila seorang
peziarah masuk area
pekuburan, disunnahkan
baginya mengucapkan
salam kepada orang yang
mati dengan ucapan :
Assalamu 'alaykum dara
qaumin mukminiin wa innaa
InsyaAllahu bikum laa
hiquun", kemudian
disunnahkan supaya
membaca apa yang mudah
dari al-Qur'an disisi qubur
mereka, sebab
sesungguhnya rahmat akan
diturunkan ketika dibacakan
al-Qur'an,
kemudian
disunnahkan supaya
mendo'akan mereka
mengiringi bacaan al-Qur'an,
dan
menghadiahkan pahala
tilawahnya untuk arwah
mereka, sebab
sesungguhnya do'a
diharapkan di ijabah,
apabila do'a dikabulkan
maka pahala bacaan al-
Qur'an akan memberikan
manfaat kepada mayyit ,
wallahu 'alam."
Hujjatul Islam Imam al-
Ghazali didalam kitab
monumentalnya yaitu
Ihyaa' 'Ulumuddin [4/492] :
ﻭﻻ ﺑﺄﺱ ﺑﻘﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﺒﻮﺭ
"tidak apa-apa dengan
membaca al-Qur'an diatas
qubur"